Ada yang menarik ketika saya menonton video yang diunggah oleh akun Gilbhas (@gilbhas) di Instagram. Seorang laki-laki mencatat sekumpulan singkatan dan akronim dalam bahasa Indonesia yang diperolehnya selama menjadi seorang suami dan juga seorang ayah. Kosakata yang dimaksud adalah paksu, debay, DSA, tumgi, bapil, DBF, biput, sufor, bamer, baput, bumtik, prohe, prona, BLW, dan GTM. Sejumlah singkatan tersebut dinarasikan, seperti curahan hati sebagai berikut.
Aku ini bukan seorang suami, tapi paksu.
Anakku umur delapan bulan juga bukan bayi, tapi debay.
Dokter anak itu DSA.
Kalau gusi debay mulai gatal dan mulai gigit-gigit, berarti lagi tumgi.
Kalau lagi sering batuk, berarti lagi sakit bapil.
Minum ASI langsung dari sumbernya itu bukan nyusu, tapi DBF.
Kalau sering pindah dari payudara ke botol dot, payudara ke botol dot, debay bisa jadi biput.
Kalau ASI gak keluar banyak, debaynya bisa minum sufor.
Kalau debay sudah mulai makan, jangan lupa makanannya tambahin bamer dan baput. Boleh juga pakai bumtik.
Jangan lupa juga, makanannya harus seimbang antara kandungan prohe dan prona.
Kalau anaknya mau makan pakai tangan sendiri, gak mau pakai sendok, itu namanya BLW.
Kalau anaknya lagi susah makan, gak mau disuapin, itu namanya lagi GTM alias Gerakan Tutup Mulut.
Data tersebut menunjukkan dua bentuk kosakata dalam bahasa Indonesia, yakni singkatan dan akronim. Singkatan dan akronim merupakan dua bentuk yang berbeda. Singkatan merupakan proses pemendekan berupa huruf atau gabungan huruf yang cara membacanya dieja huruf demi huruf, sedangkan akronim adalah proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata (Kridalaksana, 2010). Dengan demikian, singkatan dalam data tersebut tampak pada DSA, DBF, BLW, dan GTM karena dibaca huruf demi huruf, sedangkan akronim terdiri atas paksu, debay, tumgi, bapil, biput, sufor, bumtik, serta prohe dan prona karena dibaca sebagai sebuah kata.
Singkatan dan akronim tersebut dihasilkan oleh ibu-ibu muda yang baru melahirkan, kemudian diserap oleh pasangan mereka atau ayah dari anak-anak yang lahir tersebut. Singkatan dan akronim ini sebenarnya bentuk komunikasi tercepat antara pasangan ini karena komunikasi lisan memang cenderung mengutamakan bentuk-bentuk yang singkat.
Jika dilihat singkatan dan akronim tersebut, akan tampak bahwa bentuk-bentuk tersebut merupakan bentuk asing atau menyerupai kosakata yang berasal dari bahasa Inggris. Padahal, jika ditelusuri kepanjangan dari singkatan dan akronim tersebut, hanya DBF dan BLW yang merupakan kosakata bahasa Inggris. Menurut Kridalaksana dalam buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia, singkatan dan akronim tersebut tidak memenuhi kaidah fonetik bahasa Indonesia sehingga tampak asing bagi penutur bahasa Indonesia.
DBF merupakan singkatan dari direct breastfeeding, yaitu menyusui bayi secara langsung dari payudara sang ibu. Metode ini telah dianjurkan oleh organisasi kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO) agar ibu memberikan ASI (air susu ibu) secara ekslusif kepada bayi selama enam bulan pertama pascalahir. Sementara itu, BLW merupakan singkatan dari baby-led wearning, yaitu metode yang dipakai dalam mengenalkan makanan padat kepada bayi berusia enam bulan. Dalam fase ini, bayi diberikan makanan yang sudah dipotong-potong sehingga mereka dapat makan sendiri menggunakan tangan.
