
Selasa lalu (3 Mei 2025) mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas melakukan praktik mata kuliah fonologi ke Kampung Bendang, Nagari Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman. Masyarakat di daerah ini terkenal dengan dialeknya yang khas. Dialek merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok penutur di suatu wilayah tertentu yang dapat dibedakan dengan masyarakat yang berada di wilayah lainnya.
Dalam hal ini, dialek yang dimaksud adalah dialek bahasa Minangkabau yang dituturkan secara khas di Kampung Bendang, Padang Pariaman. Dialek di wilayah ini berbeda dengan dialek bahasa Minangkabau yang ada di Lintau, Payakumbuh, Solok, dan juga Pesisir Selatan. Kondisi geografis, sosial, dan budaya masyarakat memengaruhi perbedaan dialek tersebut.
Karena praktik kali ini berkenaan dengan kajian fonologi, yaitu ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa, mahasiswa diharapkan dapat mendokumentasikan sistem bunyi bahasa yang ada di daerah ini. Mahasiswa akan menjelaskan bunyi-bunyi vokal, bunyi-bunyi konsonan, diftong, kluster, deret vokal, dan deret konsonan yang ada di daerah ini. Mahasiswa dapat menjelaskan hal tersebut setelah melakukan analisis data penelitian. Namun, ketika melakukan pengumpulan data bahasa Minangkabau di Pariaman, mahasiswa sebenarnya sudah bisa mengenali secara langsung bunyi-bunyi khas yang ada di daerah ini.
Namun, di kelompok yang saya dampingi, bunyi-bunyi khas tersebut tidak muncul. Padahal, penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa masyarakat Pariaman memiliki bunyi-bunyi yang khas, seperti [ʀ] uvular yang dihasilkan dengan cara menggetarkan uvula, yaitu bagian lunak di belakang lidah di langit-langit mulut. Bunyi [ʀ] tidak akan ditemukan dalam dialek bahasa Minangkabau di Padang misalnya.
Salah satu penelitian dapat dilihat pada penelitian Kharisma Nastiti (2021) dalam “Sistem Fonem Bahasa Minangkabau Isolek Sikucur”. Bahasa Minangkabau Isolek Sikucur merupakan bahasa Minangkabau yang dituturkan di Nagari Sikucur, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman. Secara geografis, bagian selatan daerah ini berbatasan langsung dengan Kota Pariaman. Di daerah ini bunyi [ʀ] uvular dapat dilihat pada kata [da.ʀɛʔ] yang bermakna ‘timur’ atau [ʀa.ʀa.mo] yang mempunyai arti ‘kupu-kupu’.
Sebaliknya, ketika saya mencoba klarifikasi bunyi-bunyi tersebut, saya mencoba membantu mahasiswa menanyakan penyakit kulit yang ditandai dengan ruam, gatal, dan perubahan warna kulit. Informan di kelompok kami melafalkan dengan [biriaŋ]. Namun, saya coba tanyakan apakah [biriaŋ] atau [biʀiaŋ], dia terkejut dan mengklarifikasi bahwa bunyi [ʀ] tersebut merupakan bunyi-bunyi lama. Informannya menuturkan bahwa sudah sulit menemukan masyarakat dengan pelafalan [ʀ] di daerah tersebut.
Pernyataan informan ini tentu menjadi persoalan bahasa, mengapa bunyi khas ini tidak muncul oleh informan kami yang usianya sudah melebihi 40 tahun? Sementara itu, dalam syarat pemilihan seseorang menjadi informan penelitian fonologi, usia seorang informan harusnya 40—50 tahun agar bisa diperoleh bunyi-bunyi asli.
Ternyata syarat usia 40 tahun yang dikemukakan Nadra dan Reniwati (2009) dalam buku yang berjudul Dialektologi: Teori dan Metode, tidak tepat lagi digunakan saat ini. Sudah 16 tahun usia buku tersebut sejak diterbitkan oleh Elmatera Publishing. Informan yang berusia 40 tahun saat ini merupakan informan yang berusia 24 tahun pada masa buku ini diterbitkan. Pada usia tersebut, informan ini mungkin sudah ada yang mendapatkan pendidikan tinggi di perkuliahan. Bahkan, dicurigai pada masa itu, informan tersebut sudah bepergian ke daerah lain untuk merantau.
Sejenak saya terpaksa menghentikan wawancara yang dilakukan oleh mahasiswa dan menanyakan mobilitas informan. Ternyata benar, informan perempuan yang sedang diwawancari mahasiswa kami menuturkan bahwa dia sudah pergi merantau selama 14 tahun. Secara spontan saya juga menanyakan mobilitas informan laki-laki. Jawabannya, dia sudah merantau ke Pulau Jawa selama 15 tahun. Kali ini terpaksa pulang karena perekonomian di Pulau Jawa tidak kunjung membaik atau sedang terpuruk.
