Oleh: Yudhistira Ardi Poetra, M.I.Kom
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)
Beberapa waktu belakangan, keluarga Jokowi sering kali muncul di berbagai media, mulai dari televisi hingga platform-platform media sosial, seperti YouTube, Instagram, atau TikTok. Berbagai macam pemberitaan mencakup beragam aspek kehidupan pribadi dan pekerjaan mereka, termasuk aktivitas publik Presiden Jokowi dan keterlibatan anggota keluarganya, seperti anak-anaknya, dalam bidang bisnis, politik, dan isu-isu sosial. Munculnya berita mengenai mereka di media tidak hanya menarik perhatian masyarakat luas, tetapi juga memicu diskusi dan spekulasi di berbagai kalangan. Popularitas mereka di dunia maya turut diperkuat oleh keaktifan warganet yang ikut serta membagikan dan menanggapi berita-berita tersebut. Oleh karena itu, berita mengenai keluarga Jokowi menjadi topik yang sering diperbincangkan dan menjadi sorotan di berbagai kanal informasi.
Kedua anak Presiden Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep, semakin menjadi sorotan nasional semenjak terlibat aktif di dunia politik. Gibran, yang sebentar lagi dilantik menjadi Wakil Presiden, kerap diperbincangkan karena gaya komunikasi dan sejumlah langkah politiknya, mulai dari masa kampanye hingga masa uji coba program makan gratis yang ia canangkan bersama Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Sementara itu, Kaesang yang sebelumnya dikenal sebagai pengusaha muda karena tidak mau ikut ke ranah politik, kini malah terjun ke dunia politik dengan ambisi dan visi tersendiri. Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia atau lebih dikenal dengan PSI. Aktivitas mereka dalam arena politik telah menarik perhatian masyarakat dari berbagai kalangan dan golongan, mengundang debat publik, bahkan memicu berbagai spekulasi mengenai masa depan politik Indonesia.
Dengan semakin menyebarnya pemberitaan mengenai keluarga Jokowi, fokus perhatian Indonesia pada keluarga tersebut tidak hanya cerminan politik keluarga, tetapi juga sebagai bagian dari dinamika politik yang kompleks dan terus berubah di negara ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana pengaruh mereka dalam menentukan arah kebijakan dan partisipasi masyarakat dalam proses politik.
Gaya komunikasi Presiden Jokowi yang khas, sering kali ditandai dengan ungkapan populer seperti “Ya ndak tahu. Kok tanya saya.” dan jawaban-jawaban singkat namun langsung kepada wartawan. Jawaban serupa tampaknya mulai menulari kedua anaknya, Gibran dan Kaesang. Gibran dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden Terpilih yang berangkat dari Wali Kota Solo, sering kali menunjukkan sikap yang sama ketika berinteraksi dengan media. Ia menanggapi dengan respons yang ringkas, singkat ke inti jawaban, dan mengandung humor yang ringan. Begitu pula Kaesang, yang memulai karier terjun ke dunia politik dengan langsung menjabat sebagai Ketua Umum salah satu partai politik. Ia kerap meniru gaya komunikasi yang spontan dan terkadang terkesan sederhana, tetapi tetap efektif dalam menyampaikan pesan. Gaya komunikasi yang cenderung santai namun tegas, tampaknya telah menjadi ciri khas keluarga Jokowi dalam menghadapi sorotan media. Hal itu membuat mereka terlihat lebih dekat dan relatable dengan masyarakat meskipun tetap dalam konteks formalitas politik yang mereka emban.
Akan tetapi, semakin hari masyarakat Indonesia, terutama para warganet, mulai merasa geram dan gemas dengan jawaban-jawaban singkat yang diberikan oleh Jokowi dan keluarganya kepada wartawan. Jawaban-jawaban tersebut sering kali dianggap terlalu sederhana atau bahkan seolah menghindari inti pertanyaan yang diajukan saat wawancara atau konferensi pers. Akibatnya, banyak yang berpikir bahwa tanggapan tersebut tidak memberikan kejelasan atau informasi yang diharapkan, terutama dalam menanggapi isu-isu penting yang sedang hangat dibicarakan. Di media sosial, hal ini kerap menjadi bahan perdebatan warganet. Beberapa pihak mengkritik gaya komunikasi tersebut sebagai bentuk komunikasi yang misterius dan tidak transparan. Sementara itu, pihak lain menganggap sebagai bagian dari strategi komunikasi keluarga Jokowi untuk tetap tenang dan tidak terjebak dalam tekanan media.
Karena kebiasaan Jokowi dan keluarga yang jarang memberikan pernyataan tegas dan lugas dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan media dan masyarakat sering kali dengan bercanda menyebutnya sebagai “Keluarga Mulyono”. Nama Mulyono akhir-akhir ini muncul ke ranah publik yang mana nama tersebut memiliki sejarah sendiri dan dianggap sebagai nama kecil Jokowi sebelum dikenal sebagai Joko Widodo. Sebutan Mulyono yang disematkan oleh warganet kepada Jokowi sebagai cermin kekecewaan terhadap gaya kepemimpinannya, khususnya dalam hal komunikasi.
