Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Pembahasan persoalan malas sebenarnya juga pernah saya tulis dalam kolom artikel literasi scientia.id pada 26 Desember 2021 dengan judul “Ada Saatnya Malas Menjadi Sebuah Solusi”. Bila pembaca belum mengetahui silakan ditelusuri melalui mesin pencarian google. Saya sangat berterima kasih jika hasil penelusurannya dilanjutkan dengan membaca hingga selesai. Berbeda dari sebelumnya yang mengulik “manfaat” malas, edisi kali ini justru mengulasnya agar terhindar dari sifat malas.
Saya teringat pepatah orang tua ketika memberi nasihat agar terhindar dari sifat malas yaitu “Labiah Ancak Dicakau Harimau, Daripado Ditangkok Maleh”, lebih baik diterkam harimau daripada terjangkit sifat malas. Saya menafsirkan nasihat orang tua itu, bahwa malas merupakan bahaya laten. Kenapa begitu? Jika sudah malas untuk beraktivitas, maka sudah dipastikan tidak ada produktivitas. Tentu saja hal itu dapat menghambat capaian maksimal rutinitas keseharian
Membahas malas dan kaitannya dengan menulis banyak dipahami sebagai pembicaraan yang teoritis. Memang persoalan tulis-menulis tidak dapat dihindari dari dunia akademik. Akan tetapi, secara umum banyak pula rutinitas keseharian kita dilakukan dengan menulis. Disadari atau tidak aktivitas menulis selalu dilakukan saban hari. Mulai dari yang baru menggunakan pensil, hingga yang sering mengoperasikan touch screen. Berbagai macam pula bentuk tulisan yang dihasilkan, baik itu berupa catatan sekolah, rangkaian agenda tugas kantor, coretan di kertas buram, catatan menu pesanan konsumen, atau menulis status di laman media sosial.
Menulis berasal dari tulis, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti ada huruf atau angka yang dibuat dengan pena (pensil, cat, dsb), kemudian diberi afiks me– sehingga menjadi menulis, yang berati melakukan suatu kegiatan (kata kerja). Malas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tidak bergairahnya kita dalam menjalani aktivitas, salah satunya menulis. Malas adalah jenis kata sifat (adjektiva) yang bermakna tidak mau mengerjakan sesuatu.
Sebenarnya berbagai macam pula trik dan siasat yang dapat diterapkan dalam melawan malas. Ada yang menyiasati dengan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga, ada juga yang menjalani hobinya, mungkin ada pula yang melakukannya dengan cara bermeditasi. Namun begitu, harus disertai dengan kesungguhan dan kemauan yang kuat. Sebuah dorongan yang didasari dengan kesadaran dan keikhlasan.
Sebagai makhluk yang diciptakan tuhan dengan sesempurna bentuk, manusia mempunyai cipta, rasa dan karsa. Cipta merupakan kemampuan daya pikir untuk megadakan sesuatu yang baru, rasa yaitu tanggapan hati dari sebuah perbuatan dan rangsangan saraf, sedangkan karsa kemauan atau dorongan untuk melakukan suatu hal. Sinergisitas ketiganya merupakan cara untuk menekan dan menyiasati rasa malas dalam menuliskan sebuah gagasan menjadi bahan bacaan.
Adanya dorongan yang kuat untuk menuliskan sebuah gagasan sudah menjadi modal utama untuk memulai menulis. Apalagi jika didukung penuh oleh kepiawaan cipta dan sensivitas rasa, tentu berpotensi menghasilkan tulisan yang menarik untuk dibaca. Namun begitu, tetap harus dilandasi dengan karsa yang kuat, karena inilah “ramuan” utamanya untuk menyiasati malas lenyap saat menulis.
Melenyapkan malas untuk selamanya dalam rutinitas keseharian mungkin saja bukan sebuah persoalan mudah. Begitupun dalam aktivitas menulis, malas kapan saja bisa “menyusup” hingga membuat kita menjadi berleha-leha. Saya membayangkan jika sifat malas sampai terjangkit kepada pengguna layar touch screen dalam sehari, mungkin saja laman sosial media sepi dari berbagai postingan.
Discussion about this post