Kebenaran yang Temaram
Cerpen: Andi Mutiara Muthahharah
Gerimis tak pernah turun bulan ini. Pantas saja suasana kota begitu panas hari itu. Ditambahi lagi dengan adanya demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang terjadi belakangan ini. Mereka membawa toa, spanduk-spanduk, kertas-kertas besar dengan tulisan-tulisan yang juga besar dan banyak tanda serunya, membakar ban-ban. Panas bukan saja berada di atas kepala, namun juga di dalam sanubari para pemuda.
“Mengapa mereka berteriak marah seperti itu, Kakak?” tanyaku kepada Kak Hotap yang nampak serius mengemudikan sepeda motor butut kami. Kami berdua baru saja habis mengambil laptop Kak Hotap yang telah diservis. Aku yang berada di boncengan belakang hanya bisa menatap aksi seruan mahasiswa itu dengan penuh tanda tanya, sambil mengumpat kepada mereka karena telah membuat jalanan macet dan bertambah panas.
“Karena ketidakadilan sedang bekerja!” seru Kak Hotap dengan lantangnya, seolah dia yang sedang memegang toa di jalan sana.
Namun, aku masih belum puas. “Ketidak adilan seperti apa, Kakak?”
Pertanyaan kedua itu menggantung begitu saja. Suaraku terlanjur tenggelam di antara deru suara kendaraan bermotor dan klakson yang mengaung tak sabaran.
***
Hingga sekarang, aku belum begitu paham ketidakadilan seperti apa yang dimaksud kakakku itu. Kak Hotap juga semakin jarang berada di rumah. Aku yakin saja, ia setelah pulang dari kampus, ikut-ikutan turun ke jalan. Tempo hari, saat bersamanya naik motor, dapat kulihat jelas matanya yang penuh kebencian. Maka pikirku, sudah tentu Kak Hotap berada di pihak mereka hingga ia turut terjun menyampaikan aspirasi. Meski sebetulnya aku tidak begitu suka kakakku melakukannya. Namun, jikalau benar ia begitu untuk memperjuangkan kebenaran, maka aku tidak bisa apa-apa.
Toh, bapak juga tidak pernah melarang. Lebih tepatnya, tidak pernah bertanya hal-hal apa saja yang dilakukan Kak Hotap di luar sana, selain kuliah. Mungkin karena di mata bapak, Kak Hotap sudah begitu dewasa dan bapak tidak perlu lagi membatasinya atas banyak hal. Tidak sepertiku yang hanya seorang bocah kelas lima SD yang kerap kali masih bingung atas segala yang terjadi di sekelilingku.
***
Aku sedang fokus mengerjakan PR Agama di dalam kamar saat pintu kayu di ruang tengah berderek terbuka, diiringi suara Kak Hotap yang mengucapkan salam. Meski tak terlihat wajahnya, aku tahu bahwa Hotap nampak begitu lelah. Samar-samar, terdengar percakapannya dengan bapak di ruang tengah.
“Masih seperti kemarin, Pak. Malah hari ini tidak terlalu banyak.”
“Tak apa, Nak. Kau sudah bekerja amat keras. Istirahatlah. Semoga besok ada kabar baik.” Terdengar suara bapak penuh harap.
Malam semakin larut. Aku mulai membereskan alat tulisku sembari terus berpikir ketidakadilan seperti apa yang sebenarnya sedang diperjuangkan oleh Kak Hotap di jalan sana? Apakah aku terlalu kecil untuk tahu ?
***
Pukul satu siang, sepulang sekolah. Terik matahari yang memayungi semesta berpadu dengan asap-asap dari kendaraan bermotor yang memenuhi jalanan membuat hari siang itu begitu gerah. Mang Egi – kerabat Emak yang sekaligus orang yang berjasa mengantarku pergi dan pulang sekolah tiap hari tanpa dibayar – nampak gelisah sambil mengibaskan kerah baju kaosnya. Ibu-ibu penumpang di belakang dan beberapa anak sekolah juga nampak kegerahan. Kegelisahan Mang Egi dan penumpangnya semakin bertambah begitu angkot ternyata harus mengambil jalan memutar sebab jalan yang biasanya dilalui ditutup.
“Mahasiswa-mahasiswa itu memang semakin buas saja. Besok-besok mereka akan menutup semua jalan. Tidakkah mereka mengerti bahwa mereka sudah merugikan banyak pihak!?” Mang Egi berkata ketus. Aku hanya diam, sebelum akhirnya ikut menanggapi.
“Tapi, kata Kak Hotap, mahasiswa itu sedang memperjuangkan keadilan, Mang. Bukankah itu hal yang benar?”
“Tapi mereka tidak sepenuhnya benar, Hiko. Pun, jika mereka meneriakkan kebenaran atau keadilan, dan di saat yang sama mereka berbuat tidak adil kepada mereka yang terganggu oleh keributan, kepada mereka yang terpaksa terlambat karena jalan tutup, kepada mereka yang sumber penghasilannya dari jalanan, kepada mereka yang sakit akibat asap-asap yang diciptakan, kepada mereka yang fasilitas rumahnya ikut dirusaki ? Apakah hanya karena mereka memperjuangkan kebenaran, mereka bisa lantas disebut sebagai yang paling benar ? Kau harus melihat hal dari berbagai sisi, Hiko. Lihatlah, kau bahkan terlambat pulang karena kita mengambil jalan yang lebih jauh. Hal ini mungkin tidak terlalu meresahkan kau, Nak. Tapi pernahkah kau berpikir, di luar sana bisa saja ada ambulance atau taksi bandara, atau kendaraan yang memang harus segera sampai tujuan. Terlambat satu detik saja, risikonya akan besar sekali.”
