Populernya drama serial “Gadis Kretek” yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo membuat kosakata bahasa Indonesia juga semakin populer. Drama serial yang diangkat dari sebuah novel yang ditulis oleh Ratih Kumala membuat orang-orang kembali mengenal asal-muasal kata keretek. Setidaknya satu orang anak muda pernah bertanya kepada saya, apakah kata keretek benar berasal dari bunyi api yang menyulut rokok? Katanya, dia justru mengenal kata keretek melalui terapi pijat kretek.
Dalam sejarah bahasa Indonesia, kata keretek merupakan tiruan bunyi daun terbakar. Kata ini tercatat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh Poerwadarminta (1952). Dalam kamus ini, kata keretek didefinisikan dalam dua makna, yaitu 1) ‘rokok’ dan 2) ‘bunji sebagai daun terbakar’. Definisi ini mirip dengan yang dideskripsikan Ratih Kumala dalam novelnya.
Ketika api menyulut dan menghabiskan batang lintingan itu, terdengar suara keretek-keretek akibat terbakarnya cengkeh rajangan.
(Ratih Kumala, 2023: 179)
Namun, dalam perkembangannya, seorang terapis juga menamai terapi pijatnya dengan terapi pijat kretek karena bunyi yang dihasilkan dari terapi ini juga keretek keretek. Penamaan pijat terapi kretek ini sah-sah saja karena onomatope atau tiruan bunyi memang lahir dari tiruan bunyi benda-benda sekitar. Namun, makna kata keretek yang muncul melalui terapi ini belum ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Makna baru yang dihasilkan pada kata keretek ini merupakan salah satu dampak dari perkembangan kehidupan masyarakat. Sebuah kosakata akan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan penuturnya. Hal tersebut pun akhirnya memberi dampak dalam perkembangan kosakata bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia berkembang, baik dengan bertambah kosakata atau berkembang maknanya. Dalam hal perkembangan makna, makna kata dapat meluas, menyempit, membaik, atau memburuk. Pemaknaan ini lahir dari sikap para penuturnya.
Khusus untuk kata keretek, kata ini dapat dimaknai sebagai onomatope daun terbakar dan juga onomatope dari persendian setelah dipijat. Onomatope merupakan proses pembentukan kata melalui tiruan bunyi. Dalam kajian Linguistik, Chaer (2016) menyatakan bahwa onomatope termasuk dalam salah satu dasar penamaan kata berdasarkan peniruan bunyi.
Namun, satu hal yang barangkali membuat orang bertanya, manakah kata yang benar kretek atau keretek? Untuk jawabannya, kita dapat merujuk KBBI. Dalam KBBI, dicantumkan bahwa kata keretek merupakan bentuk baku dari kretek. Akan tetapi, jika membaca novel “Gadis Kretek”, kita akan menemukan kedua bentuk ini dalam novel tersebut.
Halaman 35 Paragraf 1
Ragu, tapi akhirnya Tegar nyalakan juga rokok itu. Diisapnya sekali. Kretek-kretek… terdengar bunyi cengkih terbakar di dalam batang rokok itu.
Halaman 179 Paragraf 7
Ketika api menyulut dan menghabiskan batang lintingan itu, terdengar suara keretek-keretek akibat terbakarnya cengkeh rajangan.
Penulis maupun editornya luput untuk memilih satu kata sebagai konsistensi dalam penulisan. Mereka sebenarnya bisa memilih kata kretek sebagai variasi bentuk dari keretek. Namun sayangnya, penulis maupun editor luput akan hal tersebut sehingga kedua bentuk ditemukan dalam novel. Hal ini barangkali yang menyebabkan pembaca bertanya mana bentuk bakunya.
Selain Ratih Kumala, apakah ada penulis lain di Indonesia yang menciptakan variasi atau bentuk baru dari onomatope? Jika kita menelusuri lagu dan komik bahasa Indonesia, kita akan menemukan banyak onomatope. Misalnya, dalam lagu anak-anak Indonesia, kita sudah mengenal banyak kata yang berasal dari tiruan bunyi. Ada tiruan bunyi yang berasal dari suara khas benda, seperti kring kring kring (bunyi sepeda dalam lagu “Kring Kring”), tok tok tok (bunyi sepatu dalam lagu “Kring Kring”), tuk tik tak tik tuk tik tak (suara sepatu kuda dalam lagu “Naik Delman”), tut tut tut (bunyi kereta api dalam lagu “Naik Kereta Api”), dooor (bunyi balon pecah dalam lagu “Balonku”), dan tik tik tik (bunyi hujan dalam lagu “Hujan”).
