Oleh: Dara Suci Rezki Efendi
(Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Di antara suara angin malam yang berbisik di dedaunan, pelan – pelan Bu Yuyuk pun berbisik pada Tuhan. “Aku lengang tanpa suara-Mu” (Wisran Hadi).
Karya sastra adalah sebuah seni yang lahir dari cerminan kehidupan. Karya sastra juga merupakan bentuk penyaluran emosi yang kental akan nilai moral dan tidak lepas dari tatanan sosial. Banyak permasalahan dibahas dalam sebuah karya sastra. Salah satunya adalah masalah yang berkaitan dengan tokoh dengan kejiwaannya. Tokoh merupakan unsur terpenting sekaligus menjadi identitas karya sastra. Seorang penulis harus mampu menciptakan tokoh dengan karakter yang kuat agar karya menjadi lebih hidup dan berkesan. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang tokoh dengan kejiwaannya, teori yang paling tepat digunakan adalah teori psikoanalisis dari Sigmund Freud.
Teori ini menganalisis hubungan antara manusia dengan batinnya dengan kata lain membahas kejiwaan manusia sampai kepada alam bawah sadar. Teori ini juga mempelajari lebih mendalam aspek kejiwaan yang ada pada diri tokoh gunanya agar pembaca lebih memahami apa sebenarnya masalah yang dialami tokoh. Teori psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud cocok untuk digunakan untuk analisis kejiwaan tokoh dalam novel Orang-Orang Blanti karya Wisran Hadi. Novel ini terbit pada tahun 2000 dan diterbitkan oleh Yayasan Citra Budaya Indonesia, Padang.
Novel Orang-Orang Blanti merupakan novel yang bercerita tentang kisah masa lalu di orang-orang di Blanti. Latar belakang cerita ini adalah sejarah orang Blanti yang berada di Padang, Sumatera Barat. Kisahnya menyangkut kehidupan orang-orang Blanti pada zaman dahulu sampai kedatangan orang-orang pulau yang berasal dari luar Sumatera Barat. Kisah masa lalu antara kehidupan orang-orang Blanti dan kedatangan orang-orang Pulau, dibangkitkan kembali oleh Bu Yuyuk, seorang perempuan keturunan Blanti yang sudah sepuluh tahun merantau dan kemudian kembali pulang ke kampungnya untuk hidup sebagai keturunan Blanti. Kisah dalam novel ini menggambarkan rumitnya cerita masa lalu yang tidak lepas dari sejarah, hubungan kekerabatan, budaya, serta tradisi di Minangkabau.
Bu Yuyuk, sosok perempuan yang punya keinginan kuat untuk mengulik kembali kisah masa lalu. Keinginan Bu Yuyuk bermula saat ia ingin menulis kisah tentang seorang perempuan yang erat kaitannya dengan sejarah masa lalunya, yaitu Empon, perempuan tua yang menjadi saksi bisu sekaligus korban dari peliknya kehidupan zaman dahulu. Bu Yuyuk merasa tertarik dengan kisah Empon. Dalam teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, ada tiga persoalan utama yang menjadi unsur pendukung berdirinya teori ini, yaitu id, ego dan superego. Id merupakan unsur kejiwaan manusia yang berada di alam bawah sadar. Dalam bagian id, Sigmund Freud menggambarkan tokoh memiliki hasrat atau keinginan untuk melakukan suatu tindakan. Namun, tokoh belum bisa membedakan apakah hasratnya itu baik atau tidak baik. Contohnya ada dalam diri tokoh Bu Yuyuk yang punya keinginan untuk menulis tentang Empon.
Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan “Pernah bu Yuyuk mencoba mencatat beberapa persoalan kehidupan Empon yang diamatinya secara sepintas, tapi tidak pernah menemukan bentuk yang jelas dan tidak memuaskan. Dicobanya pula menuliskan dalam bentuk puisi, cerita pendek atau artikel sebagaimana dulu pernah dilakukannya untuk majalah mahasiswa di lingkungan fakultasnya. Namun tetap saja dia tidak merasa bebas mengungkapkan apa yang diinginkannya terhadap kehidupan Empon. Dia tetap ingin menuliskannya, entah dalam bentuk tulisan atau apalagi” (Hadi, 2000: 18).
Dalam kutipan tersebut, terlihat bahwa bu Yuyuk punya hasrat atau keinginan untuk menulis tentang Empon. Dorongan dari dalam dirinya, membawanya pada sebuah keinginan yang tidak terpikirkan oleh orang lain. Keinginan itu muncul sebagai bentuk rasa penasaran bu Yuyuk terhadap kehidupan dan kisah Empon. Meskipun begitu, Bu Yuyuk masih belum menyadari apakah keinginannya itu merupakan suatu hal yang baik atau tidak.
