Judul ini sangat provokatif ya! Mengapa bisa-bisanya seseorang yang menggeluti bahasa justru mengajak orang lain untuk mengacuhkan bahasa. Eits, tunggu dulu. Jangan terburu-buru memaknai kata acuh pada judul sebagai ‘tidak peduli’ atau ‘abai’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), acuh merupakan kata kerja yang bermakna ‘peduli; mengindahkan’. Dengan demikian, slogan “Mari acuhkan bahasa!” ternyata bermakna “Mari peduli terhadap bahasa!”.
Kata acuh memang banyak dimaknai salah oleh pengguna bahasa Indonesia. Banyak orang berpikir bahwa acuh bermakna ‘tidak peduli’ atau ‘abai’. Padahal sebaliknya, kata acuh justru menunjukkan kepedulian terhadap sesuatu. Namun sayangnya, lagu-lagu di Indonesia sudah merekam kata acuh sebagai kata yang bermakna ‘tidak peduli’ atau ‘abai’. Kita bisa lihat pada beberapa lirik lagu berikut.
- //Kau boleh acuhkandiriku/dan anggap ku tak ada//
(Kucinta Kau Apa Adanya (Aku Mau) – Once)
- //Kau membuatku tak berdaya/kau menolakku, acuhkandiriku//
(Cinta Ini Membunuhku – d’Masiv)
- //Kau acuh, memang acuh/seperti engkau tak butuh//
(Acuh Tak Acuh – Rita Sugiarto)
Pada lagu “Kucinta Kau Apa Adanya (Aku Mau)”, tampak bahwa klausa acuhkan diriku berkaitan dengan klausa dan anggap aku tidak ada. Tokoh aku merasakan bahwa pasangannya dalam lagu tersebut telah mengacuhkan dirinya dengan cara menganggapnya tidak ada. Padahal jika dicermati, makna pada lagu tersebut justru bertentangan.
kau boleh acuhkan diriku maknanya ‘kau boleh pedulikan diriku’
dan anggap ku tak ada maknanya ‘dan menganggap aku tidak ada’
Kata acuh tidak cocok digandengkan dengan klausa menganggap tak ada dalam lirik tersebut. Acuh yang bermakna peduli seharusnya digandengkan dengan kata ada, bukan tak ada. Dengan demikian, tampak bahwa penggunaan kata acuh pada lagu tersebut merupakan sikap berbahasa yang salah. Once sebagai penyanyi tidak menjadi duta bahasa Indonesia yang baik melalui lagu yang dinyanyikannya. Begitu juga dengan grup band d’Masiv yang juga belum menjadi duta bahasa Indonesia yang baik melalui lagu yang dinyanyikan.
kau menolakku, acuhkan diriku maknanya ‘kau menolakku, pedulikan diriku’
Kata menolak bertentangan dengan kata acuh dalam lirik tersebut. Acuh justru bermakna ‘peduli’ sehingga tidak cocok digunakan berpasangan dengan kata menolak. Hal yang sama juga terjadi pada lirik lagu “Acuh Tak Acuh” yang dinyanyikan Rita Sugiarto. Acuh tak acuh dalam bahasa Indonesia bermakna ‘tidak mau tahu’. Judul tersebut sudah benar, tetapi penggunaan kata acuh dalam lirik lagunya justru tidak tepat dan sangat bertentangan. Kita bisa lihat pada bagian berikut.
kau acuh, memang acuh maknanya ‘kau peduli, memang peduli’
seperti engkau tak butuh maknanya ‘seperti engkau tak butuh’
Kata acuh bertentangan dengan frasa tak butuh dalam lirik tersebut. Acuh yang bermakna peduli seharusnya digandengkan dengan kata butuh, bukan tak butuh.
Dari ketiga lirik tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata acuh digunakan secara salah. Jika ingin mengganti lirik lagu tersebut, kata acuh dapat digantikan dengan kata abai. Kata abai dalam KBBI bermakna ‘tidak memedulikan (tidak mengerjakan baik-baik, tidak mementingkan, dan sebagainya)’ atau sama dengan ‘tidak peduli’.
