Oleh: Raudhatul Tassya Khairunisa
(Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Novel merupakan salah satu karya sastra sebagai perwujudan penggambaran sosial yang tak jarang sering terjadi di Masyarakat. Hal ini bisa saja terlihat dari bagaimana penulis mengilustrasikan suatu karya sastra ke dalam sebuah novel. Bisa saja novel tersebut adalah pengalaman yang pernah dialami oleh penulis atau bisa saja novel ditulis oleh penulis untuk mengekspresikan diri terhadap kehidupan bermasyarakat yang terjadi di sekitarnya sebagai bentuk kritik sosial.
Kritik sosial yang dimaksudkan adalah adanya kesalahan atau ketimpangan yang tidak semestinya terjadi di masyarakat. Ketimpangan atau kesalahan yang terjadi dalam masyarakat misalnya bagaimana masyarakat memandang suatu keluarga yang terdengar agamis atau sebaliknya. Bagaimana individu memandang seseorang yang dianggapnya memiliki kehidupan dan kepribadian yang jauh berbeda darinya dan sangat jauh dari ajaran Islam. Selain itu, adanya kesalahan dalam diri individu juga dapat menjadi satu faktor bagaimana penulis menuliskan tokoh yang dia inginkan agar lebih hidup dan benar-benar hadir di dalam kehidupan pembaca.
Dalam novel Shaf karya Ima Madani yang terbit pada tahun 2021, penulis menggambarkan sosok Shafira sebagai tokoh utama di dalam novel. Ia adalah seorang perempuan muslimah yang memiliki trauma atas masa lalu yang menimpanya saat dia berumur tujuh tahun. Selain itu, penulis juga menggambarkan bagaimana Shafira memandang tokoh lain, yakni Athaya yang memiliki kepribadian dan kehidupan yang dianggap Shafira sangat jauh dari ajaran Islam. Kepribadian tokoh dalam novel ini akan ditinjau dengan menggunakan psikoanalisis. Salah satunya adalah id. Id menurut Karninik & Lamusiah (2019:51) adalah suatu dorongan yang sifatnya biologis dan dibawa sejak lahir oleh manusia, sedangkan menurut Suprapto, id ialah bagian dari struktur kepribadian yang terletak di alam bawah sadar dan tidak ada kontak dengan realitas kehidupan yang sebenarnya. Id atau kepribadian yang ada di alam bawah sadar tokoh Shafira di antaranya:
1. PTSD (Post Traumatic Disorder).
Dilansir dari halodoc.com, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stress pascatrauma adalah kondisi kesehatan jiwa yang dipicu oleh peristiwa traumatis. Misalnya, pelecehan seksual, bencana alam, peperangan, atau kecelakaan. PTSD dapat terjadi setelah seseorang melihat atau mengalami kejadian yang mengancam atau membahayakan nyawa, seperti kutipan berikut: “Aku memiliki post traumatic stress disorder (PTSD) sejak usiaku masih tujuh tahun dan itu berlanjut sampai sekarang. Sebuah gangguan kecemasan yang mulai mengahntuiku setelah kecelakaan kereta yang pernah kualami“(Madani, 2021: 25). Dari kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tokoh Shafira memiliki trauma terhadap kejadian yang pernah dialaminya sehingga sangat sulit untuk melupakan, bahkan kejadian tersebut terus menghantuinya.
2. Berpikir negatif
Dilansir dari halodoc.com, berpikir negatif adalah kecenderuangan untuk menilai suatu hal dari sudut pandang yang buruk atau negatif. Hal ini seringkali muncul saat bertemu dengan orang baru atau saat menghadapi hal yang belum pernah dihadapi, seperti yang terlihat pada kutipan berikut:
Tak lama setelah Perempuan itu masuk, suara-suara aneh mulai bermunculan. Suara yang akan membuat darah berdesir, keringat dingin turun seperti hujan, dan membuatku bertanya pada diri sendiri— Apa aku terlalu dungu untuk mengerti semua ini? (Madani, 2021: 5).
