Oleh: Arina Isti’anah, S.Pd., M.Hum.
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma dan Mahasiswa Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada)
Isu lingkungan selalu menarik untuk dibahas. Setiap pemilihan pemimpin atau kepala negara, bagian yang disoroti adalah selalu aspek dan respek mereka terhadap lingkungan. Seberapa besar rasa peduli mereka terhadap isu lingkungan.
Aspek-aspek lingkungan, seperti kualitas air dan udara, limbah, kerusakan material seperti abrasi dan korosi, kerusakan tumbuh-tumbuhan, dan kesehatan manusia. Aspek tersebut perlu dipertimbangkan dalam pembangunan bisnis dan properti. Hal yang sama juga harus diperhatikan oleh para pemimpin atau pemerintah dalam pembangunan berbagai infrastruktur, seperti jalan tol, rumah sakit, sekolah, dan perkantoran.
Saat ini, pemerintah telah memulai pembangunan proyek besar yang akan dicatat dalam sejarah negara ini, yakni pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Ibu Kota Negara (IKN) yang direncanakan akan dibangun di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur tidak lepas dari kontroversi terkait isu lingkungan. Status Kalimantan sebagai paru-paru dunia mulai didiskusikan pada wacana pembangunan IKN. Sebagian pihak menganggap IKN tidak memihak pada keberlanjutan alam Kalimantan. Namun demikian, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada 15 Februari 2022. Pemerintah juga secara komprehensif menyediakan berbagai informasi mengenai pembangunan IKN melalui situs web resmi di https://www.ikn.go.id/.
Sebagai respons atas kekhawatiran masyarakat terhadap keberlanjutan lingkungan di Kalimantan, pemerintah meluncurkan delapan prinsip pembangunan IKN, yaitu 1) mendesain sesuai dengan kondisi alam, 2) Bhinneka Tunggal Ika, 3) Terhubung, aktif, dan mudah diakses, 4) Rendah emisi karbon, 5) Sirkuler dan tangguh, 6) Aman dan terjangkau, 7) Kenyamanan dan efisiensi melalui teknologi, dan 8) Peluang ekonomi untuk semua. Dari kedelapan prinsip di atas, pemerintah juga menjabarkan tiap-tiap prinsip ke dalam beberapa sub-poin yang secara linguistik memuat berbagai strategi untuk menilai aspek lingkungan dalam pembangunan IKN.
Pada prinsip pertama, ‘mendesain sesuai kondisi alam’, pemerintah menjabar poin-poin berikut: a) Lebih dari 75% kawasan hijau di kawasan pemerintahan IKN, b) 100% penduduk dapat mengakses ruang terbuka hijau rekreasi dalam 10 menit, dan c) 100% konstruksi ramah lingkungan untuk bangunan bertingkat institusional, komersial, dan hunian.
Jika kita tilik lebih cermat pada ketiga poin sebelumnya, terdapat pola kebahasaan yang memuat angka dalam bentuk prosentase yang digunakan dalam prinsip‘Mendesain sesuai kondisi alam’. Pola kebahasaan ini dapat dijelaskan dengan sistem penilaian bahasa appraisal system yang dikemukakan oleh Martin dan Rose (2003). Appraisal system didefinisikan sebagai piranti evaluasi bahasa untuk menilai sikap, sumber, dan penarafan atas penilaian.
Strategi prosentase pada paragraf di atas digunakan untuk menilai objek yang terwujud dalam frasa kawasan hijau,‘ruang terbuka hijau rekreasi, dan ‘konstruksi ramah lingkungan’. Ketiga frasa tersebut merupakan aspek lingkungan yang ditekankan oleh pemerintah sebagai poin penyokong desain IKN yang sesuai kondisi alam. Dalam sistem penilaian bahasa, prosentase tersebut bertujuan untuk memaksimalkan penilaian, dalam bentuk kuantifikasi, atas keputusan pemerintah dalam membangun IKN dan ketekadan pemerintah dalam mempertahankan aspek keberlanjutan lingkungan di wilayah Kalimantan. Penggunaan angka 75% dan 100% juga menunjukkan sikap optimisme pemerintah bahwa keputusan pembangunan IKN yang diambil tidak merugikan aspek lingkungan Kalimantan Timur.
Pembangunan IKN juga memuat janji pemerintah, seperti yang termuat pada prinsip keempat, yakni ‘Rendah emisi karbon’. Poin pertama prinsip itu berbunyi“Instalasi kapasitas energi terbarukan akan memenuhi 100 persen kebutuhan energi IKN”. Strategi penilaian bahasa yang ditemukan dalam poin tersebut terwujud dalam modalitas “akan” yang digunakan untuk menilai “kebutuhan energi IKN”. Aspek lingkungan yang termuat dalam tuturan tersebut merujuk pada strategi pemerintah untuk memilih energi yang tidak mengeluarkan banyak karbondioksida. Kebijakan tersebut terkait dengan fenomena efek rumah kaca ke biosfer yang membahayakan keseimbangan alam, naiknya ketinggian air laut, dan perubahan iklim.
Selain energi rendah emisi karbon, pemerintah juga menjanjikan pengelolaan air limbah, seperti yang ditulis pada prinsip kelima pembangunan IKN “Sirkuler dan tangguh”. Prinsip tersebut memuat poin “100 persen air limbah akan diolah melalui sistem pengolahan pada 2035”. Seperti halnya dibahas pada paragraf sebelumnya, poin tersebut juga memuat janji dalam bentuk modalitas “akan”. Pemerintah mengkomunikasikan maksud dan tujuan pembangunan IKN melalui janji pengelolaan lingkungan, termasuk limbah, dengan sikap yang optimis. Penggunaan kuantifikasi “100%” pada tuturan tersebut juga menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengelola lingkungan di kawasan IKN. Secara keseluruhan, prinsip pembangunan IKN memuat strategi “repetisi” untuk menilai aspek lingkungan. Strategi tersebut terwujud dalam kuantifikasi prosentase dan modalitas. Strategi yang termuat dalam delapan prinsip pembangunan IKN memuat komitmen, janji, dan optimisme pemerintah.
Dari segi kajian wacana, situs web IKN yang diluncurkan oleh pemerintah secara jelas membingkai pemerintah sebagai agen yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan Kalimantan Timur dengan melibatkan frasa-frasa tentang lingkungan alam. Hal tersebut patut dipahami sebagai strategi pemerintah untuk membangun kepercayaan masyarakat atas keputusan pemerintah dalam membangun IKN. Dalam pemikiran wacana kritis, penggunaan situs web IKN merupakan strategi interpersonal untuk membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat. Pemerintah juga bermaksud menunjukkan sikap tanggung jawabnya dalam mengkomunikasikan maksud dan tujuan pembangunan IKN dalam moda komunikasi yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Tulisan ini mengajak kita untuk menilik lebih dalam bahwa strategi kebahasaan yang diulang-ulang atau“repetisi”merupakan bukti bahwa penutur, dalam hal ini pemerintah, memproduksi wacana pembangunan IKN dalam sebuah janji yang optimis akan dipenuhi oleh pemerintah.
Discussion about this post