Lismomon Nata, S.Pd., M.Si., CHt.
(Pemerhati Sosial dan Widyaiswara BKKBN Sumbar)
“Mengabdi dengan sepenuh hati adalah sebuah kehormatan” – Lismomon Nata
Siapa yang tidak menginginkan ketenangan dan mendapatkan suasana organisasi yang kondusif? Hampir semua orang dapat dipastikan akan menjawab dan menginginkan, bahkan bisa saja mendambakannya. Hal itu disebabkan oleh organisasi merupakan tempat bekerja, seperti halnya rumah kedua, bahkan bisa saja menjadi rumah pertama dalam kehidupan seseorang, apalagi di era modern sekarang. Hampir sebagian besar waktu dihabiskan di tempat bekerja ketimbang di rumah. Kondisi organisasi yang kondusif sangat menentukan kenyamanan bekerja, nyaman atau tidaknya tentu berkolerasi terhadap optimal atau tidaknya pekerjaan yang dilakukan.
Apabila kenyamanan didapatkan, akan memunculkan semangat untuk bekerja dengan baik dan membuka peluang yang besar terhadap pelaksanaan kegiatan serta pencapaian tujuan yang baik seperti apa yang diharapkan organisasi. Organisasi berkaitan erat dengan dua unsur di dalamnya, yaitu manusia dan lingkungan organisasi (tempat atau fisik). Kedua unsur tersebut saling melengkapi satu sama lain secara holistik. Setiap orang yang berada dalam organisasi merupakan elemen penentu terhadap pembentukan suasana kondusif atau tidaknya seseorang dalam bekerja.
Dapat dibayangkan, apabila individu pada sebuah organisasi tersebut tidak saling bekerja sama dan menganggap pekerjaan adalah milik dan urusan masing-masing. Sentimental pribadi yang picik dan mengutamakan egosentris irasional, seperti takut orang lain lebih kaya darinya, atau takut lebih hebat darinya, saling curiga-mencurigai, tertutup, dan tidak peduli dengan kegiatan luar kegiatannya, serta tidak mau melibatkan orang-orang di sekeliling organisasi, akan terbangun. Bahkan, persaingan yang buruk dengan cara saling menjatuhkan dan tidak harmonisnya hubungan interpersonal, seperti tidak saling adanya tegur sapa, akan terjadi. Semua contoh tersebut bisa kita sebut dengan ‘old hat’ (gaya lama, kuno, dan ketinggalan zaman alias udik) yang sudah semestinya dibuang.
Apabila sikap dan pola pikir demikian masih ada dalam sebuah organisasi, dapat diprediksi akan menyebabkan suasana kerja yang hambar dan membahayakan organisasi lambat laun. Apalagi, pada ruang lingkup sesama bidang atau subbidang, hal yang serupa terjadi, tidak jarang menimbulkan keterasingan pada orang-orang di dalamnya. Ironis bukan? Sementara itu, setiap orang di dalam sebuah organisasi harus menyadari bahwa mereka adalah sumber daya yang harus diberdayakan secara optimal karena memiliki potensi. Bukankah sudah semestinya seluruh orang dalam organisasi memiliki satu tujuan yang sama untuk pencapaian tujuan organisasi yang sama pula.
Di samping itu, unsur terpenting lainnya sebagai penentu tercipta atau tidaknya suasana kondusif organisasi adalah lingkungan organisasi. Kondisi tersebut dapat berupa ruangan kerja yang bersih, tertata rapi, terhindar dari hiruk-pikuk, tersedianya sarana prasarana penunjang kerja yang memadai. Unsur kedua ini kecenderungan pada organsisasi publik mulai terabaikan pada saat ini. Berbeda dengan unsur pertama, yaitu manusia. Sudah menjadi rahasia umum menyebutkan mental-mental yang terbangun selama ini dianggap begitu karena bisa saja didalihkan faktor sejarah, yaitu feodalistik yang melayani ‘ke atas dan bukan ke bawah’. Mental melakukan berbagai cara untuk mendapatkan posisi penting hingga melunturnya rasa kebersamaan (solidaritas) antarsesama individu dalam organisasi.
Lemahnya saling memberikan apresiasi, dan menghargai atas prestasi yang dilakukan oleh para pekerja, kecuali pada momen seremonial tertentu. Unsur kedua seringkali disebabkan oleh kesadaran yang kurang antarindividu. Dengan mudah kita menemukan ruangan kerja organisasi yang berserakan atau lebih mudah menemukan toilet yang kotor, bukankah semuanya itu mencerminkan budaya kerja pada organisasi tersebut? Apakah menciptakan suasana tenang, bersih dan rapi itu sulit? Tentu tidak. Namun, hal itu seringkali terabaikan.
