Puisi-puisi Zamzami Husni
Ibu dan Ramadan
tak tahu kata apa yang kusampaikan padamu
pada-Mu jua aku ceritakan
pada sepi yang mengelilingi kami
semenjak kepergian ibu yang kami sayangi
kini tiba ramadhan pertama semenjak kau tiada
berbuka dan sahur tanpamu jelas hambar rasanya
rindu suaramu
membangunkan kami dari tidur lelap
untuk sahur dan kadang nyaris terlambat
rindu suara lantangmu
menyuruh kami bergegas ketika waktu berbuka tiba
sayang, kini semua tiada.
Air Abu, 9 April 2024
Menoreh Rindu di Kutub Tak Bersalju
Riak air di atas batu-batu sungai
Embun membasahi ujung-ujung daun ilalang
Dingin menorehkan tentang rinduku
Rindu suara riuhmu di sekolah
Meja dan kursi saksi bisu
Saat kau lihat wajahku yang mulai kaku
Saat kau dengar suaraku yang sayup sampai
Berbagi tentang hidup
Menggenang pada bola-bola matamu
Di buku-buku yang tersenyum manja padamu
Pena-pena menari di jarimu
Kautorehkan rindu di atas batu
Kausampaikan keluh kesahmu padaku
Dari algoritma hingga sejarah Perang Dunia II
Menyatu di kepalamu
Dalam mengejar cita-cita.
Air Abu, 9 April 2024
Anak Jalanan
Ketika hujan turun
rintik membasahi
rinai hujan nan mesra
bagi remaja seusiaku
tatkala memojok di pojok-pojok kota
di situ mulai mengalir
kasih Tuhan padaku
aku menyapa alam semesta
nan menyelimutiku di kelam gelap gulita
yang tak punya tempat berteduh di penatnya.
Padang, 2 April 2024
Ayah
Oh… Ayah sibiran tulang
tak usah engkau salahkan aku
‘kan ayah yang mungkir janji
entah apa sebab
ayah menari di hati senang
menari di atas luka-luka
bukan aku melawan ayah
sayang padamu tetap abadi
ayah berharap memetik bulan
buah hati dilengahkan
pedihnya ke hulu hati
adakah jalan pulang menanti?
Alahan Panjang, 4 April 2024
Zamzami Husni, lahir 5 Oktober 1996 di Jorong Air Abu, Nagari Air Dingin, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Berasal dari keluarga berkultur Minangkabau dan pesantren. Terlahir sebagai anak pertama dari pasangan Ramadan dan Farida (almarhumah). Latar belakang pendidikan, Sekolah Dasar Negeri 29 Air Dingin, SMP dan SMA Pondok Pesantren Dr. M. Natsir dan S1 Universitas Andalas. Amanah sekarang Guru di SMA N 16 Padang. Buku yang telah terbit Nothing Is Impossible. Zamzami dapat disapa di Instagram dan Tiktok @zamzami_husni
Perintang-rintang Hati yang Pedih
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
ayah berharap memetik bulan
buah hati dilengahkan
pedihnya ke hulu hati
adakah jalan pulang menanti?
Puisi adalah sarana yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan kepada para pembacanya. Puisi menyampaikan pesan tersebut dengan cara unik karena kepadatannya, ekspresif dengan berbagai gaya bahasanya, namun sarat akan makna. Puisi merupakan karya kreatif, yakni karya yang lahir dari kreativitas penulisnya.
Menulis puisi dengan demikian adalah persoalan kreativitas, yang lekat dengan kemampuan individu untuk memunculkan nilai baru dalam hal-hal yang diciptakannya. Meskipun demikian, kreativitas itu bukanlah suatu hal yang memiliki nilai mati. Kreativitas bisa digali dan ditumbuhkan.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat empat buah puisi karya pemuda Lembah Gumanti, Zamzami Husni. Keempat puisi alumnus FIB Unand ini berjudul “Ibu dan Ramadan”, “Menoreh Rindu di Kutub Tak Bersalju”, “Anak Jalanan”, dan “Ayah”.
