Seorang mahasiswa yang pernah saya ajar sekarang sudah menjadi alumni tiba-tiba menelepon dan bertanya kabar. Setelah sedikit basa-basi, ia lalu bertanya, “Bagaimana menurut Ibu Elly tentang fenomena “Lelaki tidak bercerita” yang sedang marak di media sosial?”
Saya yang tengah sibuk dengan rutinitas harian tertegun di Jumat siang dua hari lalu mendengar pertanyaan itu. Apakah sudah begitu banyak berita yang saya lewatkan di media sosial karena sibuk oleh ruitinitas sehingga saya tidak tahu ada bahasa yang sedang viral.
Yah, belakangan, saya jarang membuka media sosial. Sesekali seharusnya saya tetap harus mampir di sana meskipun tidak lama seperti dulu. Yang pasti alumni tersebut menyadarkan saya tentang satu hal bahwa setengah dari kehidupan dan aktivitas manusia sekarang berada di media sosial. Media sosial juga adalah dunia lain tempat tumbuh suburnya segala macam bentuk kreativitas berbahasa. Berbagai fenomena kebahasaan yang berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dapat disaksikan dari penggunaan bahasa di media sosial.
Jika dibawakan kepada kajian intertekstualitas, fenomena kebahasaan “Lelaki tidak bercerita “ mempunyai relasi interteks dengan novel yang cukup populer dalam bidang sastra yang berjudul Laut Bercerita. Novel tersebut ditulis oleh Leila S. Chudori. Saking populernya, beberapa kali mengunjungi toko buku saya melihat novel tersebut dipajang di meja paling depan di toko buku. Meja yang dilabeli buku-buku bestseller. Ada relasi interteks antara novel Laut Bercerita dan fenomena penggunaan kalimat “Laki-laki tidak bercerita” seperti yang sedang viral di media sosial. Novel tersebut telah menginspirasi banyak pengguna bahasa di media sosial untuk membuat teks baru yang mirip dengannya. Dalam kajian interteks yang merupakan bagian dari analisis wacana setiap teks tidak hadir begitu saja. Ada teks lain yang menjadi pemicu (trigger) kehadiran setiap teks. Jadi, semua teks yang ada di dunia ini saling terhubung dalam memunculkan teks-teks baru. Demikian pula dengan para pencipta dan pengguna teks. Pada momen-momen tertentu, mereka pernah saling bertemu, berkomunikasi, dan satu menginspirasi yang lain dalam melahirkan teks-teks baru. Itulah yang dimaksud dengan relasi horinzontal dan vertikal dalam intektekstualitas seperti yang dijelaskan oleh Julia Kristeva.
Perbedaan antara judul novel dan kalimat “Laki-laki tidak bercerita” hanya terdapat pada penambahan kata “tidak”. Lelaki tidak bercerita seperti pelesetan dari novel Laut Bercerita. Jika benar adanya, judul novel tersebut dapat melahir teks-teks baru yang terhubung dengannya meskipun dengan bentuk-bentuk dan makna yang sedikit berlainan. Kristeva (1990) menyebut intertekstualitas sebagai formasi horizontal yang menghubungkan pembuat teks dengan penerima teks dan formasi vertikal yang menghubungkan sebuah teks dengan teks lainnya. Fenomena penggunaan bahasa “Laki-laki tidak bercerita” terdapat pada horizontal dan bagian vertikal yang menghubungkan pembuat teks dengan penerima teks serta relasi antara sebuah teks dan teks lainnya.
Selain dapat dihubungkan dengan Novel Laut Bercerita, “Laki-laki tidak bercerita “juga menunjukkan sisi maskulinitas laki-laki bahwa mereka tidak berkeluh-kesah, tidak bercerita, dan tidak banyak omong saat menghadapi masalah dalam hidup. Sisi maskulinitas ini juga pernah dikupas oleh John Gray dalam bukunya yang berjudul Man are from Mars and Woman are From Venus (2000). Gray menyatakan bahwa laki-laki memang tidak bercerita jika ada masalah. Mereka lebih memilih untuk menyendiri dan diam serta pergi ke guanya (tempat sepi) saat menghadapi masalah.
Berbeda dengan perempuan jika menghadapi masalah. Perempuan akan mengeluarkan lebih banyak kata-kata atau cerewet saat menghadapi masalah. Secara psikologis, perempuan memang memproduksi lebih banyak kata-kata dalam sehari dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan buku yang ditulis oleh Louann Brizendine yang berjudul The Female Brain (2006), laki-laki hanya mengeluarkan 7000 kata dalam sehari, sedangkan perempuan mengeluarkan 20.000 kata dalam sehari. Fakta dari riset tersebut juga mendukung dan menjadi alasan mengapa kalimat “Lelaki tidak bercerita” menjadi viral di media sosial.
Selain alasan-alasan di atas, kalimat “Lelaki tidak bercerita” secara kebahasaan atau secara sintaksis dapat digolongkan ke dalam jenis kalimat negasi sederhana yang terdiri atas pola Subjek Predikat (SP). Subjek diisi oleh kata benda atau nomina menyatakan orang, yaitu laki-laki dan predikat diisi oleh pemarkah frasa negasi (frasa yang menyatakan pengingkaran terhadap verba), yaitu kata “tidak” yang dipasangkan verba berafiks ber-, yaitu bercerita. Kontruksi kalimat demikian termasuk ke dalam contoh kalimat negasi sederhana yang menginformasikan bahwa subjek tidak melakukan seperti yang ada pada predikatnya.
Kemudian secara sosial, kalimat sederhana ini menjadi viral karena mewakili perasaan dan suasana kebatinan banyak laki-laki di negara ini. Para laki-laki merasa dan berpikir kalimat tersebut “Gua banget…” atau sangat mewakili hati, perasaan, dan keadaan mereka. Perasaan keterwakilan dengan kalimat tersebut didukung oleh berbagai kreativitas video dan yang disertai dengan kata-kata lucu di media sosial sehingga kalimat Lelaki tidak bercerita menjadi fenomenal, seperti contoh berikut.
- Lelaki sejati tidak pernah bercerita, Pak(@azkaloka).
- Lelaki dibalik segalanya ada cerita. Dibalik rokok, ada isi pikiran. Di balik kopi hatinya sedang merasa. Dibalik kebisuan, hatinya sedang menangis (@skyhigh).
- Laki-laki tidak bercerita, tetapi punya cerita (youtube)
Masih banyak meme lucu dan unik lainnya tentang “Laki-laki tidak bercerita” meskipun sesungguhnya laki-laki kadang juga ingin bercerita sama halnya dengan perempuan. Namun, beberapa budaya tidak mengizinkan laki-laki untuk bercerita meskipun mereka sedang menghadapi kenyataan pahit. Laki-laki yang bercerita dianggap lemah dan tidak kuat secara mental dalam menghadapi kenyataan hidup. Jadi, tren, tagar, atau meme “Laki-laki tidak bercerita” menjadi viral karena dianggap sebagai satire atau gaya bahasa yang bertujuan untuk menertawakan kepahitan, kegetiran, kemalangan, dan kekurangan diri sendiri oleh para laki-laki. Perempuan sebagai pengguna media sosial sepertinya juga turut mengaminkan fakta tersebut.
Secara umum, fenomena bahasa “Laki-laki tidak bercerita” dapat dijadikan bahan evaluasi bagi kita semua, apakah sebenarnya para laki-laki di sekitar kita ataupun di seluruh Indonesia baik-baik saja? Apakah benar mereka tidak butuh bercerita atau mereka sedang tidak baik-baik saja dan butuh untuk bercerita kepada para perempuan?