Oleh: Rosidatul Arifah
(Mahasiswi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Menulis adalah sebuah keberanian”-Pramoedya Ananta Toer
Kisah memilukan rezim Orde Baru (Orba) masih meninggalkan jejak di benak sejarah kesusastraan Indonesia. Tahun 1966-1998 lalu adalah tahun-tahun historikal yang amat penting bagi latar belakang perkembangan dan pergolakan sastra di kemudian hari yang menjadi titik tolak sastra hingga hari ini. Era ‘wabah sastra buron’ ini, diketahui mengintimidasi karya sastra sehingga pada masa ini karya sastra bukan lagi sebuah karangan bebas dari imaji penulis yang lahir dari proses kreatif penulis. Karya sastra yang dianggap memiliki atau mengandung bobot kritis dan berseberangan dengan penguasa diberedel layaknya penjahat dan diawasi dengan ketat peredarannya, hingga dibekukan.
Era Orba yang dimulai dari bangkitnya peristiwa besar yang menghantam Indonesia di era tahun 1965 pada akhir pemerintahan Soekarno, yakni peristiwa G30/S PKI merupakan cikal bakal berdirinya pemerintahan Soeharto. Masa ini menjadi titik baru dan permulaan pemerintahan Orba. Berangkat dari peristiwa besar yang melatarbelakangi sejarah kelam bangsa ini, Soeharto dianggap sebagai ‘Pahlawan’ Gerakan Separatis G30/S yang diduga didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI.
Di masa awal pemerintahan Orba, pada tahun 1966, kehidupan bernegara masih diwarnai dengan kekuatan semangat kebebasan dan suara rakyat agar terbebas dari rezim Soekarno yang diluncurkan melalui aksi-aksi jalanan, demonstrasi para pelajar, dan mahasiswa yang didukung oleh aparat. Semangat ini kemudian juga merambat dalam bentuk praktik-praktik kebudayaan yang digiatkan oleh para penulis anti-komunis pada beberapa majalah sastra di Indonesia masa itu.
Pemerintahan rezim ini berusaha melakukan pengontrolan pers dengan amat ketat dengan membredel majalah atau surat kabar yang dianggap kritis kepada penguasa, menjinakkan pers yang membuat kegaduhan atau ketertiban umum (Hill, 2011). Akibat kegaduhan G30/S yang dianggap gerakan separatis yang didalangi oleh partai kiri ini, pemerintahan Soeharto yang menjabat rezim itu amat memperketat seluruh bentuk media cetak yang dianggap mengisi propaganda PKI, dari segala bentuk majalah dan surat kabar di media cetak hingga impact-nya kepada karya sastra. Mengutip pada pernyataan Seno Gumira Ajidarma bahwa kebebasan berbicara dapat dilakukan lewat sastra: “Ketika Jurnalisme dibungkam, maka Sastralah yang berbicara”. Pernyataan itu mengisyaratkan sastra menjadi ‘obat penenang’ dari pembungkaman terhadap jurnalisme dan pers. Namun nyatanya, masuk ke dalam tahun-tahun ini, karya sastra bukan lagi sekadar hiburan semata, bacaan di kala senggang, atau sebagai pemenuh imaji penulis saja, sastra sebagai ‘Obat Penenang’ dari kegalauan pembungkaman Orba. Inilah tonggak awal munculnya istilah ‘Sastra Politik’ dalam dunia sastra.
Sepintas terlihat tidak ada yang janggal dari keadaan sastra kala itu karena selain menjadi media hiburan, sastra juga sebagai alat cermin realitas kehidupan di zaman itu yang sedang marak-maraknya. Orba dengan segala intimidasi dan pembungkaman yang dilakukannya. Para sastrawan dari berbagai golongan terus mencoba menjadikan produk sastra serealistis mungkin, terlebih setelah adanya pembungkaman terhadap hak pers dan jurnalisme. Para sastrawan mencoba membangkitkan karya sastra dengan isu-isu yang menggambarkan keadaan pada zaman itu. Salah seorang sastrawan rezim Soeharto yang dicap giat menulis hingga mengalami pembungkaman ialah Pramoedya Ananta Toer, atau akrab disapa Pram.