Puisi pertama, “Ibu dan Ramadan” sangat lekat dengan momen bulan suci Ramadan yang baru saja berakhir, berganti bulan Syawal yang disebut juga bulan penuh kemenangan. Sebenarnya puisi ini sangat sederhana, belum matang, dan perlu eksplorasi lebih dalam. Hanya saja realitas kepergian ibu yang menjadi tema puisi ini cukup untuk meremas-remas perasaan pembaca sehingga menggugah rasa empati. Kehilangan ibu adalah duka cita yang tak tertanggungkan bagi seorang anak, sebandel apapun dia, sedurhaka Malin Kundang sekalipun.
Zamzami menulis dengan apa adanya, ‘semenjak kepergian ibu yang kami sayangi/ kini tiba ramadhan pertama semenjak kau tiada/ berbuka dan sahur tanpamu jelas hambar rasanya’. Kehilangan seseorang yang dicintai menyebabkan patah hati. Lirik-lirik lagu Minang penuh ratap membahasakannya dengan ‘aia diminum raso duri, nasi dimakan raso sakam (air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam)’ diiringi pilu suara seruling bansi. Rasa sedih menghantam-hantam dada.
Meskipun semasa sang ibu masih hidup, anak-anak merasa sering kesal atas perhatiannya yang kadang nyinyir, namun setelah tiada kenangan itu menjadi manis dan ingin direguk lagi seandainya waktu dapat diputar kembali.
Menurut Bakdi Soemanto (2005:77), menulis puisi harus mempertimbangkan sentuhannya. Sentuhan itu disajikan lewat irama dan pilihan kata-kata. Daya sentuh sebuah puisi, dalam istilah Plato, dikenal dengan istilah mousike. Untuk bisa menulis puisi yang demikian, saran Bakdi Soemanto, perlu merenungi pengalaman-pengalaman yang membuat hati tersentuh.
Puisi Zamzami akan menyentuh batin pembaca yang memiliki pengalaman sama, seperti menjalani bulan suci Ramadan tanpa kehadiran sosok ibu, atau yang lebih umum, pengalaman ditinggal oleh orang tua. Akan menjadi puisi yang lebih kuat, sekiranya Zamzami bekerja keras sedikit lagi mengolah kata-kata yang menjadi bangunan puisinya dengan mempertimbangkan irama yang dapat diciptakan dari repetisi (pengulangan) atau rima (persamaan bunyi). Di samping juga menyelipkan simbol dan metafora sehingga ada pesan-pesan tersembunyi yang melapisi puisi.
Subagio Sastrowardoyo (1995) mengungkapkan beberapa poin penting dalam penulisan puisi. Pertama, perhatian terhadap kehidupan di luar dunia kita akan memperkaya dan membuat kita lebih mengenal siapa diri kita. Kedua, puisi yang baik tidak menjadikan dirinya sebagai curahan keluh-kesah atau sedu-sedan belaka, melainkan membuat sedu-sedan atau keluh-kesah itu sebagai alasan bahwa hidup sungguh berarti untuk dilanjutkan.
Ketiga, pengamatan terhadap alam, manusia, binatang, atau benda mati dan hidup lainnya akan membuat hidup kita menjadi sadar akan kesemestaan. Keempat, cinta adalah tema yang paling banyak digarap dalam puisi karena cintalah yang menggerakkan roda kehidupan. Kelima, puisi yang baik adalah puisi yang dapat menawarkan pengalaman batin kepada pembaca atau membuat pembaca menangkap dan merasakan pengalaman batin itu.
Puisi kedua, “Menoreh Rindu di Kutub Tak Bersalju” mengangkat tema pendidikan yang berbalut kerinduan. Ada sejumlah diksi yang berhubungan dengan tema tersebut, yakni ‘buku’, ‘meja dan kursi’, ‘pena’, ‘algoritma’, ‘sejarah’, dan ‘cita-cita’. Puisi ini dapat ditafsirkan sebagai ungkapan kerinduan seorang murid pada gurunya yang telah memberikan ilmu dan pelajaran di sekolah, seperti pelajaran matematika dan sejarah yang berguna bagi aku lirik untuk menggapai cita-cita. Ada beberapa pertanyaan yang barangkali muncul dari puisi ini. Misalnya apa maksud dari ungkapan ‘kutub tak bersalju’? Bagi masyarakat Sumatera Barat sebutan ini biasanya ditujukan ke daerah Alahan Panjang di kaki Gunung Talang yang memiliki hawa dingin. Dengan demikian, judul puisi ini dapat diartikan sebagai kerinduan di Alahan Panjang. Bisa jadi kerinduan pada suasana sekolah di Alahan Panjang.
