Oleh: Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Pada akhir Oktober lalu terjadi peristiwa yang cukup menghebohkan terkait pencopotan tulisan “Masakan Padang” oleh organisasi masyarakat (ormas) bernama Ikatan Keluarga Minang (IKM) di Cirebon, lantaran penjual nasi Padang tersebut bukan berasal dari etnik Minang. Tindakan ini menuai beragam respons, termasuk kritik dari berbagai kalangan yang menilai tindakan tersebut menciptakan kesalahpahaman dan mengesankan adanya pembatasan bagi masyarakat non-Minang untuk menggeluti bisnis kuliner khas Minang. Hal ini tentu bertentangan dengan sifat kuliner Minang yang telah lama diterima dan dinikmati oleh masyarakat dari berbagai latar belakang di seluruh Indonesia.
Tak lama setelah peristiwa tersebut, IKM mulai menempelkan stiker lisensi pada rumah makan yang telah mendapat izin untuk menggunakan label “Masakan Minang.” Tujuan dari pemasangan stiker adalah sebagai langkah pengawasan dan upaya menjaga keaslian masakan Minang sesuai dengan standar IKM.
Langkah itu dianggap IMN sebagai dalam mempertahankan identitas budaya Minang di tengah popularitasnya. Namun, tentu saja tindakan tersebut tidak lepas dari kritik, di mana sebagian masyarakat menilai bahwa tindakan tersebut terlalu membatasi kreativitas pengusaha kuliner dan terlalu protektif sehingga seolah-olah menutup ruang bagi variasi dan inovasi dalam masakan Minang.
Sikap intimidatif yang dilakukan oleh IKM di Cirebon tersebut dikhawatirkan akan mengurangi daya tarik masakan Minang di mata masyarakat luas. Alih-alih dianggap sebagai upaya pelestarian, kebijakan pembatasan yang terlalu ketat bisa berisiko membuat orang merasa kurang bebas dalam menikmati atau memperkenalkan budaya Minang. Di tengah era globalisasi yang mengedepankan keterbukaan budaya, sikap yang lebih inklusif justru akan memperkuat warisan budaya Minang, memperluas jangkauan apresiasinya, dan memastikan masakan Minang tetap relevan serta diminati oleh generasi mendatang.
Tindakan ormas ini juga berdampak negatif terhadap pandangan publik terhadap etnik Minang secara keseluruhan. Banyak orang menganggap tindakan tersebut sebagai representasi sikap semua orang Minang, meskipun sebenarnya mayoritas masyarakat Minang tidak setuju dengan pendekatan premanisme tersebut. Pandangan seperti ini berisiko berkembang menjadi stereotip yang tidak diinginkan. Misalnya, beberapa kalangan mungkin mulai melihat masyarakat Minang sebagai kelompok yang eksklusif atau kurang terbuka terhadap keberagaman. Stereotip semacam ini berpotensi menciptakan beban jangka panjang yang merugikan bagi hubungan sosial dan interaksi budaya.
Dalam konteks komunikasi, langkah ini dinilai dapat merusak citra positif masyarakat Minang dan kuliner khasnya yang telah lama dikenal karena cita rasa dan keramahannya. Kuliner Minang merupakan warisan budaya yang tidak hanya diterima oleh masyarakat luas, tetapi juga digemari oleh berbagai kalangan tanpa terbatas pada etnik tertentu. Sidak semacam ini berpotensi menimbulkan kesan bahwa masyarakat Minang membatasi orang di luar etnis mereka untuk menjual masakan ini. Padahal kenyataannya, mayoritas masyarakat Minang merasa bangga ketika masakan mereka diapresiasi oleh berbagai kalangan. Karena, rumah makan dengan masakan Minang sebenarnya juga sudah dijual sampai mancanegara.
Kurangnya penjelasan yang rinci dari pihak yang melakukan sidak menimbulkan berbagai spekulasi mengenai motivasi di balik tindakan ini. Sebagian orang menduga bahwa langkah ini dipicu oleh keinginan untuk menjaga dominasi bisnis bagi pengusaha asli Minang. Dugaan-dugaan seperti ini muncul karena tidak adanya pernyataan resmi atau penjelasan terbuka dari pihak terkait, sehingga informasi yang tersebar menjadi liar dan tidak terkontrol. Di era digital, kegagalan komunikasi seperti ini memiliki dampak yang luas karena informasi mudah menyebar secara viral tanpa klarifikasi yang cukup.
