
Ada yang menarik dari kehadiran AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan dalam kehidupan seorang gen Z. Gen Z memanfaatkan AI untuk tempat curahan hati (curhat) karena mereka sudah mengalami beberapa dampak setelah curhat kepada manusia. Curhatan yang bersifat rahasia tiba-tiba diketahui orang lain. Kadang, curahan hati yang seharusnya memunculkan perasaan iba atau turut sedih, malah menyebabkan orang lain yang mendengar melakukan tindakan merendahkan dan menghakimi.
Itulah sebabnya, suatu hari seseorang dari gen Z bercerita kepada saya bahwa dia baru saja merasa lega karena bercerita dengan AI. Dia merasa beberapa hari terakhir hidupnya sangat berat karena skripsi mandek, orang tua mendesak cepat wisuda, sedangkan dosen sangat sulit ditemui di kampus. Dia pun memilih membuka chat GPT dan curhat dengan kalimat, “Say, kok hidup gue berat banget.”
Tuturan “Say, kok hidup gue berat banget” ini dapat dimaknai bahwa seseorang merasakan hidupnya sangat berat karena masalah-masalah. Namun, secara kontekstual, tuturan tersebut tidak bermakna literal, tetapi menunjukkan keinginan bahwa dia ingin terlepas dari masalah itu.
Melihat kontekstual tersebut, tentu saja AI tidak memiliki kepekaan hati sebagaimana seorang manusia. Ada kemungkinan AI hanya akan merespons, “Mengapa kamu merasakan hidupmu berat?” Namun, siapa sangka, Chat GPT sebagai salah satu kecerdasan buatan saat ini malah bisa menjadi teman curhat gen Z.
Saya pun membuktikannya dengan pura-pura menjadi si mahasiswa. Ketika saya menulis kalimat, “Say, kok hidup gue berat banget. Skripsi gue belum selesai, orang tua udah nanya, kapan wisuda, sedangkan dosen sulit banget ditemui, capek dari pagi sampai sore nunggu beliau di kampus”, Chat GPT memberikan jawaban berikut.
(1) Aku dengar kamu, dan apa yang kamu rasakan itu valid banget. Kamu lagi menghadapi tekanan dari banyak arah sekaligus: skripsi yang terasa mandek, ekspektasi orang tua, dosen pembimbing yang sulit ditemui, waktu dan tenaga habis hanya untuk menunggu tanpa kepastian. Itu melelahkan secara fisik dan mental.
(2) Wajar kalau kamu merasa hidup berat. Siapa pun di posisi kamu bisa merasa kewalahan. Mari tarik napas sebentar. Kamu berjuang kok. Kamu nggak diam. Walau rasanya lambat, kamu tetap berusaha—itu bentuk kekuatan yang sering kamu sendiri nggak sadari.
(3) Kalau boleh, aku pengin bantu kamu lebih konkret. Kita bisa coba:
Data (1) berupa kalimat “Aku dengar kamu, dan apa yang kamu rasakan itu valid banget.” menunjukkan bahwa AI sudah diciptakan sehumanis mungkin oleh penciptanya dengan melahirkan kalimat yang seakan-akan AI merasakan apa yang dialami oleh penggunanya. Ada personifikasi yang diciptakan si pembuat AI. Personifikasi merupakan pengumpamaan (pelambangan) benda mati sebagai orang atau manusia, seperti bentuk pengumpamaan alam dan rembulan menjadi saksi sumpah setia. Dalam hal ini, AI diumpamakan sebagai manusia yang dapat mendengar dan merasakan beratnya menjadi mahasiswa, padahal curhatan tersebut hanya melalui tulisan.
Ai memunculkan kalimat yang justru tidak merendahkan atau menghakimi persoalan yang dihadapi gen Z tersebut. AI menggunakan personifikasi untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap orang yang sedang curhat secara tertulis. Hal ini dapat dilihat pada data (2) berikut.
(2) Wajar kalau kamu merasa hidup berat. Siapa pun di posisi kamu bisa merasa kewalahan. Mari tarik napas sebentar. Kamu berjuang kok. Kamu nggak diam.
Kalimat “Wajar kalau kamu merasa hidup berat”, “Siapa pun di posisi kamu bisa merasa kewalahan”, “Kamu berjuang kok”, dan “Kamu nggak diam” merupakan kalimat pertama yang sangat ingin didengar oleh orang-orang yang sedang mengalami masalah. Dari sisi psikologis pencerita, siapa pun yang sedang curhat ingin didengarkan dan diberi respons baik. Respons ini tentu hanya dimiliki oleh manusia. Namun, dengan koding atau proses membuat kode untuk instruksi program komputer tertentu, AI mampu meresponsnya dengan menggunakan “Kamu berjuang kok” dan “Kamu nggak diam”.