Jika dilihat dalam sejarah lagu-lagu Indonesia, para penyanyi memang cenderung menyanyikan lagu yang diciptakan oleh orang lain. Dalam proses penciptaan, pencipta lagu seharusnya menggunakan KBBI untuk memastikan bahwa kata tersebut sudah tepat dipakai dalam lagu. Jikalau luput, setelah lagu diciptakan, para penyanyi dan pencipta lagu biasanya berdiskusi membahas lagu. Pada saat diskusi dilakukan, penyanyi juga dapat mencermati dan menyarankan makna kata agar sesuai dengan KBBI.
Namun, kesadaran menggunakan kamus dalam memproduksi bahasa di Indonesia, khususnya dalam dunia industri kreatif memang masih sangat rendah. Banyak pelaku budaya di dunia kreatif tidak memanfaatkan kamus atau tidak meminta saran dari ahli bahasa terkait produksi lagu dan karya kreatif lainnya yang menggunakan bahasa, seperti film. Padahal, karya-karya tersebut merupakan cerminan penggunaan bahasa Indonesia yang akan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Hal tersebut bisa terjadi sebagaimana ungkapan Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953) bahwa “Batas-batas pikiranku terletak pada batas-batas bahasaku. Segala yang aku ketahui adalah semua yang bisa kukatakan.” Hal tersebut dapat bermakna bahwa pencipta dan penyanyi lagu-lagu tersebut tidak memiliki wawasan yang luas dalam melahirkan sebuah karya.
Once sebagai penyanyi Indonesia yang mempopulerkan “Kucinta Kau Apa Adanya (Aku Mau); grup band d’Masiv yang mempopulerkan “Cinta ini Membunuhku”; dan Rita Sugiarto yang mempopulerkan “Acuh Tak Acuh” merupakan nama-nama besar dalam industri musik Indonesia. Namun, salah satu lagu mereka justru menjadi penyumbang kerusakan bahasa. Mereka menjadi orang-orang yang mewariskan kesalahan berbahasa. Ketiga lagu tersebut sangat populer hingga hari ini dan mungkin hingga masa nanti. Artinya, selama pengguna bahasa Indonesia mendengarkan dan menyukai lagu ini, pewarisan kata dengan makna yang salah akan terus terjadi.
Apakah ada kemungkinan untuk mengganti kata acuh dalam lagu tersebut menjadi bentuk lain, seperti abai? Bisa saja karena aturan dalam industri kreatif tidak bersifat kaku. Industri kreatif sangat dinamis. Masyarakat bisa menerima perubahan meskipun terkadang ada pertentangan dari sekelompok orang. Akan ada yang menilai bahwa lagu tersebut menjadi tidak menarik, aneh, dan tidak cocok dengan irama atau musik yang mengiringi. Namun, sekali lagi, hal tersebut hanyalah apologi atau pembelaan. Pada masa lagu direvisi, orang-orang pasti akan menolak. Kelak pada masa yang akan datang, setelah 20—50 atau 70—100 tahun mendatang, mereka sudah menggunakan kosakata dalam lagu dengan baik.
Jikalau tetap tidak menerima proses tersebut, barangkali kita bisa kembali ke slogan yang menjadi judul artikel ini. Mari acuhkan bahasa! Mari peduli terhadap bahasa! Pakailah bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah. Sebelum menggunakan kata-kata tersebut dalam industri kreatif, lihatlah KBBI dan juga Ejaan yang Disempurnakan (EYD) sebagai pedoman penulisan. Selain itu, ajaklah ahli bahasa untuk berdiskusi sebelum karya tersebut dilahirkan dan dipublikasikan kepada masyarakat. Bak kata Pramoedya Ananta Toer, “Tanpa mempelajari bahasa sendiri, orang takkan mengenal bangsanya sendiri”. Oleh sebab itu, mari pelajari kembali kosakata bahasa Indonesia dalam melahirkan sebuah karya kreatif!
Discussion about this post