
Salah satu fenomena yang menarik saat Hari Raya Idulfitri adalah bagi-bagi THR. Momen ini adalah salah satu yang ditunggu-tunggu untuk melengkapi kebahagiaan Idulfitri. Semua orang dari orang tua hingga anak-anak mengharapkan THR cair dan diberikan pada momen hari raya. THR bukan hal sepele yang bisa diabaikan. Ada orang yang merasa tidak bisa berhari raya saat THR belum cair. Ada juga yang berkomentar mengatakan hari raya mereka terasa dingin dan hambar karena THR tidak cair menjelang lebaran. THR ibarat rendang, ketupat lebaran, dan baju baru saat hari raya.
Bagi orang dewasa yang sudah bekerja, THR bukan hanya asesoris pendukung hari raya, melainkan salah satu penentu kelancaran dan kebahagiaan hari raya. Lalu apa makna THR yang sesungguhnya? THR adalah singkatan dari tunjangan hari raya yang merujuk kepada pendapatan nongaji yang wajib dibayarkan oleh perusahaan ataupun instansi pemerintahan kepada karyawan atau ASN menjelang hari raya atau menjelang hari besar keagamaan.
Sejarah THR sudah dimulai sejak tahun 1951. Dilansir dari Detik.com (28/03/2023), THR sudah ada sejak tahun 1951 pada masa Presiden Soekarno dengan Perdana Menteri Soekiman Wirdjosandjojo. Pada masa ini, THR bernama persekot atau pinjaman awal yang diberikan kepada pamong praja atau PNS. Persekot diberikan di awal bulan dengan cara pemotongan gaji pamong praja pada bulan berikutnya.
Selanjutnya, pada tahun 1952 kaum buruh juga ingin mendapatkan tunjangan hari raya. Mereka melakukan protes untuk diberikan THR atau tunjangan yang sama dengan pamong praja. Pada tahun 1954, perjuangan kaum buruh tersebut dikabulkan dengan keluarnya Surat Edaran yang berisi himbauan pada setiap perusahaan untuk memberikan “Hadiah Lebaran” bagi pekerja/karyawannya pada setiap hari raya keagamaan. Hadiah Lebaran adalah sebutan untuk THR kala itu. Pada tahun 1961, Surat Edaran tentang Hadiah Lebaran dilegalkan dalam bentuk Peraturan Menteri yang isinya mewajibkan setiap perusahaan memberikan Hadiah Lebaran bagi setiap karyawan dengan minimal tiga bulan masa kerja.
Pada tahun 1994, Hadiah Lebaran berganti nama menjadi Tunjangan Hari Raya (THR) yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri. Nama tersebut digunakan hingga sekarang untuk menyebut tunjangan yang diberikan sebelum hari besar keagamaan. Paturan pemberian THR yang semula diberikan minimal tiga bulan masa bekerja direvisi menjadi minimal satu bulan masa bekerja dengan jumlah dihitung secara proporsional sesuai dengan kesepakatan masing-masing instansi. Aturan pemberian THR termuat dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016.
Secara kebahasaan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, THR hanya kepanjangan dari tunjangan hari raya dan belum memiliki penjelasan apa pun selain itu. Akan tetapi, dalam Tesaurus Tematis Indonesia THR dijelaskan dengan arti salah satu gaji yang diperoleh yang posisinya sejajar dengan tunjangan-tunjangan lain, seperti tunjangan anak istri/suami, tunjangan hari tua, tunjangan perumahan, tunjangan pensiunan, dan lain-lain. Ulasan mengenai THR pernah dibahas dengan cukup komprehensif oleh Ria Febrina dalam media Cagak.id edisi 11 April 2023.
Selain tradisi pemberian THR bagi ASN, TNI/Polri, karyawan perusahaan, dan pekerja buruh, dalam masa Hari Raya Idulfitri, kita juga mengenal istilah THR yang diberikan kepada anak-anak, keponakan, dan juga tetangga serta sanak saudara. THR ini diprioritaskan bagi anak-anak dengan jumlah yang tidak ditentukan nominalnya atau sesuai dengan kesanggupan orang dewasa saja. Istilah THR dalam hal ini sedikit mengalami pergeseran makna menjadi lebih meluas karena tidak ada aturan yang mengikat tentang jumlah pemberian THR dan tidak ada juga aturan tertulis yang menjelaskan kepada siapa THR ini wajib diberikan. Yang jelas, THR adalah berupa uang yang diberikan pada saat hari raya keagamaan dari orang tua untuk anak-anak, keponakan, anak tetangga, anak-anak sekolah, dan juga orang-orang yang dianggap layak menerima THR. THR diberikan dengan tujuan untuk melengkapi kegembiraan, suka cita, dan kebahagiaan orang-orang yang sedang berhari raya.
Pemberian THR sudah menjadi tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia yang merayakan hari besar keagamaan, terutama hari besar keagamaan dalam Islam. THR dapat disebut sebagai kebudayaan universal yang dilakukan oleh hampir semua suku di Indonesia yang beragama Islam. Inti dari THR adalah berbagi dan peduli.
THR juga identik dengan hari raya besar dalam setiap agama. Dalam agama Islam, THR diberikan sebelum dan ketika Hari Raya Idulfitri. Pada hari raya Islam yang lain seperti Hari Raya Iduladha, THR tidak diberikan dan tidak menjadi tradisi. Selain Islam, Indonesia juga memiliki lima penganut agama lain, seperti Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu yang masing-masing juga menerima THR sebelum hari besar keagaman mereka. Dalam agama Kristen, THR diberikan sebelum Natal, dalam agama Hindu, THR diberikan sebelum Nyepi, dalam agam Buddha, THR diberikan sebelum Waisak, dan dalam agama Konghucu, THR diberikan sebelum Imlek.
Pihak yang paling gembira menerima THR pada hari raya adalah anak-anak. Mereka menunggu momen-momen ketika orang dewasa membagi-bagikan THR mulai dari uang kertas pecahan dua ribuan, lima ribuan, sepuluh ribuan, hingga dua puluh ribuan dan seterusnya. Bahkan, THR lebih penting daripada makan rendang, ketupat, dan kue lebaran bagi anak-anak. Saat bersilaturahmi ke rumah-rumah, mereka lebih memilih THR daripada menikmati hidangan lezat, makanan, dan minuman yang tersedia Ketika hari raya. Demikian makna THR sejak dimulai pada tahun 195i hingga menjadi salah satu tradisi membahagiakan yang ada dalam masyarakat Indonesia hingga kini.