Rendahnya penataan barang, ruangan, ataupun dokumen kerja disebabkan oleh alasan pekerjaan yang banyak dan menumpuk. Individu hanya punya sedikit waktu untuk menyusun atau memang merasa tidak terlalu penting dengan urusan kebersihan. Mereka berpikiran itu bukan persoalan mendasar dalam sebuah organisasi. Padahal, jika kita amati pada tempat-tempat layanan jasa profit, sangat kecil kemungkinan ditemukan kondisi hal demikian. Contohnya hotel. Mengapa kamar hotel hingga toiletnya terjaga kebersihannya? Jawabannya sederhana saja. Karena ada petugas yang terus-menerus kebersihan dan adanya kesadaran manajemen hotel bahwa kebersihan itu penting.
Dengan demikian, masalah yang mendasar adalah kesadaran dan keseriusan. Sadar atau tidak dan serius atau tidak diyakini menjadi titik poin penentu untuk bisa atau tidaknya suatu hal yang diharapkan dapat berjalan. Setiap orang bertugas menciptakan kesadaran di dalam organisasi agar terciptanya suasana yang kondusif dalam organisasi. Untuk itu, diperlukan sistem atau aturan yang menopang dan legitimasi serta kewibawaan pimpinan, seperti yang diungkapkan Ritzer dan Goodman (2004) bahwa dunia sosial (social world) ditentukan oleh prinsip hubungan timbal-balik dalam memberi dan menerima. Perhatian seorang pimpinan terhadap bawahan juga akan menjadi supporting untuk memberikan semangat kerja agar dapat terjaga serta menanamkan nilai integritas pekerja dalam organisasi yang ditandai dengan kinerja yang baik. Kenyataannya, seringkali muncul gejala di mana pekerja kurang bertanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
Adapun beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membangun organisasi yang kondusif dan baik adalah: pertama, diawali dengan adanya individu-individu yang hebat, baik secara pengetahuan dan kecakapan, maupun sikap yang baik dan hebat pula. Oleh sebab itu, kita sering menyaksikan sebuah organisasi atau tempat bekerja yang melakukan seleksi ‘super ketat’ untuk menerima pekerja, bahkan di pemerintahan sekali pun telah membuka peluang posisi (jabatan) untuk diisi oleh orang yang kompeten melalui mekanisme lelang jabatan. Sikap profesional, objektif, dan kejujuran menjadi tantangan yang mesti dipertaruhkan untuk diwujudkan. Hal it diperkuat dengan berbagai macam pelatihan untuk peningkatan kompetensi.
Kedua, memunculkan dan menanamkan hubungan baik (relasi sosial), kenyamanan bersikap serta berprilaku dan saling percaya (trush) antara sesama pekerja yang ada dalam organisasi, termasuk antara atasan dengan bawahan. Ketiga, penting adanya kejelasan visi, tujuan dan hasil yang ingin dicapai organisasi. Keempat, dibuat dan dijalankannya budaya kerja organisasi, yang ditandai dengan kejelasan aturan-aturan yang ada dalam organisasi dan secara bertanggung jawab. Tindakan itu bisa dimulai dengan hal-hal yang dianggap sederhana, seperti membudayakan mengucapkan empat kata yang mungkin telah jarang kita dengar; ‘maaf, tolong, terima kasih dan Anda hebat!’ (pujian yang pantas dan proporsional). Kelima, adanya kontrol dan evaluasi yang sistematis serta terukur. Hal ini sangat penting agar dapat menjaga semangat, pola kerja agar tidak keluar dari menkanisme kerja organisasi yang telah ditetapkan (on the track).
Ketika kita bertanya apakah masih adakah dan perlukah organisasi kondusif? Tentu ada, perlu dan sangat perlu sekali, serta bahkan menjadi suatu hal yang sangat penting bagi seluruh man (manusia-manusia yang menjalankan organisasi) memiliki kesadaran yang sama untuk membangun dan menghadirkan suasana kondusif organisasi tersebut. Apalagi di era milenial sekarang ini, kita sudah semestinya keluar dari ‘mind set’ yang kerdil dan picik. Kita harus membangun etos kerja dan inovasi karena tanpa inovasi terus-menerus, mustahil dapat unggul dalam bersaing (Eileen Rahman, 2015) dan berhasil mencapai tujuan bersama dalam organisasi.
Hal ini dapat diawali dengan niat yang tertanam kuat dalam setiap pribadi untuk melakukan pengabdian dengan sepenuh hati karena hal itu adalah sebuah kehormatan. Apalagi, bangsa Indonesia baru saja memperingati perayaan hari kemerdekaan, sudah semestinya untuk selalu menggelorakan semangat kemerdekaan. Jika tidak, kita tidak ubahnya seperti masih dalam keadaan perang. Perang paling buruk bukanlah kekerasan fisik melainkan pembusukan kepribadian dan hati nurani karena perang memaksakan manusia memainkan peran-peran yang tidak lagi mengenal dirinya sendiri dan mengkianati keterlibatannya (Weij, 2017).
Discussion about this post