Oleh: Ria Febrina
(Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Akhir-akhir ini hujan turun di Yogyakarta, padahal akhir tahun kemarin, cuaca sangat terik. Panas seperti tak ingin beranjak dari langit Yogyakarta. Ada yang bilang, itulah istimewanya cuaca di Yogyakarta. Alam bak mendukung para wisatawan yang datang. Siapa pun bisa bepergian menikmatinya indahnya Yogyakarta tanpa takut hujan akan datang. Padahal, di beberapa daerah di Indonesia, hujan seakan-akan tak pernah reda. Banjir sudah terjadi di mana-mana, rumah-rumah juga ada yang terendam. Hukum alam tentang -ber pada September, Oktober, November, dan Desember tidak berlaku di Yogyakarta.
Setelah liburan usai, barulah bumi Yogyakarta basah. Awal-awal hujan turun, terasa bau tanah menyengat ke hidung. Maklum, hujan tak pernah singgah secara teratur. Bahkan, kita bisa menghitung berapa kali hujan turun dalam setahun. Meskipun demikian, seminggu terakhir hujan di Yogyakarta cukup lebat, juga disertai angin kencang. Atap rumah kami sampai berbunyi keras seperti ada yang perang di sana. Hujan berkepanjangan ini mampu membuat rumput Alun-alun Kidul Yogyakarta yang kering kerontang dan meranggas, kini subur bak padang rumput ilalang.
Hujan sudah datang setiap hari, tapi tidak sepanjang hari. Pagi-pagi kala warga Yogyakarta berangkat ke kantor atau ke sekolah, cuaca hanya mendung. Saat orang sibuk bekerja, hujan turun sejenak. Lalu reda, turun lagi, reda lagi. Kalau di Yogyakarta, kita memang tidak perlu khawatir bepergian naik motor kala hujan. Kalau hujan, berteduhlah agak beberapa menit. Saat reda, silakan jalan lagi. Hujan lagi, berteduh lagi. Cuaca yang unik, tapi kadang membuat saya kagum dan juga tersenyum sendiri.
Cuaca begini membuat Yogyakarta menjadi sejuk. Kita bisa tidur tanpa kipas angin, padahal pada saat cuaca terik, dua kipas angin masih membuat badan berkeringat. Kala cuaca adem begini, pasti ada keinginan mengunjungi tempat wisata yang juga memberi suasana sejuk dan tenang. Sebuah tempat yang dipenuhi pepohonan. Kita perlu menghirup wangi daun dan pohon basah. Nah, satu tempat terbaik untuk duduk menikmati suasana alam adalah Hutan Pinus Mangunan. Sebuah lokasi yang kini menjadi destinasi wisata berbasis lingkungan.
Jaraknya 16 km dari Yogyakarta. Letaknya di Imogiri Timur, tepatnya di Desa Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Kita bisa berkendara naik motor atau mobil ke sana, tapi perlu hati-hati karena jalannya mendaki dan ada beberapa tikungan yang cukup tajam. Jika berangkat dari pusat kota Yogyakarta, seperti dari Malioboro atau Tugu Yogyakarta, perlu waktu sekitar satu jam ke sana. Namun, perjalanan selama satu jam tersebut akan terbayarkan dengan suasana sejuk, pemandangan di antara pohon pinus yang menjulang tinggi, serta lautan pohon yang bisa dilihat dari tebing Hutan Pinus Mangunan. Sungguh akan mengundang decak kagum. Saya yang pernah sekali ke sana, ingin datang lagi dan lagi.
Hutan Pinus Mangunan ini merupakan salah satu destinasi wisata berbasis lingkungan. Siapa yang mengira, konon katanya, dulu hutan ini merupakan kawasan yang tandus karena pohon-pohon di sana habis ditebang. Setelah direboisasi, Hutan Pinus Mangunan kini menjadi rumah untuk pohon pinus, mahoni, akasia, kemiri, dan kayu putih. Penduduk dan pemerintah setempat sudah mengubah hutan ini menjadi sebuah destinasi dengan mempertahankan lingkungan sebagai tempat untuk tumbuhnya pepohonan dan hidupnya sekelompok hewan. Sebuah lokasi yang kini menjadi hutan lindung dan menjadi bagian dari Kawasan RPH (Resort Pengelolaan Hutan).