Pertanyaan berikutnya dapat muncul dari deskripsi alam di bait pertama. Zamzami menulis ‘Riak air di atas batu-batu sungai/ Embun membasahi ujung-ujung daun ilalang/ Dingin menorehkan tentang rinduku/ Rindu suara riuhmu di sekolah’. Bila puisi bertutur tentang hubungan murid-guru dalam bingkai aktivitas pendidikan di sekolah, mengapa harus membawa riak air di batu sungai dan embun di ujung daun ilalang? Tafsiran yang cukup relevan adalah membayangkan sekolah yang dihadirkan puisi ini berlokasi di daerah pedesaan, tepatnya di dekat sungai yang di sekitarnya tumbuh perdu ilalang.
Terkesan kurang padu dengan suasana puisi yang cenderung mengarah ke ruang kelas, namun masuk akal apabila visualisasi lokasinya diimajikan seperti gambaran di atas. Menyinggung diksi batu yang muncul dalam puisi, ‘Kautorehkan rindu di atas batu’ dapat juga disangkutkan ke falsafah belajar di masa kecil ibarat menulis di atas batu dan belajar pada masa tua seperti melukis di atas air. Lalu larik ‘Dari algoritma hingga sejarah Perang Dunia II’, apakah guru yang dirindukan ini mengajar matapelajaran matematika dan sejarah? Atau memang sang guru suka bercerita ke mana-mana, termasuk ‘Kausampaikan keluh kesahmu padaku’, cukup menarik dan terasa ada kedekatan personal.
Puisi terakhir, “Ayah” mengandung nuansa sansai (sendu) yang dekat dengan puisi pertama, sama-sama menyinggung orang tua, kali ini ayah. Apabila puisi pertama berisi tentang kehilangan ibu, puisi terakhir ini tentang kehilangan ayah. Kehilangan pada puisi ini mempunyai beberapa interpretasi, bisa kehilangan dalam arti ditinggalkan atau bisa juga berarti meninggalkan karena perbedaan pandangan yang memicu konflik antarpersonal.
Kemungkinan pertama ‘ditinggalkan’, jika makna ditarik dengan menghubungkan larik ‘‘kan ayah yang mungkir janji’ dengan larik ‘ayah berharap memetik bulan/ buah hati dilengahkan’ mengarah ke kondisi yang tergambar dalam nyanyian dendang Minangkabau dalam lagu saluang atau hantaran kaba randai, “bundo mati ayah bajalan (ibu meninggal dunia, ayah pergi meninggalkan rumah)”, tragedi keluarga ini terjadi ketika si anak mengalami nasib ditinggal wafat sang ibu kemudian ayahnya menikah lagi.
Kemungkinan makna kedua adalah kehilangan yang disebabkan karena si anak telah berbeda pandangan dengan sang ayah. Konklusi ini ditarik dari bait kedua yang berbunyi, ‘bukan aku melawan ayah/ sayang padamu tetap abadi/ ayah berharap memetik bulan/ buah hati dilengahkan/ pedihnya ke hulu hati/ adakah jalan pulang menanti?’ Bait ini menggambarkan perbedaan pendapat atau prinsip yang menyebabkan aku lirik berada pada posisi ‘melawan’ ayahnya sehingga dia harus pergi meninggalkan ayahnya dengan kecemasan akankah dapat diterima kembali. Metafora ‘ayah berharap memetik bulan’ dapat diartikan sebagai keinginan ayah yang mustahil untuk dipenuhi si anak, tapi sang ayah terkesan tidak memahami (‘buah hati dilengahkan’). Akibatnya adalah hancurnya hubungan ayah dan anak yang menggoreskan kepedihan di hati si anak.
Secara umum, puisi-puisi Zamzami telah berhasil membangkitkan pengalaman batin pembaca seperti yang dipetuahkan Subagio Sastrowardoyo kepada penyair yang mencoba menulis puisi. Namun, merujuk ke latar belakang Zamzami yang dibesarkan oleh alam Lembah Gumanti nan elok, kehidupan pesantren, serta basis ilmu humaniora yang dimilikinya, sepertinya sang penulis perlu berjuang menyingkirkan rasa malas dan manja untuk membuat puisi yang lebih kaya makna dan kuat dalam hal estetika sastra.[]
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post