Kedua ego. Dalam teori yang dikembangkan oleh Sigmund Freud, ego merupakan bagian dari kepribadian tokoh yang bertindak sebagai pengambil keputusan. Dalam bagian ini, tokoh dapat mengambil keputusan atau Tindakan, tetapi dalam konteks antara sadar dan tidak sadar. Artinya tokoh belum sepenuhnya mengetahui apakah tindakannya itu benar atau salah. Ego berperan sebagai sarana untuk memenuhi khayalan tokoh yang terlintas pada bagian id.
Contohnya dari tokoh bu Yuyuk terdapat dalam kutipan “Dua puluh tujuh hari lamanya bu Yuyuk berputar seperti orang – orangan di tengah sawah. Ditarik ke kiri dan ke kanan oleh berbagai pertimbangan dari semua persoalan yang akan ditulisnya. Untuk sesaat dia mencoba melepaskan diri dari segala pertimbangan. Menetapkan pilihan sementara, bahwa bentuk dari sebuah tulisan tidak penting. Yang penting adalah sasarannya”. (Hadi, 2000: 28)
Dari kutipan di atas, Bu Yuyuk sudah sampai pada sebuah keputusan untuk menulis. Namun, Bu Yuyuk masih sangat bingung untuk menuliskannya. Bu Yuyuk ragu jika tetap menjadikan Empon sebagai objek utama tulisannya, ia akan membuka kisah masa lalu yang mungkin saja akan menyakiti orang lain. “Yang tidak disenangi bu Yuyuk dalam menyusuri kehidupan Empon, ketika ia harus melewati titian panjang masa lalu. Rasanya seperti mengungkit – ungkit persoalan yang sangat substil dan terlalu personal”. (Hadi, 2000: 48)
Pada bagian ini ego berperan untuk membantu tokoh mengambil keputusan. Ego memberi pertimbangan atas tindakan yang akan diambil. Namun, tokoh Bu Yuyuk masih berada dalam keraguan. Jika tetap lanjut untuk menulis, ia khawatir akan membuka luka lama bagi orang-orang Blanti. Karena tulisannya itu, tentu saja akan membawanya pada sejarah masa lalu dan kembali membangkitkan ingatan orang-orang Blanti.
Bagian terakhir super ego. Super ego berfungsi sebagai alat kontrol dalam menentukan baik dan buruk saat tokoh mengambil keputusan. Atau dengan kata lain, super ego berfungsi sebagai hati nurani yang mengacu pada moralitas. Dalam novel ini tokoh Bu Yuyuk pada akhirnya mendapat dukungan moralitas dari hati nuraninya. Contohnya dalam kutipan “Bu Yuk jadi gelisah. Bagaimana nanti dia dapat membedakan antara masa lalu yang mungkin akan disadur untuk latar belakang penulisannya tentang Empon dengan sejarah orang – orang Blanti yang tidak mungkin dapat diubah – ubah. Karena masa lalu keluarga Empon dan masa lalu kaum bu Yuk adalah bagian yang tak terpisahkan dari Sejarah Blanti. Sejarah bukan sesuatu yang sakral, jawabnya sendiri menenangkan diri dari kegelisahannya” (Hadi, 2000: 75).
Dalam kutipan tersebut, super ego bertindak sebagai penunjuk dan membatasi segala hasrat yang muncul pada id. Bu Yuyuk disadarkan oleh moralnya sendiri untuk memperbaiki segala keputusannya pada bagian ego. Super ego menjelaskan mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakukan sehingga pada keputusan akhir, tokoh dapat memilih mana tindakan yang paling benar setelah menjalani proses sebelumnya.
Setelah melakukan analisis terhadap Orang-Orang Blanti dengan menggunakan teori Sigmund Freud, dapat disimpulkan beberapa pemahaman terkait adanya id, ego, dan superego. Teori ini dapat menyelidiki lebih mendalam tentang kondisi psikis dan kejiwaan yang dialami oleh tokoh dalam sebuah karya sastra, seperti yang dialami tokoh Bu Yuyuk yang menghadapi beberapa persoalan secara terstruktur. Dalam teori psikoanalisis Sigmund Freud, id, ego, dan super ego mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan satu satu sama lain. Id dari sosok Bu Yuyuk mempunyai keinginan untuk menulis sejarah orang lain, egonya mengambil keputusan untuk menulis, tetapi dengan kegelisahan hatinya terkait dengan sejarah lama. Super ego membantu Bu Yuyuk untuk menjernihkan pikiran dalam menentukan tindakan terbaik bagi diri Bu Yuyuk dan orang banyak.
Discussion about this post