Dharmasraya, Scientia.Id – Udara sejuk pegunungan tak mampu meredam semangat 50 peserta pelatihan Peningkatan Kapasitas SDM Wartawan Mitra Pemerintah Kabupaten Dharmasraya. Di ruang konvensi yang cukup padat, suasana terasa hangat dan akrab, seakan membawa saya kembali ke masa-masa kuliah 15 tahun silam. Penyebabnya? Tak lain adalah sosok pembicara kunci, Khairul Jasmi atau akrab disapa KJ yang dengan gaya khasnya mampu membawakan materi dengan santai namun tetap informatif.
Ketika mengikuti pelatihan ini, saya serasa waktu kuliah 15 tahun lalu kembali. Guyonan Pak KJ memang khas, membuat suasana tidak tegang. Begitu juga lah cara ia mengajar ketika saya menjadi mahasiswa beliau waktu dulu.
Khairul Jasmi, sosok wartawan senior yang juga dikenal sebagai penulis dan komisaris perusahaan, berhasil menciptakan suasana yang interaktif selama pelatihan. Dengan gaya bahasanya yang lugas dan humor yang menyegarkan, ia mampu menggugah antusiasme peserta untuk aktif bertanya dan berdiskusi.
“Saya ingin peserta tidak hanya mendapatkan ilmu, tetapi juga merasa nyaman dan menikmati proses belajar,” ujar Khairul Jasmi, Selasa (5/11/2024).
“Dengan suasana yang santai, diharapkan peserta bisa menyerap materi dengan lebih baik.” ungkapnya sambil menghisap sebatang rokok.
Bahasa, Jiwa Sastra, dan Identitas
Salah satu materi yang menarik perhatian saya bersama kawan – kawan peserta adalah pembahasan mengenai ciri khas bahasa dalam penulisan jurnalistik. Khairul Jasmi menekankan pentingnya bagi seorang jurnalis untuk memiliki gaya bahasa yang khas dan mencerminkan latar belakangnya.
Pembahasan ini tak jauh berbeda apa yang saya dapatkan dulu dimana bahasa itu bersifat arbitrase (Manasuka). Untuk mengetahui ciri khas tulisan seseorang itu tidak jauh dari latar belakangnya.”
Pembahasan ini mengingatkan saya pada pidato kesusastraan Seno Gumira Ajidarma, yang membahas tentang pentingnya penulis untuk menulis sastra yang benar-benar sastra. Pembahasan pak Khairul Jasmi ini saya mengaitkan hal ini dengan dunia jurnalistik, di mana seorang jurnalis juga harus memiliki jiwa sastra dalam menulis.
“Sepertinya saya kembali mengulas perihal pedalaman materi lagi yang mana telah diulas 15 tahun silam,”. Sekali-kali boleh lah untuk membangga-banggakan diri atas ilmu yang di dapat ini. Sambil pinjam ungkapan Kj dulu.
Bagi saya di waktu pelatihan tadi, bahasa-bahasa yang benar sastra itu bisa kita temukan dalam ruang lingkup kebudayaan yaitu identitas.
Nostalgia dan Semangat Baru
Suasana pelatihan yang santai dan penuh nostalgia ini tidak mengurangi fokus saya bersama peserta lainnya pada materi yang disampaikan. Justru, suasana yang akrab membuat peserta merasa lebih nyaman untuk bertanya dan berdiskusi.
“Suasana ruangan yang seperti ini justru mengingatkan saya pada saat-saat diskusi santai bersama teman-teman kuliah dulu,” ujar saya kepada kawan sebelah.
Selain materi mengenai bahasa dan gaya penulisan, Khairul Jasmi juga membahas berbagai aspek jurnalistik lainnya, seperti teknik penulisan berita yang baik, etika jurnalistik, dan pentingnya menjaga independensi.
Pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas jurnalistik di Kabupaten Dharmasraya. Dengan bekal ilmu dan pengalaman yang didapat, para peserta diharapkan dapat menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas dan berimbang.
Baca Juga: Museum Sastra Indonesia di Sumbar Miliki 8.000 Koleksi Kesusastraan
“Saya berharap setelah mengikuti pelatihan ini, kita semua bisa menjadi jurnalis yang lebih profesional dan bertanggung jawab,” ujar Dicka Dyloid.