Umak Saddam dan Tuah Batang Gadis
Oleh : Muttaqin Kholis Ali
Sore itu, kutemukan Manaon duduk termangu menatap aliran sungai Batang Gadis. Bukan tidak mungkin sewaktu-waktu ia bisa loncat dan merelakan dirinya dilahap setan penunggu sungai. Sejak mengetahui Uli Namora mau kawin, Manaon tak pernah kelihatan di sawah. Apalagi mendengar nama laki-laki itu. Wajah Manaon berubah merah, tatap matanya tajam menyala. Seperti kejadian Kamis malam lalu, aku bertemu dengan Manaon di warung. Niatku tentu mengabarkan soal lamaran Si Kodir pada Uli Namora.
“Kodir?” Manaon tersentak, nasi goreng yang masih mengepul diletakannya begitu saja. Ia seperti kehilangan nafsu makan. Sejenak kemudian, Manaon menyalakan rokok, mengisapnya dalam-dalam. Asap berembus bersama dengus napas yang panjang.
“Sudah gila, Uli Namora. Mau-maunya kawin dengan Si Kodir,”
Tak mau menambah keruh suasana, aku berupaya diam. Tetapi, Manaon terus bersungut-sungut mengeluarkan segala keburukan Kodir. Lekas aku memotongnya, “Memangnya kamu punya apa? Kodir, jelek-jelek gitu, dia caleg,”
Manaon muntab, ia berdiri sambil menuding ke arahku. “Dengerin Pul, semiskin-miskinnya aku, tak pernah aku mau jual sawah orang tuaku buat hal yang sia-sia!”
“Nah! Justru itu, Kodir punya nilai tawar dibandingkan kamu! Mobilnya baru, mulutnya licin, dan yang paling penting, dia berani datang ke rumah Uli Namora,” aku diam sejenak, menunggu reaksinya.
Tetapi, Manaon justru beringsut pergi. Diletakannya selembar uang dua puluh ribu di meja. “Hei, Manaon! Kemarin Kodir datang ke rumah Umak Saddam! Kamu mesti tahu itu!”
Manaon tetap tak peduli, ia melangkah pergi meninggalkanku di warung. Kurasa ia paham maksudku. Ketika seseorang datang pada Umak Saddam, tujuannya hanya dua pesugihan atau jabatan. Umak Saddam cukup terkenal di Mandailing Natal sebagai dukun paling ampuh yang mengantarkan pejabat-pejabat ke Senayan.
Cerita ini sudah sangat lama diturunkan oleh leluhurku kalau keluarga Umak Saddam memiliki berkah dari arwah penunggu sungai Batang Gadis. Yang paling popular tentunya, kedatangan salah satu calon Gubernur Sumatera Utara ke Mandailing Natal hanya untuk mencari nenek dari Umak Saddam.
Pada malam-malam yang tak pernah diketahui oleh orang, calon gubernur yang tak pernah disebutkan namanya itu rela berjalan jauh menembus hutan demi mandi di sungai Batang Gadis. Ritual kembang di bawah siraman rembulan adalah cerita-cerita yang kerap diceritakan Umak Saddam. Kenangnya, nenek Umak Saddam memasang beberapa susuk di tubuh laki-laki itu. Susuk yang konon membuat si calon gubernur menjadi lebih wibawa.
Maka tak heran, meskipun laki-laki itu bukan dari kalangan militer, ia memiliki aura kepempimpinan yang terpancar. Perkataannya banyak menghipnotis orang dan membuat siapa saja bisa rela mati demi dirinya. Berselang beberapa bulan, calon gubernur itu menang besar di pemilihan kepala daerah. Cerita ini lekas menyebar dan berbiak menjadi cerita-cerita baru. Lekas berdatangan calon pejabat lain yang mengharap tuah si nenek.
Tetapi, ada keraguan dalam diriku tatkala mendengar cerita itu dari mulut Umak Saddam. Karena sampai sekarang pun, Umak Saddam enggan menyebut nama gubernur itu. Dia terkesan melebih-lebihkan saja.
