Oleh:
Sherly Sukmadira Putri, Siti Fadhilah Rahmi, Indah Syahfitri, Dimas Radithya, Rahmat Hidayat dan Stanley Leonard Darmali (Mahasiswa pada MKWK Universitas Andalas)
Dengan perkembangan media sosial saat ini, orang-orang sangat mudah untuk mengungkapkan pendapat mereka tentang apa pun. Terkadang, mereka mengucapkan sesuatu yang dapat menyakiti orang lain dan menyebabkan timbul ujaran kebencian (hate speech). Ujaran kebencian adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, atau hinaan terhadap orang atau kelompok lain karena berbagai alasan, seperti ras, warna kulit, gender, agama, dan lain-lain (Marpaung, 2010). Lebih jauh, diskriminasi, kekerasan, konflik sosial, atau bahkan pembunuhan dapat terjadi akibat ujaran kebencian yang dilontarkan oleh seorang pada orang lain atau seorang pada sekelompok masyarakat.
Ujaran kebencian didefinisikan sebagai perkataan, perilaku, tulisan, atau pertunjukan yang dilarang oleh hukum karena dapat memicu tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pelaku atau korbannya (Lihat KBBI V daring). Sehari-hari, kita dapat menemukan banyaknya ujaran kebencian di berbagai platform sosial media, seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan YouTube. Topik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah salah satu hal yang paling sering disinggung oleh pelaku ujaran kebencian.
Pada perspektif hukum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, Pasal 28 jis Pasal 45 ayat (2) ditetapkan bahwa orang yang menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan menimbulkan rasa kebencian maupun permusuhan dadakan menerima ancaman hukuman paling lama empat tahun dalam KUHP, antara lain pada Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 311. Produk hukum ini sudah disosialiasikan oleh pemerintah dan pihak terkait. Namun, mungkin belum sampai dengan maksimal kepada pengguna media sosial. Banyak orang masih melanggar dan menyebarkan ujaran kebencian di media sosial, meskipun ada undang-undang yang melarang ujaran kebencian. Kasus Morteza, yang baru-baru ini terjadi, adalah salah satu contoh ujaran kebencian yang tersebar di hampir semua platform media sosial. Morteza, nama asli Fikri Murtadha, adalah seorang tiktokers dari Medan. Pemilik akun Tiktok yang dikenal sebagai “bangmorteza” ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penistaan agama dan ujaran kebencian, dan dia diancam dengan hukuman penjara selama enam tahun. Dia dilaporkan telah melakukan penghinaan agama Kristen dan Protestan dalam siaran langsung yang dia buat di akun Tiktok-nya.
Sebagai umat beragama,, terutama umat Islam, telah ada pedoman dalam berkomunikasi yang baik dan santun, yakni; Al-quran. Dalam Al-Qur’an, ujaran kebencian termasuk dalam akhlak tercela Hal ini terlihat dalam surah Al-Hujurat ayat 11 dan 12. Kita dilarang mengolok-olok, mencela, dan memanggil orang lain dengan nama yang buruk. Selain itu, kita juga dilarang berprasangka, mencari kesalahan orang lain, dan mempergunjingkan orang lain.
Ujaran kebencian juga dapat ditelaah dari sudut pandang bahasa. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar juga menjadi koridor (pedoman) bagi penggunaa dalam penggunaannya sehari-hari. Pilihan kata-kata yang dipakai harus disesuaikan dengan situasi dan kontek sosialnya agar tidak menimbulkan konflik dan masalah hukum di kemudian hari. Penggunaan bahasa Indonesia yang serampangan dan mengandung ujaran kebencian akan bermuara ke kasus hukum. Biasanya, dalam bidang ilmu bahasa, masalah ini masuk ke dalam linguistik forensik (hubungan bahasa dan hukum). Pada perspektif Pancasila, ideologi negara Indonesia, ujaran kebencian juga bertentangan dengan Pancasila, terutama sila ke-2 dan sila ke-4 Pancasila. Faktanya, ujaran kebencian ini telah merusak banyak sendi-sendi kehidupan manusia dari berbagai aspek.
Kasus ujaran kebencian memiliki banyak efek negatif dan masalah serius, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Setiap orang harus menyadari bahwa ujaran kebencian adalah sikap atau perilaku yang tidak baik yang dapat memberi dampak yang sangat buruk dan bahkan dapat menyebabkan kerugian yang besar kepada orang itu sendiri dan masyarakat di sekitarnya. Untuk meminimalisasi perilaku atau kasus ujaran kebencian ini, kita harus mulai mengajarkan anak-anak tentang apa itu ujaran kebencian dan akibatnya dalam rangka untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berbahasa yang baik dan santun dalam kesehariannya maupun dalam berkomunikasi di media sosial.
Ada banyak cara untuk mengajar orang untuk menghindari ujaran kebencian, yakni seperti membuat video edukasi mengenai bahaya ujaran kebencian. Dengan menggunakan teknologi dan tren saat ini, kita dapat memberi tahu orang tentang bahaya dan efek ujaran kebencian akan lebih efektif dalan memiliki jangauan yang luas ke sulurah wilayah Indonesia misalnya, kita dapat membuat konten yang mengajarkan dan menjelaskan tentang ujaran kebencian dari berbagai perspektif hukum, Pancasila, agama, dan bahasa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat akan lebih memahami ujaran kebencian dan dampaknya yang buruk bagi diri sendiri dan orang lain.
Lalu, langkah lainnya yaitu menciptakan dan membagikan materi dakwah yang berkaitan dengan ujaran kebencian, terutama yang berkaitan dengan agama Islam, dan menghubungkannya dengan ayat-ayat atau dalil-dalil yang dapat mendukung.Hai ini akan dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya menghindari melakukan ujaran kebencian di media sosial.
Membuat film atau video drama yang dapat menyampaikan pesan tentang ujaran kebencian akan membuat orang lebih mudah mengingat dan memahami pesan yang ingin disampaikan dalam film atau video drama tersebut. Dengan menggunakan media film atau video drama yang menyampaikan pelajaran tentang ujaran kebencian, akan sangat membantu dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang ujaran kebencian di media sosial. Individu atau masyarakat memiliki preferensi yang berbeda. Semoga tulisan ini memberikan pengetahuan dan kesadaran kita mengenai pentingnya menggunakan bahasa yang baik dan benar serta santun agar kita bisa membangun masyarakat yang sadar dengan hukum, agama, Pancasila, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.
Discussion about this post