Selain dari suara khas benda, ada juga tiruan bunyi yang berasal dari hewan, seperti guk guk guk (suara anjing dalam lagu “Anjing Kecil”), meong meong (suara kucing dalam lagu “Kucingku”), dan kukuruyuk (suara ayam dalam lagu “Kukuruyuk”). Ada juga tiruan bunyi yang berasal dari manusia, seperti prok prok prok (bunyi hentakan kaki dalam lagu “Aku Seorang Kapiten” dan lalalalalalalalalalala (bunyi perasaan bahagia dalam lagu “Potong Bebek Angsa”).
Di antara tiruan bunyi tersebut, tiruan yang sudah masuk dalam KBBI di antaranya kring ‘tiruan bunyi sepeda, telepon’, tik ‘tiruan bunyi detik arloji, hujan’, guk ‘tiruan bunyi anjing menggonggong’, meong ‘tiruan bunyi kucing’, dan kukuruyuk ‘tiruan bunyi ayam berkokok’. Sementara itu, tiruan lainnya adalah onomatope yang masih berkembang di tengah-tengah masyarakat, namun belum masuk ke dalam KBBI.
Masyarakat, khususnya para pencipta lagu, serta penulis cerita pendek, novel, dan komik merupakan orang-orang yang akan terus menghadirkan tiruan bunyi dalam bahasa Indonesia. Misalnya, dalam komik-komik Indonesia, kita akan menemukan kata deg ‘tiruan bunyi terkejut’, gubrak ‘tiruan bunyi benturan yang keras’, tap ‘tiruan bunyi langkah kaki’, hiks ‘tiruan bunyi seseorang menangis’, dan ugh ‘tiruan bunyi seseorang kesakitan’. Tiruan bunyi ini juga belum ada dalam KBBI, tapi digunakan secara produktif dalam bahasa Indonesia.
Meskipun belum ada dalam KBBI, tiruan bunyi yang berkembang hari ini memiliki peluang untuk dibakukan sebagai salah satu kosakata dalam bahasa Indonesia. Onomatope merupakan salah satu cara yang dilalui oleh sebuah kata dalam bahasa Indonesia. Kehadiran sebuah kata dalam bahasa Indonesia dapat berasal dari tiruan-tiruan bunyi yang ada di sekitar penuturnya.
Namun, proses pembakuan kata yang lahir melalui onomatope ini, tidak serta-merta sama dengan kata yang dipakai oleh penuturnya. Misalnya, kata kring yang merupakan tiruan bunyi dari sepeda tidak diserap kring kring sebagaimana dihadirkan dalam lagu bahasa Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia hanya menyerap salah satu bentuk saja, tetapi masyakat boleh memakainya dengan mengulang bentuk tersebut. Misalnya, kring kring, tik tik tik, atau guk guk guk.
Melihat bentuk-bentuk onomatope dalam bahasa Indonesia tersebut, kita dapat mengklasifikasi strukturnya ke dalam beberapa bentuk, yakni 1) satu suku kata seperti kring, tik, guk; 2) dua suku kata seperti meong, 3) tiga suku kata seperti gedebuk, dan 4) empat suku kata seperti kukuruyuk. Kosakata tersebut memiliki variasi makna, seperti tik (menggambarkan keadaan) dan kring (tiruan perbuatan).
Setelah mengetahui onomatope tersebut, tentulah muncul sebuah pertanyaan? Apakah onomatope ini sama antara satu bahasa dengan bahasa lain? Apakah bahasa Inggris memiliki tiruan bunyi yang sama? Jawabannya, tidak. Tiruan bunyi ini merupakan kesepakatan yang dimiliki oleh penutur.
Andi Wete Polili dari Universitas Negeri Medan pernah mencatat onomatope dari beberapa negara. Ia menemukan bahwa onomatope kukuruyuk dalam bahasa Indonesia dicatat sebagai kukurukuk dalam bahasa India, gugurigu dalam bahasa Cina, cocrico dalam bahasa Perancis, kikeriki dalam bahasa Jerman, dan kokekoko dalam bahasa Jepang. Contoh lainnya, guk guk dalam bahasa Indonesia dicatat sebagai oua oua dalam bahasa Perancis, waw waw dalam bahasa Jerman, wa wa dalam bahasa Jepang, dan gaf gaf dalam bahasa Rusia. Bentuk-bentuk tersebut menunjukkan bahwa kosakata yang terbentuk melalui proses onomatope juga arbitrer atau terbentuk dari kesepakatan para penuturnya sebagaimana disampaikan oleh Aristoteles (384—322 SM) bahwa pemberian nama adalah soal konvensi atau perjanjian di antara anggota suatu masyarakat bahasa.
Jika menyaksikan kosakata tersebut, tampaklah bahwa sebuah bahasa dapat memiliki khazanah dari onomatope. Onomatope ini lahir tentunya dari kreativitas dan kepekaan para penuturnya terhadap segala sesuatu yang berada di lingkungannya. Nah, menurut catatanmu, tiruan bunyi apa lagi yang belum masuk ke dalam bahasa Indonesia?
Discussion about this post