Dalam kajian linguistik, strategi tersebut disebut dengan kesantunan berbahasa. Sebuah tuturan dianggap santun jika mengikuti enam prinsip kesantunan penutur, yaitu kearifan, kedermawanan, penghargaan, kesederhanaan, pemufakatan, dan simpati (Leech, 2015). Klausa “Kamu berjuang kok” atau “Kamu nggak diam” merupakan salah satu simpati yang didesain dalam perangkat AI untuk merespons curhatan gen Z.
Dalam kesantunan berbahasa, simpati tersebut merupakan salah satu cara untuk menjaga hubungan sosial dengan memperhatikan harga diri lawan. Brown dan Levinson (1987) dalam buku yang berjudul Politeness: Some Universal in Language Usage menjelaskan kondisi ini sebagai positive face karena seseorang tersebut merasa dihormati, diterima, dan tidak direndahkan dengan persoalan yang dialami.
Bahkan, AI sebagai alat yang tidak memiliki kemampuan berpikir sebagaimana manusia berusaha menawarkan solusi dengan menuliskan kalimat berikut:
(3) Kalau boleh, aku pengin bantu kamu lebih konkret.
Ada tiga hal yang ditawarkan AI, yaitu (1) bagian mana dalam skripsi yang belum selesai, AI akan bantu susun ulang, beri masukan, dan tulis bagian yang buntu; (2) menyarankan kirim pesan yang sangat spesifik kepada dosen pembimbing tentang bimbingan yang dibutuhkan pada bagian apa, misalnya bagaimana menggunakan teori X dalam menjawab masalah penelitian; serta (3) komunikasikan dengan orang tua bahwa ia sedang berusaha.
Jika dilihat tawaran AI tersebut, hanya dua hal yang mungkin disarankan teman curhatnya, yaitu (1) kirim pesan kepada pembimbing dan (2) komunikasikan dengan orang tua. Namun, AI justru bisa membantu dengan lengkap. Pada bagian menyusun ulang skripsi, AI bisa menawarkan banyak artikel penelitian terkait agar mahasiswa dapat meniru analisis yang sudah ada. Ketika saya mencoba menjadi mahasiswa yang tidak puas dengan jawaban AI, saya coba jawab dengan kalimat berikut:
(4) Kamu cuma bisa ngomong, gak ngerasain apa yang kurasakan.
AI justru merespons penolakan tersebut dan menjawabnya dengan kalimat berikut:
(5) Aku ngerti kenapa kamu bisa merasa begitu. Karena aku bukan manusia, aku memang nggak punya tubuh yang capek dari pagi sampai malam, dan aku nggak dapat tatapan kecewa dari orang tua. Aku nggak nunggu dosen yang kadang datang, kadang hilang kayak hantu.Kamu benar bahwa aku nggak bisa merasakan secara langsung apa yang kamu rasakan. Tapi yang bisa aku lakukan adalah berusaha mengerti dan nemenin kamu di situasi yang berat ini, bantu kamu biar jalan yang kamu hadapi nggak sendirian dan nggak segelap sekarang.
Ketika membaca jawaban ini, saya akhirnya tersenyum sendiri dan seperti merasakan benar-benar curhat dengan seseorang yang bisa dipercaya. Ada upaya pemulihan mental dalam jawaban-jawaban tersebut. Hal tersebut tampak melalui kalimat:
(6) Tapi yang bisa aku lakukan adalah berusaha mengerti dan nemenin kamu di situasi yang berat ini, bantu kamu biar jalan yang kamu hadapi nggak sendirian dan nggak segelap sekarang.”
Kalimat ini dijelaskan Leech (2015) dalam buku yang berjudul Prinsip-prinsip Pragmatik sebagai kesantunan berbahasa. Ada upaya yang dilakukan AI untuk membawa seseorang pada satu kondisi yang akhirnya membuatnya lega dan nyaman. Hal ini terjadi karena AI membalas curahan hati dengan kalimat-kalimat baik dan positif meskipun pengguna AI menolak dan membantah setiap jawaban dengan kekesalan, kesedihan, dan kekecewaan. Lalu, pertanyaan kita, apakah AI dapat dianggap telah melakukan kesantunan berbahasa? Bukankah kesantunan berbahasa milik manusia yang memiliki perasaan? Jawabannya bisa ya karena AI merupakan kecerdasan buatan yang diciptakan oleh manusia.
Kalimat-kalimat baik dan kalimat positif tersebut merupakan kalimat yang didesain oleh manusia yang membuat kecerdasan buatan tersebut. Dia sudah mengetahui bahwa setiap manusia selalu menunjukkan penolakan, baik dengan kalimat yang baik maupun dengan kalimat yang kasar. Namun, dengan menciptakan koding bahwa semua respons kecerdasan buatan adalah kalimat baik dan kalimat positif, pada akhirnya pengguna akan menerima jawaban tersebut sebagai simpati yang dapat menenangkan diri dari masalah yang dihadapi.