Kala itu, saya, suami, dan anak-anak datang bersama teman yang juga studi S-3 di Yogyakarta. Bersama suami dan anak-anaknya, dia mengajak kami ke Hutan Pinus Mangunan. Saat tiba di sana, kami tak langsung masuk. Dari tempat parkir, ada sebuah tempat yang disediakan khusus untuk kulineran. Kursi dan meja disusun rapi di depan mobil yang terparkir. Sepanjang mata memandang, kita akan melihat pondok-pondok kecil yang menyajikan makanan dan minuman lokal, serta makanan dan minuman yang nikmat disantap saat cuaca sejuk begini.
Kami pun memesan beraneka makanan. Ada tongseng, soto, pecel ayam, pisang goreng, mendoan, dan mie rebus tentunya. Minuman hangat menemani perut kami yang dingin. Teh dan jeruk panas sangat nikmat diminum di sini. Seharusnya kami menikmati kopi, tapi tak satu pun dari kami yang suka minum kopi. Meskipun tanpa kopi, sarapan pagi ini cukup nikmat di antara drama kecil kala anak-anak merajuk minta mainan.
Setelah sarapan, kami pun menyeberang ke arah pintu masuk. Persis di seberang tempat parkir ini, terdapat sebuah tulisan besar di depan pohon pinus yang berjejer di balik pagar kayu. Tulisan tersebut adalah HUTAN PINUS MANGUNAN. Berada di depan tulisan tersebut, membuat kami ingin berfoto dan membuat kenangan bahwa kami pernah menikmati harum dan sejuknya udara di Hutan Pinus Mangunan.
Anak sulung saya menyempatkan diri membuat vlog. Bersama teman barunya, mereka mengakrabkan diri dan bercengkrama sembari direkam. Bersama-sama kami menuju loket pembelian tiket. Setelah membayar tiker seharga Rp5.000,00 per orang, kami masuk ke Hutan Pinus Mangunan.
Di dalamnya kami berjalan di atas jalan setapak yang dibuat meliuk di antara pohon pinus yang sangat tinggi menjulang. Gambaran hutan masa kecil singgah di pikiran saya. Kita berdiri di antara pohon-pohon dan kala menengadah ke atas, kita akan melihat langit menjadi atap hutan ini. Langit yang berwarna biru bisa ditatap dengan mata terbuka karena matahari tidak langsung mengenai mata. Cahaya matahari hanya membias di antara pepohonan.
Jalan yang ditempuh di dalamnya cukup jauh dan berliku. Namun, jangan khawatir. Di sepanjang perjalanan, ada kursi-kursi dari kayu yang disediakan untuk kita yang lelah. Kursi-kursi ini sangat membantu pengunjung yang datang bersama orang tua dan anak kecil. Nafas mereka tak seperti anak muda. Butuh berkali-kali istirahat dalam Hutan Pinus Mangunan. Namun, istirahat dalam hutan beda dengan istirahat di jalan-jalan di tempat wisata lain yang terbuka. Kita disuguhkan bunyi dan aroma hutan yang khas. Ada rasa tenang yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Setelah jalan setapak tadi, kita akan disuguhkan dengan jalan mendaki. Di beberapa tempat, pengelola hutan menyediakan jembatan kecil yang terbuat dari kayu. Di lokasi-lokasi tersebut, kita bisa juga berhenti dan berfoto. Pun ke atasnya, akan ada rumah pohon yang sangat tinggi. Rumah pohon dibangun di antara pohon-pohon pinus tersebut. Karena pohon pinus sangat tinggi, tentu kita bak berada di atas pepohonan. Bagi orang-orang seusia saya, perasaan ngeri dan darah berdesir tak henti-henti datang. Namun, dengan kekuatan hati dan keinginan berdiri di rumah pohon, akhirnya kami naik juga. Untuk menghilangkan rasa takut, kami tertawa bersama-sama dan mengobrol ngalor-kidul.
Puas berfoto di rumah pohon, kami turun. Kami naik lagi ke atas hingga menemukan sebuah pondok dengan taman kecil di sekitarnya. Di sana terdapat ayunan kayu. Anak-anak silih berganti bermain ayunan. Di kota-kota tak akan ditemukan ayunan serupa ini. Bukan karena jenis ayunannya, tapi karena suasananya. Ayunan dalam hutan pinus. Sungguh membuat hati bahagia.