Warganet merasa tidak puas melihat Jokowi memberikan jawaban singkat atau menghindar dari pertanyaan penting. Nama Mulyono digunakan sebagai bentuk kritikan untuk Jokowi. Nama ini dianggap mewakili versi Jokowi yang lebih sederhana dan mungkin belum sepenuhnya matang dalam menghadapi tekanan sebagai pemimpin negara. Sebutan ini muncul karena harapan masyarakat yang lebih besar terhadap sosok Jokowi. Ia diharapkan untuk bersikap lebih tegas, lugas, dan memberikan kejelasan informasi dalam berbagai situasi. Nama Mulyono sepertinya dipakai oleh warganet Indonesia sebagai cara untuk menghindari tuduhan menghina Presiden Jokowi, mengingat kekhawatiran terhadap penerapan UU ITE. Penyebutan nama tersebut mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap gaya komunikasi Jokowi yang dinilai tidak memenuhi harapan publik akan keterbukaan dan ketegasan seorang pemimpin.
Entah karena kemiripan watak antara ayah dan anak atau mungkin karena ungkapan bahwa anak adalah cerminan dari ayahnya, Gibran dan Kaesang juga mengikuti gaya Jokowi dalam hal komunikasi, terutama ketika berhadapan dengan wartawan. Kedua anak Jokowi sering memberikan jawaban yang singkat, sederhana, dan kadang terkesan menghindar dari pertanyaan mendalam. Hal itu membuat gemas para wartawan dan publik. Gibran tidak bicara banyak saat menghadapi wartawan dan sering menjawab pertanyaan tidak langsung ke intinya, sedangkan Kaesang kerap merespons pertanyaan dengan santai dan bercanda meskipun dalam menanggapi persoalan yang serius. Gaya komunikasi ini dianggap tidak sesuai dengan ekspektasi dan menimbulkan reaksi beragam dari media dan publik.
Contoh sederhana budaya komunikasi ala “keluarga Mulyono” dilihat dari dua kasus yang hangat diperbincangkan terkait dengan Gibran dan Kaesang. Pertama, berita mengenai akun media sosial fufufafa yang melibatkan Gibran, sebagai orang yang diduga kuat pemilik akun. Kedua, kasus jet pribadi yang dikaitkan dengan Kaesang karena dianggap sebagai gratifikasi. Dalam kedua kasus ini, baik Gibran maupun Kaesang tampak menghindar untuk memberikan penjelasan kepada media. Mereka tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan secara spesifik. Mereka hanya menjawab dengan singkat, padat, namun tidak jelas. Sangat disayangkan, orang-orang penting di belakang ayah mereka, seperti Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), seolah mengambil peran sebagai juru bicara. Mereka kerap memberikan klarifikasi atau penjelasan terkait dengan isu-isu yang terkait dengan Gibran dan Kaesang. Sikap ini menimbulkan reaksi yang gemas dan kecewa dari publik yang mengharapkan jawaban langsung dari keduanya.
Situasi komunikasi ini menimbulkan dilema di kalangan wartawan. Di satu sisi, wartawan harus mencari berita dan menggali informasi yang benar dengan wawancara langsung. Wartawan berharap mendapatkan jawaban yang substansial untuk disampaikan kepada publik. Namun, di sisi lain, mereka seperti frustasi menerima jawaban-jawaban template atau itu-itu saja. Kondisi ini memengaruhi hubungan antara wartawan dan figur publik tersebut. Wartawan terjebak antara profesionalisme dan keletihan menghadapi respons yang kurang informatif ketika berhadapan dengan keluarga ini.
Dalam konteks yang lebih serius, masyarakat menaruh harapan tinggi terhadap pemimpin untuk memiliki gaya komunikasi yang baik, terutama dalam memberikan konfirmasi terhadap berbagai persoalan. Keterampilan dan kemampuan seorang pemimpin dalam menyampaikan informasi dengan jelas dan transparan merupakan hal penting di era keterbukaan informasi publik saat ini. Informasi sangat cepat tersebar seperti bola liar yang menjadi perdebatan publik. Gaya komunikasi yang tidak memadai dari keluarga Jokowi membuat masyarakat kecewa. Jawaban-jawaban yang terkesan menghindar dari pertanyaan-pertanyaan penting tidak hanya melelahkan wartawan, tetapi juga menyisakan frustrasi bagi yang mendambakan keterbukaan dan kejelasan. Gaya komunikasi ini menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyat. Harapan akan kehadiran sosok yang mampu menjawab tantangan dan memberikan penjelasan semakin memudar, mengundang skeptisisme, dan ketidakpuasan di kalangan publik yang menginginkan lebih dari sekadar retorika yang tidak substansial.