
Oleh: Fatin Fashahah
(Mahasiswa Prodi Sastra dan Anggota Labor Penulisan Kreatif Universitas Andalas)
Musim gugur biasanya identik dengan keindahan. Daun-daun berubah warna, udara mulai dingin, dan alam seakan memberi ruang bagi manusia untuk merenung. Namun, dalam cerpen “Tepi Shire”, suasana itu tidak menawarkan ketenangan. Cerpen tersebut menghadirkan kegelisahan dan ketakutan. Dari balik keindahan alam, terselip kisah tentang trauma, kesepian, dan bayang-bayang masa lalu yang terus terlintas di pikiran.
Cerita ini dibuka dengan tokoh “aku”, seorang pekerja yang memanfaatkan musim gugur untuk bekerja di luar ruangan. Ia memilih sungai Shire, yaitu tempat yang dianggap tenang dan indah. Ini adalah musim gugur yang kedelapan baginya berkunjung ke sungai Shire. Namun, di kunjungannya kali ini, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar. Tepat di seberang sungai, ia melihat lelaki tua berkulit hitam yang sedang menyapu dedaunan kering. Ia mulai mengeluarkan kata-kata aneh dan mengganggu ketenangan tokoh aku karena hanya
ada mereka berdua di tempat itu. Tokoh aku berusaha untuk tidak menghiraukan penjaga kebersihan tersebut karena akan menunda ia menyelesaikan pekerjaannya.
Ia tetap saja sesekali melirik penjaga itu karena tingkahnya yang semakin mengganggu. Ia tampak mengerikan, yang pada awalnya hanya sekedar berteriak dan mengeluh tentang kehidupan hingga mulai mengeluarkan kata-kata dalam bahasa yang tak dimengerti. Ia juga berperilaku aneh seperti memukul pohon maple menggunakan tangan dan menggunakan kepalanya yang penuh bekas jahitan seperti gumpalan darah sampai dahinya
robek dan wajahnya dipenuhi darah. Ia lalu menatap tokoh aku dengan tajam dari seberang dan
berlari menceburkan diri ke sungai berulang kali.
Tingkah penjaga kebersihan itu mengingatkannya kembali pada kakeknya yang sepertinya sepantaran dengan penjaga tersebut. Kakeknya adalah seorang korban perang yang selamat. Namun, harus mengalami siksaan dan
juga kehilangan teman-teman serta satu tangannya akibat berusaha kabur dari siksaan musuh. Melalui kilas balik itu, kita diajak memahami bagaimana ingatan sejarah bisa melekat kuat, bahkan pada mereka yang tak pernah mengalaminya langsung. Kakek dari tokoh aku pernah kehilangan tangan demi menyelamatkan diri dari musuh. Ia menjadi saksi perang mengubah manusia menjadi asing bagi dirinya sendiri. Cerita itu terekam di kepala
cucunya, dan diam-diam membentuk cara pandangnya terhadap dunia. Ketika sosok penjaga kebersihan di sungai muncul, ia seolah berhadapan dengan cerminan trauma yang diwariskan antara bayangan masa lalu yang muncul di tubuh orang lain.
Melalui pertemuan sederhana antara dua orang yang dipisahkan oleh sungai Shire itu, Tawaqal M. Iqbal berhasil menyajikan sebuah ketegangan psikologis yang kuat. Walaupun tidak adanya pertempuran fisik, ada pergulatan batin yang kuat. Tokoh “aku” bukan hanya takut pada tingkah penjaga kebersihan itu, melainkan pada apa yang didapatkan dari kakeknya yaitu luka sejarah yang menolak sembuh. Sungai Shire yang indah itu dulunya menyimpan cerita sejarah yang kelam, ia pernah menjadi tempat ribuan korban perang dihanyutkan. Musim gugur yang menjadi latar cerita juga tidak hadir sebagai pelengkap semata. Musim gugur bagaik simbol kehancuran yang pelan-pelan menjadi sebuah keindahan. Daun-daun yang berguguran menggambarkan proses kehilangan sesuatu yang dulu hidup kini jatuh dan membusuk. Di sisi lain, warna merah dedaunan yang menyala seperti darah mengingatkan kita bahwa keindahan kadang menutupi duka.
Bahasa yang digunakan oleh Tawaqal M. Iqbal sederhana tapi penuh emosi yang membuat ketegangan dalam cerita terasa nyata. Gambaran tentang wajah penuh darah, mata tajam, dan tubuh yang hanyut di sungai tidak hanya menghadirkan kisah horor, tetapi juga menggambarkan kondisi batin tokoh utama yang tertekan. Semua ini membuat pembaca tidak hanya “membaca” cerita, melainkan ikut mengalami kepanikan dan kebingungan tokohnya.
Cerpen “Tepi Shire” menceritakan tentang trauma yang diwariskan secara halus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Luka perang yang pernah dialami kakek menjelma menjadi kecemasan eksistensial pada cucunya. Dalam kehidupan modern yang serba individual dan terasing, ingatan itu tidak hilang. Ia hanya berubah bentuk menjadi rasa sepi, paranoia, dan ketakutan tanpa nama. Cerpen ini seperti menegaskan bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar mati, tetapi hanya berpindah tempat, dari orang yang mengalami langsung peristiwa ke orang-orang yang masih hidup. Pertemuan di sungai itu bisa dibaca sebagai simbol perjumpaan antara masa kini dan masa lalu antara manusia modern yang merasa aman di balik rutinitasnya dan hantu sejarah yang terus menuntut pengakuan.
Saat penjaga kebersihan itu menceburkan diri ke sungai berkali-kali, sebenarnya yang tenggelam bukan hanya tubuhnya, melainkan juga harapan manusia untuk melupakan sejarah. Tokoh “aku” yang membeku di tempat, tak mampu bergerak, menandakan bahwa setiap usaha melarikan diri dari masa lalu selalu berakhir sia-sia.
Pada akhirnya, Tepi Shire adalah cerita tentang bagaimana manusia modern hidup dengan bayangan masa lalu yang tak selesai. Ia berbicara lembut, tetapi menohok, menggambarkan betapa luka bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Di tengah kesunyian sungai, di antara daun-daun yang gugur dan udara yang menipis, tokoh utama belajar satu hal bahwa terkadang yang paling menakutkan bukan sosok asing di luar sana, melainkan dirinya
sendiri yang terus dibayangi ingatan lama.
Cerita pendek “Tepi Shire” dengan latar musim gugur ini, mengingatkan kita bahwa setiap keindahan menyimpan retakan dan setiap ketenangan menyimpan luka. Musim gugur bukan hanya tentang dedaunan yang jatuh, tetapi
juga tentang kenangan yang kembali secara perlahan.