Untuk anak-anak muda yang suka bertualang, banyak tempat bagus untuk dijadikan spot foto di sini. Beberapa pasangan muda yang akan menikah, sudah banyak membuat foto prewedding. Dengan kebaya atau pakaian nikah sewa, mereka dijepret di antara pohon-pohon yang menawarkan suasana syahdu. Ada yang bilang, suasana Hutan Pinus Mangunan mirip dengan suasana hutan-hutan di Forks atau kota-kota kecil di Evergreen State. Hutan-hutan yang ada dalam film-film Hollywood. Bagi yang ingin menyelenggarakan acara, di sini juga ada panggung terbuka. Beberapa waktu lalu, para pendongeng Indonesia pernah membuat acara di sini. Tentu tidak tertutup kemungkinan untuk para mahasiswa dan para karyawan yang ingin mengadakan family gathering, memilih lokasi ini sebagai pilihan terbaik.
Anak-anak muda juga berkreativitas membuat filosofi untuk kawasan ini. Mereka membuat filosofi pohon pinus ini sebagai lambang cinta orang Korea. Pohon pinus yang memiliki batang pohon tegak lurus menggambarkan simbol cinta yang lurus. Daun pinus yang selalu hijau dianggap melukiskan cinta yang tidak akan pernah berakhir. Itulah mengapa anak-anak muda menyebutnya dengan everlasting love. Meskipun hanya filosofi, tapi analogi ini setidaknya mampu menumbuhkan kecintaan dan kesadaran mereka terhadap lingkungan. Mereka menjadi peduli lingkungan dan tentunya akan terus menjaga hutan ini dan semoga dapat menjauhi tangan-tangan jahil dari keuntungan pribadi.
Bagi yang punya jiwa petualang, perlu rasanya berkunjung ke sebuah tempat yang menjadi sumber mata air Bengkung di sekitar hutan ini. Masyarakat sekitar mempercayai bahwa sumber mata air tersebut merupakan lokasi pertapaan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sultan Agung Hanyakrakusuma merupakan raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613—1645. Akibatnya, banyak orang berziarah ke lokasi yang pada tahun 1925—1930 dibangun oleh Pemerintah Belanda ini. Ada beberapa jalan yang bisa ditempuh untuk ke sana. Katanya bisa mengikuti outbound Watu Abang atau mengikuti jalan melingkar yang hanya bisa ditempuh dengan sepeda motor.
Namun, kami bukan petualang. Kami hanya orang tua yang membawa anak-anak berkunjung ke alam. Kami hanya mampu naik setingkat lagi ke dekat tebing Hutan Pinus Mangunan. Di dekat tebing, ada beberapa spot foto berbayar. Kami memilih berfoto di dua lokasi, pertama di atas kapal yang bak terdampar di atas pohon pinus, serta di tepi tebing yang menyajikan lautan pohon di bawahnya. Karena matahari sudah menerpa kulit dan mata kami, kami harus memicingkan mata berfoto dengan aneka gaya.
Lokasi ini menjadi tempat terakhir tujuan kami. Selepas itu, kami kembali menyusuri jalan tadi dan kembali menikmati pohon-pohon pinus yang menjulang. Sinar matahari mulai terik dan tak lagi mengintip dari sela-sela pohon. Meskipun masih sejuk, sinarnya sudah terasa menghangatkan tubuh. Kami berjalan sembari bercerita, serta juga mendengar celotehan segerombolan anak muda yang sama-sama menikmati hutan pinus.
Hutan Pinus Mangunan menjadi tempat wisata terbaik yang saya temukan di Yogyakarta. Mungkin karena waktu saya paling banyak dihabiskan di kota, suasana alam dan cerita orang-orang tentang alam membuat saya menggebu dan kadang menanam cemburu. Padahal, Sumatera Barat dikenal dengan banyak kawasan seperti hutan pinus ini. Ada bukit, gunung, kebun, sawah, dan juga danau yang mampu menyuguhkan suasana alam yang sangat indah dipandang. Berada di Hutan Pinus Mangunan membuat saya menulis banyak rencana. Kala pulang nanti, saya akan menjejali lagi semua wisata alam Sumatera Barat. Kala masa itu datang, tentu saya akan mengenang suasana syahdu di Hutan Pinus Mangunan ini.
Discussion about this post