Cerita ini pun begitu ditentang Manaon. Pernah suatu ketika ia nekat bertanya padaku, “Pul, kamu percaya dengan cerita Umak Saddam?” Aku hanya mengangkat bahu, berada di ambang percaya atau tidak percaya. Jelas, Manaon menepis segala kebenaran cerita Umak Saddam dalam pikirannya. Apalagi, dalam dua pemilu belakangan, aku mendengar bahwa banyak calon pejabat yang datang justru gagal. Tetapi entah setan dari mana yang membawa Kodir pada Umak Saddam. Terlebih, keluarganya baru saja menjual ladang sawit dan beberapa hektar sawah untuk maju ke Pemilu.
“Aku sudah tidak tahan melihat tingkah Kodir,” ketus Manaon mendapatiku duduk di sebelahnya. Kami menatap aliran sungai Batang Gadis. Aku paham perasaanmu, ingin kukatakan demikian, tetapi Manaon justru terus berbicara hal-hal yang tidak-tidak.
Jika bukan karena Uli Namora, Manaon tak akan segelisah ini. Alih-alih memperhatikan tingkah busuk Kodir, Manaon sudah pasti cemas akan nasib pujaan hatinya itu. Di usia yang sudah matang, Uli Namora memang memiliki kecantikan yang nyaris sempurna. Berhidung mancung, rambut panjang sedikit bergelombang, mata yang indah, dan bibir yang tipis menawan. Aku seringkali tak percaya kalau Uli Namora berdarah desa di pinggir sungai Batang Gadis ini. Maka aku pun tak akan menyalahkan mata Kodir atau nafsu kebinatangannya yang membara melihat kecantikan Uli Namora.
Kodir memang berubah drastis akhir-akhir ini dan orang-orang sepertinya senang-senang saja melihat perubahan Kodir. Ia jadi sering datang ke masjid, datang ke perkumpulan desa, hingga kerap menyelenggarakan kegiatan bakti sosial yang melibatkan berbagai sekolah. Kami seperti bersepakat menyambut setiap pemilihan umum dengan suka cita. Hal ini disebabkan mereka yang sedang mencalonkan diri akan berbaik hati pada kami, warga biasa. Dan selanjutnya, tidak usah ditanya, banyak pemberian entah itu dalam bentuk bantuan sembako atau pembangunan sederhana, perbaikan gapura desa misalnya.
“Lalu apa rencanamu?” tanyaku pada Manaon memecah keheningan. Ia menatapku, tetapi pandang matanya terkesan memelas. Seperti sudah tidak memiliki harapan. Sebesar itukah rasa cintanya pada Uli Namora? Hingga meruntuhkan semangat hidup seorang Manaon.
Hari-hari berikutnya, Manaon semakin jarang keluar rumah. Paling banter, ia pergi ke pinggir sungai Batang Gadis. Seperti mengenang masa lalunya dengan Uli Namora. Dulu mereka kerap bermain bersama di sana. Sedangkan Si Kodir semakin giat berkampanye. Berbagai janji mulai diumbar, mulai dari renovasi balai desa hingga perbaikan jalan. Katanya, ia memiliki teman di pusat yang bisa memuluskan segala pengajuan dana. Tujuannya hanya satu, kemakmuran desa kita! Begitu ucapan Kodir yang disambut riuh tepuk tangan. Belakangan aku juga kerap mendapati Si Kodir melakukan hal serupa di beberapa desa tetangga. Bulan depan sudah waktunya pemilihan, ia seperti kejar waktu untuk menghimpun suara.
***
Meski cerita Umak Saddam tidak semuanya aku percayai betul, ada satu pesan yang begitu menggetarkan hatiku. Hanya ada dua hal yang bisa membuat laki-laki keblinger, perempuan dan jabatan, ucapnya sambil mengunyah sirih pinang. Ucapan itu terus melekat dalam benakku, terlebih melihat kenyataan yang terjadi hari ini.
