Oleh: Dara Suci Rezki Efendi
(Mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia Universitas Andalas)
Puisi merupakan salah satu bagian dari karya sastra yang kental akan keindahan. Puisi menyimpan banyak makna, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Setiap bait puisi mengandung keindahan yang bisa dinikmati oleh semua orang. Tidak jarang dikatakan bahwa puisi sebagai media yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan juga nilai moral. Untuk mempelajari keindahan puisi, tidak cukup dengan membacanya saja. Ada banyak cara lain yang bisa digunakan, salah satunya dengan menganalisis puisi tersebut.
Analisis puisi dalam kajian stilistika dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti halnya menganalisis karya sastra. Salah satunya adalah dengan majas. Majas merupakan bagian dari stilistika yang membahas tentang pengungkapan bahasa yang merujuk pada makna yang tidak sebenarnya. Tarigan dalam (Suhardi, 2015:148), menyebutkan majas sebagai bahasa yang bersifat imajinatif dan bermakna tidak sebenarnya. Artinya, dengan perantara majas, penulis tidak menyatakan maknanya secara langsung. Majas ada banyak jenisnya, seperti majas personifikasi, simile, metafora, hiperbola, dan ironi.
Salah satu majas yang sering digunakan dalam puisi adalah majas personifikasi. Personifikasi merupakan bahasa kiasan yang menggambarkan bahwa benda mati seolah-olah memiliki nyawa. Benda mati tersebut memiliki sifat seperti manusia atau sifat insani seperti berbicara, bertindak, dan memiliki rasa selayaknya seorang makhluk hidup (Keraf, 2009: 140). Majas personifikasi atau majas penginsanan adalah majas yang menempatkan sifat-sifat alami manusia kepada benda mati atau sesuatu yang bersifat abstrak. Personifikasi sama halnya dengan ‘memanusiakan’ benda mati atau yang tidak bernyawa. Salah satu contohnya adalah “Matahari mulai tersenyum di balik awan”. Kata ‘tersenyum’ hanya dipakai oleh manusia untuk mengungkapkan perasaan senang dan bahagia, “Matahari mulai tersenyum” sebenarnya hanya kiasan yang digunakan sebagai pertanda bahwa matahari telah terbit. Benda mati dalam majas personifikasi diletakkan sebagai subjek atau pelaku dari serangkaian tindakan. Personifikasi digunakan untuk memberi kesan hidup pada sang pelaku.
Salah satu puisi yang mengandung gaya personifikasi adalah puisi Joko Pinurbo dengan judul “Lukisan Berwarna”. Dalam puisi “Lukisan Berwarna” penulis ingin menyampaikan tentang keindahan alam kepada manusia. Dengan kata lain, alam diibaratkan sebuah lukisan yang nyata lengkap dengan berbagai warna. Penggunaan kata-kata yang indah mewakili wujud keindahan alam tersebut. Unsur-unsur yang ada seperti warna dan kanvas menjadi sebuah hubungan yang serasi antara keindahan dan keceriaan. Puisi ini terdiri dari lima bait yang masing-masingnya mengandung makna tersirat maupun tersurat. Hal tersebut dapat dilihat dari puisinya, yaitu:
“Lukisan Berwarna”
Untuk Andreas dan Dorothea
Hujan beratus warna
tumpah di hamparan kanvas senja
Pohon-pohon bersorak gembira
sebab dari ranting-rantingnya yang sakit
kuncup jua daun-daun beratus warna.
Burung-burung bernyanyi riang,
terbang riuh dari dahan ke dahan
dengan sayap beratus warna.
Dua malaikat kecil mengayam cahaya,
membentang bianglala
di bawah langit beratus warna.
Air mata beratus warna kautumpahkan
ke celah-celah sunyi
yang belum sempat tersentuh warna.
2002
Dari bait-bait yang ada dalam puisi tersebut, terdapat majas personifikasi yang menjadi style atau gaya bahasanya. Seperti pada larik “Hujan beratus warna, tumpah di hamparan kanvas senja”. Hujan merupakan benda yang mati dan tidak memiliki sifat kemanusiaan. Namun, hujan seolah-olah seperti benda hidup yang jatuh dari atas langit dan tumpah di hamparan kanvas senja. Dengan adanya kata tumpah menjadikan hujan seperti meniru gaya yang biasa diperbuat oleh manusia pada umumnya. Hujan sebagai bagian dari alam, diibaratkan memiliki jiwa dan perasaan selayaknya manusia.
Selanjutnya pada larik “Pohon-pohon bersorak gembira, sebab dari ranting-rantingnya yang sakit, kuncup jua daun-daun beratus warna”. Majas personifikasi dapat dilihat dari “Pohon-pohon yang bersorak gembira”. Pada kenyataannya, pohon tidak memiliki sifat atau kebiasaan dari manusia yang suka bersorak gembira, sorak atau teriakan gembira hanya dilakukan oleh manusia sebagai bentuk dari kebahagiaan. Namun, jika dilihat dari makna tersuratnya, pohon pun bisa bahagia jika hidup di alam yang indah. Pohon-pohon yang disebutkan dalam puisi tersebut menirukan tindakan manusia yang suka bersorak jika sedang bahagia atau gembira.
