Oleh: Ronidin
(Dosen Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Sudah banyak yang diceritakan orang tentang Yogyakarta. Bagus-bagus ceritanya. Di antara cerita yang bagus-bagus itu, tentu tidak ada salahnya kalau saya tambah satu cerita lagi melalui tulisan ini. Saya pilih cerita yang menarik. Bukan tentang Malioboro dan Kraton Ngayogyakarta. Juga bukan mengenai Borobudur atau Prambanan yang ikonik itu. Cerita ini setting-nya di Sambisari dan Parangtritis. Peristiwanya menikmati akhir pekan. Amanatnya merelaksasikan pikiran.
Sabtu pagi kami ke Sambisari di Purwomartani, Kalasan, Sleman, DIY. Anak-anak ada outbond bersama teman-teman sekolahnya di sana. Kami turut serta karena sekolah meminta kehadiran orang tua. Selain untuk menemani, juga sekaligus untuk melihat-lihat menikmati suasana. Sekarang generasi z menyebutnya sebagai healing. Walaupun kata healing bermakna penyembuhan, tetapi sekarang dipakai untuk kegiatan liburan, travelling, dan aktivitas lain di laur kegiatan harian.
Ada yang menarik di Sambisari. Lokasi itu bersih. Candi Sambisari yang posisinya kira-kira 12 km di timur Kota Yogyakarta ke arah Solo atau 4 km sebelah barat Prambanan nampak estetik dilingkari dua lapis pagar batu. Di dalam pagar batu itu berdiri kokoh candi utama dan tiga candi pendamping. Komplek percandian dikelilingi lapangan rumput yang hijau. Nama candi dibentuk dengan gugusan bunga hijau yang ditata rapi. Pinggir terluar candi ditumbuhi pohon-pohon yang sebelah- menyebelahnya pemukiman penduduk.
Di sekitar lingkungan candi yang estetik itu diadakan outbound. Anak-anak menikmati acara tersebut. Ada yang tertawa-tawa. Ada yang menangis dengan mengatakan “mmmooh” karena takut bermain flying fox. Guru dan sebagian orang tua sibuk mengambil foto dan video. Petugas outbound sibuk mengatur giliran anak-anak. Orang tua yang lain ada yang turun ke pelataran candi dan berfoto-foto di sana. Antara kegiatan outbound anak dan healing orang tua berjalan bersamaan. Semua sama-sama senang. Guru yang kewalahan. Anak-anak ke sana kemari menikmati suasana alam yang di depan mata mereka.
Selepas kegiatan di sekitar Candi Sambisari, semua yang ikut tidak langsung pulang. Walaupun acara utama telah selesai, acara selanjutnya justru yang paling ditunggu anak-anak, yaitu acara mandi-mandi dan menikmati wahana wisata di taman wisata keluarga Galuh Tirtonirmolo yang terletak tidak begitu jauh dari Candi Sambisari, tepatnya di Jalan Manisrenggo km 1 Tlogo, Prambanan, DIY. Selain bisa mandi-mandi, wahana lain yang ada di waterpark ini adalah boom-boom car, komidi putar, kereta elektrik, mobil elektrik, jungle train, bioskop 3D, flying fox, kereta gantung, istana balon, dan lain-lain.
Ketika menikmati wahana-wahana tersebut, semua terlihat senang, tak anak tak orang tua. Guru pun senang. Walaupun banyak wahana yang tersedia, paling banyak anak-anak di kolam pemandian, berseluncur, dan mencebur ke air. Di mana-mana memang banyak orang suka wisata air. Kolam-kolam pemandian umumnya disesaki pengunjung. Mereka menikmati itu. Anak-anak emoh-emohan keluar dari kolam walaupun bibir mereka sudah terlihat pasi dan menggigil kedinginan. Terdapat banyak tingkatan kolam di waterpark ini seperti kolam anak, kolam orang dewasa, kolam khusus keluarga, kolam seluncur, kolam arus, kolam ember tumpah, kolam laba-laba, kolam songsong gora, kolam kuda laut, dan kolam air mancur. Ramai orang di dalam kolam itu, tak anak-anak tak orang dewasa.