Aku duduk di atas batu bersama Manaon menatap aliran sungai Batang Gadis. “Pul, kamu ingat perkataan Umak Saddam? Kalau mau jadi pejabat mesti pegang 3D,” ia berhenti sejenak dan menoleh padaku.
“Dukun, duit, dan dekingan. Hari ini, tambah ada satu lagi perkataan Umak Saddam yang tak perlu kita percaya.” Ucapannya berhenti lagi, ia menyalakan rokok, lalu kembali menatap ke arah sungai. Di seberang kami, Kodir jongkok sambil berteriak histeris. Dua orang memegang tangannya dan Umak Saddam berkali-kali mengguyur tubuh Kodir dengan air dari sungai Batang Gadis. Ia gagal dalam Pemilu dan Uli Namora kabur bersama laki-laki lain.(*)
Biodata Penulis
Muttaqin Kholis Ali, merupakan seprang guru Informatika di SMA Negeri 1 Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara. Ia aktif menulis cerita dan karya lainnya yang sudah di muat di berbagai media.
Sastra Sebagai Cermin Zaman
(Analisis atas Cerpen “Umak Sadam dan Tuah Batang Gadis” karya Muttaqin Khalis Ali.)
Oleh: Dr. Azwar, M.Si.
(DPP Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Barat dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta.)
Plato (427 – 347 SM) salah seorang filosuf Yunani kuno menyampaikan bahwa sastra merupakan hasil tiruan atau gambaran dari kenyataan. Pernyataan Plato ini kemudian menjadi akar dari Teori Mimesis dalam analisis karya sastra. Menurut Plato sebuah karya sastra harus merupakan bentuk teladan alam semesta sekaligus menjadi model kenyataan kehidupan manusia sehari-hari.
Sementara itu Sapardi Djoko Damono (1979) menyatakan bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium penyampaiannya. Sastra juga menampilkan gambaran kehidupan manusia dan kehidupan tersebut adalah suatu kenyataan sosial.
Lebih jauh Damono menyampaikan bahwa sastra sebagai dokumen zaman, dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat. Sastra dipandang sampai sejauh mana dapat mencerminkan keadaan masyarakat. Lebih lanjut, konsep “cermin” tentu saja kabar karena masyarakat yang sebenarnya tidak sama dengan masyarakat.
Pendapat lain tentang sastra muncul dari Soewardi Endraswara (2013) yang menyatakan bahwa sastra itu sebuah dokumen penting tentang zaman. Sebagai dokumen zaman, sastra berusaha mencatat kejadian zaman. Tiap zaman memiliki keragaman kepentingan sosial.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karya sastra tidak lepas dari masa dan tempat dimana ia lahir. Walau sebagai sebuah karya fiksi yang bersifat imajinatif, karya sastra tetaplah mencerminkan kejadian-kejadian pada zamannya. Secara sosiologis, karya sastra tidak lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari pergulatan panjang pengarangnya dengan kehidupan yang sehari-hari dia tangkap dengan panca inderanya. Sastra rekaman dari apa yang dilihat dan dirasa oleh pengarangnya.
Cerpen yang dimuat Kreatika minggu ini berjudul “Umak Sadam dan Tuah Batang Gadis” karya Muttaqin Kholis Ali, seorang guru di SMA N Negeri 1 Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara. Karya-karya Muttaqin sudah dimuat di berbagai media, beberapa diantaranya juga sudah dimuat di Kreatika. Muttaqin banyak bercerita tentang realitas masyarakat desa, seperti yang dia ceritakan pada cerpen “Umak Sadam dan Tuah Sungai Batang Gadis” ini.
Pada cerpen ini, Muttaqin bercerita tentang Manaon seorang pemuda kampung di daerah pinggiran Batang Gadis. Berdasarkan cerita Muttaqin, Manaon adalah seorang pemuda kampung yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia hidup miskin sebagaimana layaknya masyarakat kampung kebanyakan.