Berkenalan dengan Pram, tokoh sastrawan ternama dan berpengaruh di Indonesia, tulisan-tulisan beliau banyak dibaca pada era pertengahan hingga akhir abad ke-20. Namun sayangnya, karya-karya Pram banyak dinilai bertolak-belakang dengan penguasa saat itu sehingga dinobatkan sebagai karya ilegal karena dianggap menentang Orba dan dianggap mengganggu ketertiban masyarakat. Beberapa tulisan Pram dinyatakan tidak layak edar. Hal ini juga digambarkan oleh Leila S. Chudori dalam buku fenomenal yang berjudul “Laut bercerita”. Ia menggambarkan bagaimana salah satu karya Pram dicap sebagai karya kriminal kala itu, yaitu novel Bumi Manusia. Novel yang begitu kontroversial sehingga para mahasiswa dan aktivis harus amat berhati-hati jika ingin membaca atau membawa tulisan Pram. Apabila bertemu aparat, mereka bisa dicap sebagai kriminal dan pengkhianat bangsa hingga harus menjalani hukuman layaknya pelaku kriminalitas.
Jika ditilik lebih jauh, sebenarnya tidak ada hal-hal berbau kritik pedas hingga yang begitu kontroversial pada novel Bumi Manusia. Seri pertama dari Tetralogi Pulau Buru ini mengisahkan perjalanan seorang pribumi bernama Minke dan kisah cintanya dengan Anneliese Malemma, anak dari pernikahan seorang Belanda dengan Nyai Ontosoroh, pribumi yang tidak pernah dinikahi secara sah (dalam hukum Belanda) oleh ayah Anneliese. Novel ini mencoba mengangkat keadaan kaum pribumi totok (orang asli keturunan Indonesia) dalam melawan diskriminasi yang pekat. Anggapan bahwa pribumi totok adalah sampah dan tidak layak untuk mendapatkan pendidikan. Minke diasingkan oleh teman-teman sekelasnya karena dianggap tidak selevel dengan mereka yang berdarah campuran Indo-Eropa atau bahkan Eropa totok. Kisah asmaranya dengan Anneliese yang rungkad dan kandas karena pertikaian hukum Belanda yang tidak mengakui bahwa Minke adalah suaminya walaupun Minke sudah menikahi Anneliese sah secara adat dan agama. Pemerintahan Belanda tidak mengakuinya. Anneliese dianggap tidak ada hubungan lagi di Hindia Belanda setelah kematian ayahnya karena pernikahan ibunya, Nyai Ontosoroh tidak diakui oleh pemerintah Belanda. Anneliese dipulangkan dengan paksa oleh Pemerintah Belanda ke negerinya dengan meninggalkan ibu dan suaminya. Minke digambarkan amat linglung karena tidak bisa berbuat apa-apa, terlebih lagi melawan penguasa yang diperintah oleh Belanda.
Bumi Manusia seutuhnya menggambarkan gejolak yang timbul dalam diri Minke atas segala ketimpangan yang dirasakannya sebagai seorang pribumi. Sebagai pemilik tanah, ia malah diasingkan di negeri sendiri, Minke merampungkan segala ketidakadilan yang dirasakannya sebagai seorang priyayi yang ingin keluar dari labirin kejawaannya menuju manusia bebas dan merdeka. Dari sisi lain, ia ingin membantah jiwa keeropaan yang dengan bangga dikenalkan saat itu sebagai simbol dari ketinggian ilmu pengetahuan, adab, dan norma. Minke tidak ingin menjadi Eropa dan juga tidak ingin abadi kepribumiannya, Minke hanya ingin menjadi manusia bebas yang tidak diikat oleh norma ‘gila kehormatan’ yang bertentangan dengan hati nurani manusia.