Selain dari DBF dan BLW, singkatan lainnya merupakan singkatan dalam bahasa Indonesia. Singkatan yang dimaksud adalah DSA (dokter spesialis anak) dan GTM (gerakan tutup mulut) karena bayi tidak mau makan. Sementara itu, semua akronim dalam data tersebut merupakan akronim bahasa Indonesia yang terdiri atas paksu (pak suami), debay (adek/dedek bayi), tumgi (tumbuh gigi), bapil (batuk pilek), biput (bingung puting), sufor (susu formula), bamer (bawang merah), baput (bawang putih), bumtik (bumbu aromatik), serta prohe (protein hewani) dan prona (protein nabati).
Jika dilihat dalam kamus, singkatan dan akronim tersebut merupakan singkatan baru dan belum ada dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Padahal, jika dilihat penggunaan kata tersebut dalam kehidupan masyarakat Indonesia, akronim bapil, debay, dan sufor misalnya, merupakan kosakata yang paling sering dipakai. Dalam korpus Indonesia, khususnya dalam korpus Indonesian Web 2020 yang terdapat dalam Sketch Engine, terdapat 30.393 konkordansi kata debay, 7.217 konkordansi kata sufor, dan 284 konkordansi kata bapil. Konkordansi menampilkan penggunaan kata dalam korpus tersebut. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa frekuensi penggunaan akronim bapil, debay, dan sufor cukup tinggi dan tentu berpeluang masuk ke dalam kosakata bahasa Indonesia.
Kemungkinan kosakata ini masuk dalam KBBI juga tinggi jika dibandingkan dengan singkatan kurleb (kurang lebih) yang sudah masuk dalam KBBI pada pemutakhiran Oktober 2023. Jika dilihat pada korpus bahasa Indonesia, frekuensi penggunaan kurleb hanya muncul sebanyak 1.754 kali. Frekuensi penggunaan debay dan sufor ternyata jauh lebih tinggi dari kurleb. Meskipun ada pertimbangan tertentu dalam memasukkan sebuah kata dalam kamus, setidaknya data ini menunjukkan bahwa kosakata bahasa Indonesia akan terus berkembang melalui proses pembentukan kata baru. Dalam hal ini, proses pembentukan kata baru terbentuk melalui proses penyingkatan berupa singkatan dan akronim.
Proses pembentukan kata baru melalui proses singkatan dan akronim memang sangat subur di Indonesia. Masyarakat Indonesia sangat suka menyingkat kata sehingga sebagian orang ada yang tidak menyadari bahwa sebuah kata adalah bentuk akronim. Hal ini bisa dilihat pada bentuk tilang yang merupakan singkatan dari bukti pelanggaran. Ketidaksadaran masyarakat tersebut dapat dilihat pada salah satu judul berita berikut.
Bayar dan Ambil Bukti Tilang Kini Bisa di Mal.
Judul berita tersebut ditulis oleh Dananjaya (2022), wartawan media online Kompas yang menulis di rubrik “Otomotif”. Penggunaan kata bukti dalam bentuk bukti tilang tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia karena terjadi penggunaan kata yang berlebihan. Bukti tilang merupakan singkatan dari bukti bukti pelanggaran. Oleh karena itu, seharusnya bentuk bukti pada judul tersebut tidak ada. Ager (2001) dan Kridalaksana (1991) menyatakan bahwa hal tersebut terjadi karena sejumlah masalah kebahasaan tidak dirasakan oleh masyarakat.
Karena tingginya kemunculan kata baru dalam bahasa Indonesia melalui singkatan dan akronim, kegelisahan seseorang terkait kosakata dalam posting-an video tadi sangat layak dipertimbangkan masuk ke dalam kamus bahasa Indonesia. Apalagi, jika dilihat dalam kolom komentar, beberapa orang mengungkapkan bahwa mereka mencari kepanjangan singkatan dan akronim tersebut melalui mesin pencari. Agar kebutuhan masyarakat Indonesia terkait kosakata baru bahasa Indonesia terwadahi, kosakata tadi perlu direkam sebagai kosakata bahasa Indonesia. Apalagi, singkatan dan akronim tersebut telah menjalankan fungsinya dalam komunikasi dan perekat hubungan sosial masyarakat Indonesia.
Discussion about this post