Muttaqin juga menceritakan bahwa tokoh Manaon dalam ceritanya adalah lelaki yang sedang patah hati karena gadis pujaan hatinya dipinang oleh lelaki lain (Kodir) yang lebih kaya dari pada Manaon. Kodir sendiri adalah lelaki yang lebih beruntung dari Manaon secara ekonomi. Kodir dalam cerita Muttaqin adalah seorang laki-laki muda yang sedang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
Apa yang dilakukan Kodir inilah yang menjadi titik awal konflik yang berkembang dalam cerita ini. Walau tokoh utama dalam cerita ini adalah Manaon, dengan konflik yang dia bawa yaitu patah hati karena Uli Namora dilamar Kodir, namun cerita akhirnya tidak fokus pada permasalahan Manaon. Melalui cerpen ini kita dapat melihat bahwa konflik besar tidak hadir dari tokoh utama. Konflik yang dihadapi oleh tokoh utama ternyata hanya menjadi konflik sampingan yang tidak digarap oleh pengarangnya.
Terkait konflik yang tidak fokus pada persoalan Manaon sebagai protagonis ini, membuat cerita sulit dipahami sebagaimana umumnya karya sastra. Tapi itulah cerita dengan inovasi dan kreativitas dari pengarangnya. Konflik yang berfokus pada pencalonan Kodir sebagai calon anggota legislatif dengan menjual kebun kelapa sawitnya ini juga tidak memenuhi ekspektasi pembaca jika dilihat dari judul. Jika selama ini judul mencerminkan konflik yang akan dibahas dalam cerita, justru dalam cerpen “Umak Saddam dan Tuah Batang Gadis” ini tidak dieksplorasi oleh pengarangnya.
Ada beberapa bagian cerita yang diangkat oleh Muttaqin terkait dengan Umak Saddam yang merupakan seorang dukun di kampung itu yang sering membantu tokoh-tokoh politik untuk mewujudkan keinginan mereka; menjadi anggota legislatif, menjadi Bupati/Walikota atau menjadi Gubernur.
Saya melihat gagasan utama cerita ini justru adalah tentang bagaimana penulis mematahkan mitos tentang tuah Batang Gadis dan aktivitas Umak Saddam sebagai dukun politik. Manaon adalah tokoh yang tidak percaya cerita-cerita Umak Saddam yang dianggap bertuah, dukun yang bisa menghimpun kekuatan gaib untuk mengantarkan politisi-politisi untuk mencapai keinginan mereka.
Ending cerita ditekankan oleh Muttaqin bahwa Umak Saddam gagal lagi meramalkan dan membawa Kodir untuk menjadi anggota legislatif. Kodir yang sudah mengikuti ritual dari Umak Saddam di Batang Gadis akhirnya gagal menjadi anggota dewan. Ia depresi dan harus “dimandikan” oleh Umak Saddam di Batang Gadis.
“Dukun, duit, dan dekingan. Hari ini, tambah ada satu lagi perkataan Umak Saddam yang tak perlu kita percaya.” Ucapannya berhenti lagi, ia menyalakan rokok, lalu kembali menatap ke arah sungai. Di seberang kami, Kodir jongkok sambil berteriak histeris. Dua orang memegang tangannya dan Umak Saddam berkali-kali mengguyur tubuh Kodir dengan air dari sungai Batang Gadis. Ia gagal dalam Pemilu dan Uli Namora kabur bersama laki-laki lain.” (Muttaqin, 2023).
Kutipan di atas menunjukkan kekalahan antoganis (Kodir) berhadapan dengan protagonis (Manaon). Tapi sayangnya, Muttaqin tidak berusaha menjalin konflik-konflik yang banyak dalam cerita ini dengan baik. Contohnya ketika Kodir gagal menjadi anggota legislatif dan ia juga gagal menikahi Uli Namora kembang desa yang jadi rebutan anak-anak muda, mengapa Muttaqin menuliskan Uli Namora kabur dengan lelaki lain? Dalam bayangan saya sebagai pembaca kegagalan Kodir menikahi Uli Namora adalah kesempatan Manaon untuk mendapatkan Perempuan pujaannya, Uli Namora.
