
Dharmasraya, Scientia.id — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat menegaskan bahwa bencana banjir dan longsor yang terus berulang di Sumatera Barat tidak dapat dilepaskan dari peran dan tanggung jawab pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Wengki Purwanto, menanggapi pernyataan Gubernur Sumbar dalam program Sapa Indonesia Pagi Kompas pada Rabu (3/12/2025), yang menyebut bahwa pemberian izin hak atas tanah oleh Kementerian Kehutanan kepada pihak ketiga menjadi salah satu penyebab kerusakan ekologis.
Menurut Wengki, pernyataan tersebut justru menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai posisi dan tanggung jawab Gubernur Sumatera Barat.
“Dalam catatan kami, Gubernur Sumbar dan Menteri Kehutanan adalah state actor utama yang bertanggung jawab atas bencana ekologis di Sumatera Barat. Jangan berebut cuci tangan di tengah gagalnya pemerintah daerah dan pusat,” tegasnya, Kamis (4/12/2025).
Wengki menyebut pemerintah daerah tidak dapat mengelak dari fakta bahwa sejumlah rekomendasi dan izin pemanfaatan hutan justru diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sendiri.
“Bukankah Gubernur memberikan rekomendasi pembabatan hutan atas nama investasi? Bukankah Gubernur juga gagal menjaga hutan di bawah kewenangannya dari tambang ilegal? Ini semua rantai panjang kerusakan,” ujarnya.
Wengki memaparkan sejumlah data yang dinilai dapat dilacak dan dikoreksi publik. Pada Februari 2021, Gubernur Sumbar disebut merekomendasikan kawasan hutan seluas ± 43.591 hektare di Kabupaten SolokSelatan untuk izin usaha hasil hutan kayu kepada PT Bumi Rangkiang Sejahtera.
“Di dalam area tersebut tercatat terdapat enam izin perhutanan sosial, yang merupakan sumber penghidupan masyarakat adat,” sebutnya.
Wengki menjelaskan rekomendasi serupa juga pernah dikeluarkan untuk kawasan hutan di Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai, seluas ± 25.325 hektare bagi PT Sumber Permata Sipora.
“Pada periode 1990–2014, sekitar 158.831 hektare hutan Sumatera Barat diberikan kepada 29 perusahaan perkebunan besar, yang pada akhirnya mengubah kawasan hutan menjadi hamparan kebun sawit,” terangnya.
Wengki menyebut sebagian perusahaan terbukti membuka hutan secara melawan hukum, dengan keterlibatan pemerintah daerah dalam proses perizinannya.
Kondisi ini, menurut Wengki, menimbulkan derita struktural bagi masyarakat karena konflik lahan, hilangnya sumber ekonomi, hingga bencana ekologis yang terus berulang akibat rusaknya kawasan hulu dan daerah aliran sungai.
Hingga 2020, hutan Sumbar masih dibebani izin eksploitasi yaitu ± 183.705 ha untuk hasil hutan kayu, 65.432,90 ha untuk hutan tanaman industri, 1.456,54 ha untuk aktivitas tambang.
Sementara itu, kerusakan akibat tambang emas ilegal mencapai 7.662 ha hanya di empat kabupaten yang terdapat di Solok Selatan: 2.939 ha, Solok: 1.330 ha, Sijunjung 1.174 ha dan Dharmasraya 2.179 ha.
“Belum termasuk kerusakan di Agam, Padang Pariaman, Pasaman, Pasaman Barat, serta daerah lainnya,” paparnya.
Tak hanya itu, Wengki menjelaskan di Kabupaten Solok, 21 dari 31 titik tambang ilegal berada di kawasan hutan. Di Sijunjung, 41 dari 116 titik tambang ilegal juga masuk kawasan hutan.
“Pemerintah Provinsi Sumbar sendiri pernah mengakui terdapat 200–300 titik tambang ilegal dengan potensi kerugian mencapai Rp9 triliun,” bebernya.
Wengki mempertanyakan langkah Gubernur Sumbar yang pada 2025 disebut mengusulkan 17.700 hektare lahan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang dibagi ke dalam 496 blok di 10 kabupaten.
“Alih-alih memulihkan bencana ekologis, yang terjadi adalah perluasan skala eksploitasi,” ujarnya.
Menurut Wengki, bencana banjir dan longsor yang terjadi hari ini adalah hasil akumulasi panjang salah urus tata ruang dan sumber daya alam dari satu hingga dua generasi.
“Ketidakadilan pengelolaan ruang, ekspansi investasi ekstraktif, dan lemahnya penegakan hukum menyebabkan interval bencana semakin rapat dan dampaknya semakin meluas,” tuturnya.
Wengki mendesak pemerintah daerah maupun pusat untuk tidak lagi saling menyalahkan.
“Kini pranata kehidupan masyarakat hancur akibat bencana ekologis. Saatnya berebut tanggung jawab, bukan berebut cuci tangan,” tegasnya.
Baca Juga: HMI Cabang Dharmasraya Galang Donasi untuk Korban Banjir dan Longsor di Sumbar
Wengki juga menuntut audit lingkungan menyeluruh dan pemulihan kawasan hutan serta daerah aliran sungai sebagai langkah mendesak untuk mencegah bencana serupa.
“Janganlah berebut cuci tangan, tetapi berebut untuk bertanggungjawab,” pungkasnya. (tnl)