Buku series pertama dari tetralogi Pulau Buru ini ditulis Pram ketika menjadi tahanan politik. Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang banyak menuai kontroversi di era Orba dan tercatat sebagai sastrawan yang paling banyak dilarang karyanya, yaitu sebanyak 21 buah buku. Salah satu pelarangan yang paling kontroversi ini jatuh kepada Bumi Manusia. Selain dianggap mengandung unsur perlawanan terhadap pemerintahan yang berkuasa, novel ini dicurigai sebagai karya yang mengandung ideologi dan paham komunis. Sebagai pimpinan Orba yang baru saja menuntaskan gejolak komunisme di tanah Indonesia, Soeharto menyatakan larangan keras terhadap karya yang berbau komunisme dan golongan kiri. Walaupun akhirnya, pihaknya tidak pernah berhasil mengungkap data mana dan bagian apa saja dalam novel Bumi Manusia yang membungkus persoalan dan ajaran-ajaran komunisme.
Pemerintahan membekukan seluruh karya-karya Pram yang dianggap menyimpang dari ideologi negara bukan tanpa sebab. Pram diasingkan dan dipenjarakan tanpa pernah diadili, semasa hidupnya sudah bersahabat dengan sel-sel jeruji besi, dan Bumi Manusia adalah salah satu dari karya Pram yang ditulis ketika ia menjalani tahanan politik pada 1969. Bukan tanpa sebab, selain dugaan unsur pemberontakan kepada pemerintahan rezim, Pram didalang juga pernah memiliki hubungan baik dengan partai sayap kiri, bahkan beberapa pendapat menyebutkan Pram adalah bagian dari Partai Komunis itu sendiri walaupun belum ada bukti konkret yang menyatakan kebenaran pendapat ini, Namun, Pram memang terhimpun dalam sebuah komunitas yang menghimpun budayawan dan sastrawan yang dicurigai sebagai simpatisan PKI, yaitu Lekra. Lekra atau Lembaga Kesenian Rakyat berdiri pada 17 Agustus 1950 di Jakarta dan hampir seluruh anggotanya sudah dipengaruhi partai sayap kiri yang berhaluan ateisme.
Di kemudian hari, Lekra tak hanya bergerak di bidang kebudayaan, Lekra kemudian menjelma menjadi organ kesenian dan kebudayaan yang belakangan diketahui berkerabat dekat dengan partai sayap kiri yang menjadi lampu merah Orba. Meski tak semuanya anggota yang terhimpun dalam Lekra adalah simpatisan PKI, Lekra menjalani hubungan baik dengan partai sayap kiri itu sehingga memunculkan berbagai asumsi negatif dari banyak pihak. Lekra disebut-sebut sebagai kaki tangan PKI yang terkenal sangat radikal dan ekstrem. Lekra selanjutnya berkembang bukan sekadar lembaga kebudayaan semata, melainkan menjelma menjadi lembaga politik provokatif yang bernaung dalam kebudayaan.
Karena dianggap pernah bernaung dalam keterlibatannya dengan organisasi terlarang Lekra, Pram dicap layaknya simpatisan PKI yang harus diusut tuntas seperti janji Soeharto. ‘Sastrawan Buron’ Pram kemudian diasingkan dan dipenjarakan tanpa pernah diadili, bertahun-tahun Pram mendekap di jeruji besi, namun selama menjadi tahanan politik, Pram tetap menyibukkan diri bergulat dengan tulisan, Bumi Manusia adalah salah satu karya yang lahir di tangan Pram ketika masih mendekap dalam jeruji. Berbekal beberapa buku dan kamus yang selalu dikirimkan ke tahanannya. Karena latar belakang Pram yang dianggap tidak bersih dari pengkhianatan, partai kiri inilah yang melandasi ‘apel merah’ pada karya-karya Pram hingga menuai banyak kontroversi dan anggapan bahwa Pram adalah bagian dari aliran komunisme yang harus diberantas tuntas sehingga Bumi Manusia yang terbit pada rezim ini dicap sebagai bacaan terlarang, terlepas dari tidak adanya bukti kongkret yang menyatakan adanya unsur dan ajaran atheisme dalam serial Bumi Manusia ini, namun profil dan latar belakang Pram cukup menjelaskan alasan pembekuan karyanya di rezim Orba. Terlepas dari seluruh tetek-bengek kelahirannya, Bumi Manusia mengandung cikal-bakal jiwa dalam gejolak semangat pergerakan dan nilai-nilai perubahan. Tokoh Minke berhasil menyapa pembaca hingga hari ini, dan menggandeng kembali ingatan menuju kilas balik.
Padang, 7 Januari 2024
Discussion about this post