Dari kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Shafira selalu berpikir negatif terhadap Athaya. Karena menurut Shafira, Athaya adalah sosok yang dia juluki sebagai buaya, tetapi sekelas dinosaurus. Semua wanita akan tunduk dan patuh padanya, lalu memuja ketampanan Athaya.
3. Tidak fanatik dan tetap taat pada ajaran agama
Terkadang, hal yang paling sulit untuk dilakukan seorang muslim adalah menjaga pandangan dan auratnya dari yang bukan mahram. Hal ini tentu saja terdengar sepele, tetapi ganjaran yang di dapat tidaklah main-main. Terlebih lagi itu adalah seorang muslimah, jika sekali saja melangkah maka ayah dan saudara laki-lakinya akan dimasukkan ke dalam neraka (HR. Thabrani dan Baihaqi). Well, aku pernah mendapatkan omongan yang lebih sarkatis dari itu. Saat hari pertama masuk kerja di Nata Adytama satu tahun lalu, Raka memanggilku dengan sebutan ‘patung Buddha’ karena aku tak mau bersalaman dengannya. Jadi, dipanggil mannerless masih termasuk kategori sebutan yang cukup halus (Madani, 2021: 30).
Shafira sudah terbiasa dengan julukan yang selalu dia dapatkan dari beberapa orang yang baru mengenalnya dan mengajaknya bersalaman dengan lawan jenis. Hal itu tentu saja membuat Shafira memaklumi semua hal yang pada dirinya karena dianggap fanatik. Padahal, Shafira berusaha untuk tetap istiqomah menjauhi semua larangan-Nya.
4. Tidak menyukai tokoh Athaya
Perasaan tidak pada suatu hal memang suatu hal lumrah yang sering kita alami. Terkadang, perasaan ini muncul dari dalam diri karena suatu hal lain, seperti memang ada sifat seseorang yang menurut kita buruk atau bisa saja karena kita belum mengenal lebih dekat tokoh tersebut. Hal ini yang dialami tokoh Shafira terhadap tokoh Athaya, seperti kutipan di bawah ini.
“Kalau kamu… bersalaman dengan Dipta, mungkin sekarang… kamu sudah menajdi pacarnya Direktur Keuangan Levin Estates Holdings itu. Tapi karena nggak terjadi, saya bisa menggunakan debit card milik Dipta sepuasnya.. selama satu minggu ke depan,” lanjutnya tanpa rasa bersalah. Napasku tertahan ketika mendengarnya. Jadi, kemarin aku meninggalkan rapat, hujan-hujanan sampai kantor, hanya untuk dijadikan bahan taruhan? Begitu maksudnya? Wah, sebuah pengakuan yang cukup menambah aliran otakku terasa semakin cepat (Madani, 2021: 35).
Dari kutipan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Shafira tidak menyukai tokoh Athaya yang seenaknya saja. Hal ini tentu saja dibuktikan dengan Shafira yang dijadikan sebagai bahan taruhan bagi Athaya dan teman dekatnya. Lalu pada beberapa kalimat lain, Athaya kerap kali membuat Shafira kesal karena tingkahnya yang suka mabuk-mabukkan dan bermain perempuan. Lalu, ia juga dibuat bingung akan tingkah Athaya yang menjalankan maksiat, tetapi juga salat dan di mata Shafira itu seolah Athaya bermain-main dengan agama dan Sang Pencipta.
Masih banyak ulasan yang dapat dilakukan terhadap novel Shaf dengan tinjauan psikoanalisis. Mulai dari id, ego, hingga superego. Tokoh Shafira tidak hanya merangkum satu jenis psikoanalisis yang dijelaskan oleh Sigmund Freud, tetapi juga merangkum keseluruhannya. Tokoh Shafira dengan sudut pandang orang pertama “aku” menjelaskan bagaimana dirinya membenci tokoh Athaya hingga dirinya mulai mengetahui satu demi satu hal yang terjadi pada atasannya itu. Lalu, bagaimana tokoh Shafira menyelesaikan masalahnya dengan sang tunangan yang ternyata telah lebih dulu melamar wanita lain. Penyelesaian masalah yang ada dalam diri Shafira maupun permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya sudah cukup apik dibahas dalam novel Shaf ini.
Discussion about this post