Habis waktu kami di Galuh Tirtonirmolo. Juga habis uang bagi yang membawanya pas-pasan. Walaupun harga masuk dan wahana tidak mahal, hanya 20 ribu untuk masuk dan 10 ribu untuk setiap wahana, tetapi kalau semua wahana dimainkan, habis juga isi dompet dibuatnya. Tapi tak mengapalah, yang penting happy. Duit dapat dicari lagi, kebahagian nomor satu.
Kegiatan Sabtu itu diakhiri di Galuh Tirtonirmolo. Bagi anak dan orang tua yang ingin pulang sendiri disilakan. Bagi yang ikut rombongan sekolah karena sudah carter mobil dibawa kembali ke sekolah. Seharian itu kami semua dibuat penat dengan outbound di Sambisari dan wisata air di taman wisata keluarga waterpark Galuh Tirtonirmolo. Walaupun badan terasa penat, hati senang. Itu yang penting. Sabtu ini menjadi berarti di Sambisari. Sabtu yang menyenangkan Galuh Tirtonirmolo.
Minggu berikutnya, di hari Minggu pagi healing (kalau boleh memakai istilah itu) kami lanjutkan dengan perjalanan lain. Perjalanan ke Pantai Parangtritis di Kelurahan Parangtritis, Kapenewon Kretek, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini masih tentang wisata air. Bedanya, kalau minggu sebelumnya kolam air tawar, sekarang air laut, air asin. Pantai Parangtritis 27 km dari kota Yogyakarta, 40 menit berkendaraan dari pusat kota. Kami bermotor ke sana. Empat orang isinya. Melebihi kapasitas. Nasib baik selamat sampai tujuan, selamat pula sampai kembali di kontrakan.
Pantai Parangtritis yang kami kunjungi waktu itu tidak terlalu ramai. Beberapa orang nampak bersantai di sana. Ada yang mandi-mandi, ada yang menikmati kuliner, ada yang naik kuda dan kereta wisata. Ada pula yang menyewa motor ATV untuk berpusing-pusing. Anak-anak muda dua sejoli memojok berpasang-pasangan entah memperbincangkan apa. Asyik sekali mereka menikmati masa muda.
Kami sampai di Parangtritis ketika matahari menjelang siang. Angin pantai berhembus agak kencang. Ombak bergulung sedang. Ketika kami mencari-cari tempat untuk duduk, tukang es krim tiba-tiba menyodorkan beberapa potong es krim ke tangan anak-anak kami, tidak hanya sekedar membunyikan toleletnya saja. Terpaksalah kami membeli. Setiap diri satu es krim. Kemudian kami menyelosoh di pasir pantai yang menghampar menikmati es krim tersebut. Namun sesuatu terjadi, entah kapan perginya anak perempuan kami tiba-tiba sudah tidak bersama ibunya. Tengok ke sana ke mari, ternyata dia sudah di bibir pantai. Kakinya sudah basah ditimpa air laut. Tiba-tiba datang ombak cukup besar. Anak kami itu terseret olehnya. Masuk ke laut beberapa meter. Saya cepat mengejar dan mengangkatnya ke luar. Air dan pasir pantai masuk ke jilbab kecilnya. Masuk pula ke mulut dan telinganya. Dia tersedak sampai di luar. Abangnya tertawa-tawa melihat itu.
Beberapa lama dia bersin-bersin. Setelah itu baikan. Jilbab kecilnya dilepas. Lalu dia kembali lagi ke pinggir pantai. Kali ini mengajak Abangnya. Tak tertegah lagi, mereka mandi-mandi. Puas mandi, main pasir. Saya dan ibunya mengawasi dari tempat duduk kami yang tidak jauh dari situ. Sekali-kali saya ke tempat mereka memastikan kondisi mereka aman. Sampai menjelang zuhur, kami biarkan mereka menikmati air dan pasir pantai itu sementara kami menikmati pula suasana di sekitarnya. Semua senang. Menjelang zuhur kami bersih-bersih. Salat zuhur, makan siang, dan kemudian kembali ke Yogyakarta.
Begitulah, Parangtritis di mata kami terasa panas. Tidak ada pohon pelindung di arena bermain. Bentangan pantainya sama seperti bentangan pantai yang ada di Air Manis, dekat batu Malin Kundang, di Padang, Sumatera Barat. Menikmati Pantai Parangtritis seperti menikam rindu terhadap kampung halaman yang telah sekian lama kami tinggalkan. Wallahualam bissawab.
Discussion about this post