Satu kalimat penutup dari Muttaqin yang berbunyi “Ia gagal dalam Pemilu dan Uli Namora kabur bersama laki-laki lain” menyatakan bahwa Muttaqin gagal dalam mengikat berbagai konflik itu menjadi padu. Seandainya kalimat terakhir itu berbunyi “Ia gagal dalam Pemilu dan gagal menikahi Uli Namora, dengan demikian Manaon masih punya harapan untuk mendapatkan perempuan pujaannya.”
Saya melihat ada tiga konflik yang diusung oleh penulis dalam cerita ini, pertama tentang Manaon yang patah hati karena Kodir merampas Uli Namora, kedua tentang usaha mematahkan mitos perdukunan dalam politik yang dilakukan Umak Saddam, dan ketiga tentang pencalonan Kodir sebagai anggota legislatif yang gagal. Sejatinya konflik-konflik ini bisa dituntaskan oleh Muttaqin dengan baik dengan merangkainya pada satu konflik utama, namun hal ini sepertinya gagal dari sisi kita sebagai pembaca.
Pandangan di atas mengingatkan kita pada apa yang sudah disampaikan Medi Adioska pada Kreatika edisi 1 Oktober 2023, dimana Adioska menyampaikan bahwa satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa cerpen senantiasa mengandung satu konflik utama. Jikapun ada masalah lain yang mendukung isi cerita, seharusnya itu tidak “mengganggu” konflik utama tersebut. Dengan demikian, konflik utama dan masalah pendukung itu akan mengerucut pada nilai-nilai yang ingin dituju penulis di akhir cerita. Jika konflik dan masalah terkesan banyak, maka para pembaca akan kesulitan menangkap apa yang ingin disampaikan penulis sehingga akan sulit pula menemukan pesan yang ada dalam cerita tersebut. Bukankah cerpen yang baik adalah cerpen yang bisa memberikan pesan moral kepada pembacanya?
Sejalan denga napa yang disampaikan oleh Adioska tersebut, saya melihat cerpen Mjuttaqin yang dimuat pada edisi hari ini juga memiliki kelemahan yang sama dimana Muttaqin tidak fokus pada satu konflik dalam ceritanya ini. Berdasarkan pilihan judul “Umak Saddam dan Tuah Sungai Batang Gadis” saya menduga cerita ini akan fokus pada cerita tentang dukun kampung dan dunia politik.
Pilihan tentang dukun kampung dan politik ini saya rasa relevan dengan kondisi saat ini dimana Indonesia sedang menunggu pesta politik Pemilihan Umum tahun 2024. Oleh sebab itu di awal ulasan ini saya mengangkat tentang sastra sebagai cerminan zaman dimana ia akan merekam peristiwa-peristiwa besar dalam kehidupan masyarakat.
Pilihan mengeksplorasi konflik terkait perdukunan dan politik di daerah, saya pikir mencerminkan kehidupan sosial saat ini menjelang Pemilu dimana di tengah-tengah Masyarakat muncul berbagai istilah terkait politik. Seperti yang disampaikan Muttaqin dengan meminjam tokoh Umak Saddam ia mengatakan dalam politik dibutuhkan 3D, duit, dukun, dan dekingan.
Terlepas dari keunggulan dan kekurangan dalam cerita ini, setidaknya apa yang sudah ditulis oleh Muttaqin Kholis Ali perlu diapresiasi. Ia produktif dalam berkarya dan mencoba menghadirkan warna lokal dalam cerita-ceritanya. Beberapa karya Muttaqin menunjukkan perkembangan terutama dari sisi penggunaan Bahasa. Pada cerpen yang dimuat edisi ini terlihat bagaimana warna lokal dalam cerita Muttaqin ini menjadi bumbu tersendiri yang mengambil peran membuat cerita enak untuk dibaca. (*)
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerjasama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com
Discussion about this post