Tindakan sidak ini juga mengabaikan dampak jangka panjang yang bisa mempengaruhi reputasi etnik Minang. Pendekatan yang lebih transparan dan egaliter seharusnya dipilih agar upaya menjaga kualitas kuliner Minang dapat dipahami tanpa menimbulkan kesan eksklusivitas. Banyak kuliner dari berbagai budaya Indonesia dijajakan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang etnik tanpa adanya tekanan atau intervensi dari kelompok tertentu. Dengan demikian, pendekatan yang lebih terbuka bisa menjadi langkah yang lebih bijaksana.
Selain itu, dari perspektif komunikasi antarbudaya, langkah ini mencerminkan kurangnya kecocokan dalam cara menyampaikan maksud yang hendak disampaikan. Jika tujuan utamanya adalah menjaga kualitas kuliner Minang, pendekatan yang lebih persuasif, seperti sosialisasi atau edukasi mengenai standar kuliner Minang, mungkin lebih tepat. Pendekatan koersif melalui sidak malah bisa membuat pihak di luar etnis Minang merasa dibatasi atau seakan dilarang menikmati dan berbagi budaya Minang. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman yang pada gilirannya merusak keharmonisan hubungan antaretnis di Indonesia.
Fenomena ini juga menggambarkan pentingnya pendidikan komunikasi bagi ormas. Yang sama-sama diketahui, kata ormas bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dimaknai sebagai hal yang negatif dan cenderung merugikan masyarakat umum. Meskipun ormas dalam hal ini IKN menganggap diri mereka memiliki niat baik dalam melestarikan budaya, pendekatan yang mereka pilih tidak selalu sesuai dengan keberagaman masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, pendekatan yang persuasif dan tidak menantang seharusnya dipilih, agar pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik tanpa menimbulkan konflik antarbudaya.
Peristiwa ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi ormas mengenai pentingnya manajemen krisis komunikasi. Setelah kejadian tersebut menjadi viral, ormas terkait gagal memberikan klarifikasi yang memadai untuk menjelaskan niat dan tujuan mereka. Padahal, dalam era informasi saat ini, respons yang cepat dan transparan sangat penting untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman yang berkepanjangan. Klarifikasi yang jelas dapat membantu memperbaiki persepsi publik dan mencegah terbentuknya stereotip negatif yang dapat merugikan etnik Minang. Selain itu, pendekatan yang lebih bijak dan komunikatif akan membangun kepercayaan publik, mencegah polarisasi, dan memastikan bahwa niat positif dalam melindungi budaya dapat dipahami dengan baik oleh semua kalangan, tanpa adanya rasa terasingkan.
Peristiwa ini menegaskan pentingnya menghargai keberagaman budaya dalam berkomunikasi antar kelompok. Keberagaman budaya di Indonesia adalah aset berharga yang seharusnya dirayakan dan disebarluaskan, bukan malah dibatasi dan mengintimidasi orang yang dianggap bukan dari kalangannya. Budaya Minang, seperti budaya lainnya, adalah milik bersama yang bisa diapresiasi oleh siapa saja. Pembatasan terhadap pihak lain yang ingin mengadopsi kuliner Minang tidak hanya tidak relevan, tetapi juga bertentangan dengan semangat kebhinnekaan Indonesia.
Terdapat solusi yang dirasa penting untuk diperhatikan, di mana edukasi atau kampanye mengenai standar kuliner Minang sebaiknya dilakukan dengan cara yang lebih inklusif, seperti melalui seminar kuliner atau platform digital. Dengan pendekatan komunikasi yang lebih bijak, ormas dapat menjaga kelestarian budaya Minang tanpa merusak reputasi etnik Minang atau menciptakan kesan yang terlalu membatasi. Langkah ini bukan hanya akan mempererat hubungan antarbudaya, tetapi juga mengingatkan kita bahwa keberagaman adalah kekuatan utama bangsa Indonesia.
Melalui peristiwa ini, kita diajarkan bahwa ormas, meskipun mereka menganggap apa yang mereka lakukan didasari dari niat baik, tapi mereka harus paham bahwa tindakan mereka tidak selamanya benar. Dalam menjaga budaya, mereka perlu mempertimbangkan dampak dari keputusan mereka terhadap masyarakat luas. Sebuah tindakan yang tampaknya melindungi, jika dilakukan tanpa pertimbangan yang matang dan dewasa, bisa berbalik merugikan dan menciptakan ketegangan. Oleh karena itu, ormas harus lebih bijak dalam memilih pendekatan yang tidak hanya melestarikan, tetapi juga mengedepankan harmoni dan kebersamaan antar semua suku bangsa dan budaya.