Tentu saja ini menjadi sinyal bagi saya bahwa dalam kajian fonologi maupun dialektologi, perlu dilakukan perubahan-perubahan terkait penetapan seseorang sebagai informan penelitian. Usia 40 tahun ternyata tidak bisa lagi dijadikan syarat minimal karena pada saat ini, usia orang-orang yang merantau di seluruh pelosok Indonesia rata-rata orang-orang yang berusia 30—40 tahun. Dengan demikian, syarat informan harus diperketat menjadi berusia 50—65 tahun.
Saya pun akhirnya membandingkan dengan menyimak bahasa Minangkabau yang dipakai oleh orang-orang tua dari kampung saya yang saat ini berusia 50 tahun-an dan 60 tahun-an. Orang-orang di kampung saya yang berusia 50 tahun-an yang tidak merantau, tetapi berkegiatan di pasar tradisional Batusangkar, sudah tidak lagi menggunakan dialek bahasa Minangkabau Padang Laweh, Sungai Tarab—asal kampung kami. Dialek bahasa Minangkabau yang dipakai adalah dialek bahasa Minangkabau umum.
Namun, ketika saya berkomunikasi dengan orang tua yang berusia sama, tetapi dia menetap dan menghabiskan waktu di Padang Laweh, dialek khas daerah kami masih terpakai dengan baik. Sebaliknya, saya coba mendengarkan orang tua yang berusia 60 tahun, baik yang merantau ke Kota Padang maupun yang berada di Nagari Padang Laweh, cenderung menghasilkan bunyi-bunyi bahasa yang masih khas dan berbeda dengan dialek bahasa Minangkabau di daerah lainnya.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa informan yang layak untuk penelitian Fonologi dan juga Dialektologi—yang fokus pada bunyi-bunyi khas yang dihasilkan—adalah informan yang berusia 60 tahun-an. Pada tahun 2009, mereka sudah berusia 43 tahun. Jika dilihat sejarah orang-orang pada usia ini, banyak yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar. Meskipun mereka merantau dan terpapar teknologi, dialek yang dipakai cenderung masih asli dan khas.
Praktik mata kuliah Fonologi yang dilakukan mahasiswa kami di nagari ini, yang terdiri atas informan berusia di atas 35 tahun, berusia 40 tahun-an, dan beberapa berusia 50-tahunan, bisa dikatakan tidak sukses karena transkripsi bunyi bahasa yang terdata oleh mereka cenderung bahasa Minangkabau umum. Jikalau ada yang memunculkan bahasa Minangkabau khas Kampung Bendang, itu bisa saja terjadi karena (1) dipancing dulu atau (2) hanya muncul pada beberapa kosakata saja, tidak secara umum pada seluruh kata yang mengandung [ʀ] uvular.
Sebagai dosen pengampu mata kuliah, satu hal yang terbayangkan oleh saya ketika Selasa besok akan memeriksa penelitian mahasiswa adalah menyandingkan temuan dari tujuh kelompok yang turun pada saat itu. Saya harus membuat tabel dengan tujuh buah kolom. Dengan informan yang berusia 30—50 tahun tersebut, akan dijelaskan sistem bunyi yang mereka hasilkan. Hasil analisis dapat dijadikan data pembanding untuk penelitian bunyi-bunyi bahasa di daerah yang sama, tetapi dalam waktu yang berbeda, seperti penelitian 15—30 tahun lalu.
Sebagai hipotesis awal, tentu saja yang tergambar adalah dialek bahasa Minangkabau di Pariaman dalam 10—30 tahun ke depan akan (mulai) hilang. Dialek bahasa Minangkabau di daerah sana akan tergantikan dengan dialek bahasa Minangkabau umum. Sebuah kondisi kebahasaan yang miris tentunya, tetapi harus diterima sebagai dampak dari majunya masyarakat tersebut atau berkembangnya daerah tersebut.
Satu hal lagi yang kemudian terbayangkan oleh saya adalah perlu segera disusun muatan lokal bahasa Minangkabau berbasis dialek daerah masing-masing. Kita tidak bisa lagi berharap kepada para orang tua karena orang tua muda hari ini, di berbagai daerah Sumatera Barat, cenderung sudah mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu kepada anak-anak mereka. Jika tidak ditindaklanjuti sekarang, dialek bahasa Minangkabau di Pariaman, juga di berbagai daerah lain di Minangkabau, berpotensi untuk hilang dan digantikan dengan dialek bahasa Minangkabau umum.