Begitupun larik “Sebab dari ranting-rantingnya yang sakit”. Sakit adalah perasaan yang dialami oleh manusia. Akan tetapi, ranting diibaratkan seperti manusia yang bisa merasakan rasa sakit, sedangkan ranting hanyalah benda mati yang tidak bisa merasakan apapun dan tidak memiliki sifat insani. Kalau dilihat dari maknanya, Meskipun ranting-ranting itu sakit, ia masih bisa menumbuhkan kuncup daun dengan warna yang beragam. Ranting pohon hanyalah benda mati namun seolah-olah hidup seperti manusia. Personifikasi berperan sebagai kata kiasan sehingga pembaca bisa mengerti apa maksud dari larik tersebut.
Selanjutnya bait ketiga, “Burung-burung bernyanyi gembira”. Burung adalah salah satu hewan yang bisa terbang, namun tidak bisa bernyanyi. Burung tidak memilik sifat manusiawi, namun pada larik ini burung bernyanyi dengan gembira. Bernyanyi merupakan kebiasaan manusia dan burung tidak mungkin bisa bernyanyi. Apalagi dikatakan bahwa burung bernyanyi dengan gembira. Kata bernyanyi dan gembira adalah perumpamaan untuk menyampaikan maksud lain dengan gaya bahasa yang lebih menarik. Artinya, keindahan alam yang mempesona membuat burung ikut merasakan kebahagiaan dan seolah-olah dia bisa bernyanyi seperti manusia.
Larik selanjutnya “Terbang riuh dari dahan ke dahan”. Kata ‘riuh’ biasanya digunakan oleh manusia untuk menunjukkan keadaan yang bersemangat, penuh gairah dan juga keramaian. Akantetapi, di sini kata ‘riuh’ digunakan untuk menggambarkan keadaan burung yang sedang terbang dari dahan ke dahan. Burung tersebut sangat bersemangat sehingga menciptakan suasana yang ramai. Hal itu menunjukkan bahwa burung sangat bersemangat terbang di alam yang indah dengan sayapnya yang beratus warna. Sifat manusiawi disematkan kepada burung untuk mewakili keadaan senang dan gembira.
Bait terakhir pada larik “Dua malaikat kecil menganyam cahaya, membentang bianglala”. Terlihat bahwa sifat manusiawi diberikan kepada malaikat yang mengayam cahaya. Style atau gaya bahasa berupa majas personifikasi membuat bait terakhir semakin menarik. Malaikat tidaklah memiliki sifat insani, tetapi pada larik ini dua malaikat kecil seolah-olah mengayam cahaya, lalu ia membentang bianglala atau pelangi. Mengayam dan membentang biasanya dilakukan oleh manusia, bukan oleh malaikat yang tidak memiliki sifat manusiawi.
Puisi ini ditutup dengan larik “Air mata beratus warna kau tumpahkan ke celah-celah sunyi, yang belum sempat tersentuh warna”. Larik tersebut mengandung majas personifikasi yang menggambarkan hubungan antara alam dan warna. Warna-warna merupakan benda mati, namun memberikan sentuhan yang indah untuk membuat corak dan keberagaman pada alam. Warna juga membuat alam menciptakan keindahan dan juga kegembiraan. Sifat gembira adalah sifat manusiawi yang seolah juga dimiliki oleh alam. Lukisan alam yang berwarna-warni merupakan simbol keanggunan. Alam dan warna memiliki hubungan yang kuat dalam memberikan sentuhan pada keindahan.
Simbol-simbol yang digunakan seperti pohon, burung, dan juga malaikat, menjadi saksi betapa kayanya alam. Majas personifikasi yang digunakan oleh penyair menjadi gambaran bahwa alam sama dengan manusia. Ratusan warna yang tumpah di atas kanvas senja menggambarkan visual alam yang beragam. Pohon-pohon yang bersorak gembira dan ranting-ranting yang menumbuhkan kuncup, seolah membuat alam hidup dan bernyawa. Tidak hanya itu, burung-burung yang bernyanyi riang adalah personifikasi dari kegembiraan yang dirasakan oleh burung. Warna-warni pada alam mampu membuat burung bernyanyi dan terbang dengan riuh. Penyair juga menciptakan gambaran keindahan dua malaikat kecil yang mengayam cahaya sehingga membentuk bianglala atau pelangi.
Hampir setiap bait puisi “Lukisan Berwarna” mengandung personifikasi. Majas personifikasi memberikan unsur hidup pada benda yang tidak mempunyai sifat manusiawi. Kekuatan imajinasi penyair sebagai pencipta puisi membuat alam terlihat bernyawa. Warna yang beragam menciptakan kesan hidup dan menjadi sumber keindahan. Penggunaan majas personifikasi dapat membuat pembaca menemukan makna kegembiraan dan perasaan kagum pada alam. Gambaran alam yang indah dan memikat menjadi daya tarik tersendiri saat membaca puisi ini.
Discussion about this post