Aku merenung, mencerna kalimat demi kalimat yang mengudara dari Mang Egi. Aku tahu, meski beliau hanya mengabdikan hidupnya sebagai supir angkot selama puluhan tahun, tak terkira kebijaksanaan dan pemahaman hidup yang dihirupnya sehari-hari pada setiap perjalanan, pada setiap penumpang, pada sudut-sudut kota metropolitan.
***
Aku tiba lebih lama dari jadwal biasa aku pulang ke rumah. Di rumah itu, tak kudapati siapapun kecuali seorang lelaki asing yang tertidur di kursi kayu tua di ruang tengah. Sebuah koper dan tas besar nampak bersandar di sebelahnya.
“Itu Kak Rijal, teman sekampus kakakmu.” Bapak tiba-tiba saja muncul dari dapur belakang, menjawab kebingunganku. Digenggamannya ada sebotol minyak Sumbawa yang kerap dipakainya. Belakangan, aku memang sering melihat bapak lebih awal tiba di rumah. Mungkin tak sanggup lagi berjalan lebih jauh menjajakan dagangannya. “Kemarilah, Hiko. Kau bantu usap minyak ini ke punggung Bapak sambil Bapak akan bercerita kepadamu.”
Aku bangkit, mengikuti bapak yang sudah mengambil posisi tidur tengkurap di atas dipan kayu. Tanganku mulai mongolesi punggung bapak dengan minyak.
“Kawan Kakak kau itu anak yang hebat dan berprestasi. Tak seharusnya ia tertidur di kursi tua rumah jelek ini. Seharusnya saat ini ia sudah terbang menjelajahi benua Eropa sana,” cerita bapak. Aku masih diam menyimak sambil memijat-mijat punggung bapak.
“Tapi, seperti yang semua orang dewasa pernah bilang, semesta memang terlalu banyak bercanda. Rijal itu sudah merencanakan segalanya. Hari ini dia seharusnya berangkat ke bandara karena dia adalah delegasi tiga terbaik tingkat nasional di lomba puisi yang diikutinya, dan berkesempatan untuk ke Inggris. Tapi malang sekali anak ini. Dia terlambat ke bandara meskipun sudah mempersiapkan segalanya dari awal. Siapa yang tahu bahwa esok jalan akan ditutup oleh para demonstran, jika semalam sebelumnya ia tentu sibuk berdoa, meminta restu pada keluarga, dan mempelajari hal-hal yang kiranya akan ia butuhkan ketika di negeri orang ?” Bapak berhenti bercerita. Bangkit dari posisi tidurnya. Ditatapnya sosok yang tertidur di kursi kayu, lantas beralih pandang ke arahku. “Teman kakak kau itu terlambat ke bandara, Hiko. Tiketnya hangus sudah, pun impiannya.”
Cerita bapak membuatku terdiam cukup lama. Entah harus menanggapi apa. Ikut kulirik subjek yang dimaksud bapak. Ia masih tertidur dengan posisi yang sama, dengkurannya sesekali terdengar. Ah, kasihan sekali teman Kak Hotap itu.
“Ia merasa putus asa dan malu pulang ke rumah dengan cerita hampa. Maka, tadi kakakmu membawanya ke sini. Biarkan ia di sini dulu hingga jiwanya membaik.”
Cukup lama aku larut dalam diam hingga kuberanikan diri untuk menanggapi. “Kalau demo merugikan banyak pihak, lantas mengapa Kak Hotap ikut-ikutan, Bapak?”
Bapak menggeleng pelan. Air mukanya berubah sendu. Perlahan ia mendekat dan mengusap kepalaku. “Kakakmu memang turun ke jalan Hiko, tapi tidak untuk ikut di aksi itu. Kakakmu turun ke jalan menggantikan Bapak berjualan. Kau tahu, tempat yang biasa Bapak pakai untuk berjualan tidak bisa lagi ditempati lantaran adanya aksi itu. Bapak tidak sanggup berjualan di lampu merah jalan lain karena itu terlampau jauh, Nak.”
Aku tertegun. Mulai menyadari ketidakpekaanku atas apa yang terjadi di rumah ini. Teringat lagi ketika aku diboncengi Kak Hotap dan terlihat jelas tatapannya yang penuh kebencian. Aku sekarang tahu maksud tatapan itu. Aku tersadar, Kak Hotap yang belakangan memang sering pulang terlambat dengan raut wajah lelah, tanpa pernah aku bertanya ia telah melakukan apa atau apakah ia baik-baik saja. Ah, rasa bersalah menyelusup dadaku.
“Dengar, Nak. Bapak dan almarhumah Emakmu tidak pernah melarang kalian untuk menyampaikan aspirasi atau menyerukan kebenaran jika memang ada hal salah yang harus diluruskan. Tapi jika yang kau lakukan itu lebih merugikan banyak pihak, maka tidak usahlah, Nak. Banyak hal penting yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan, sebab kita bukanlah kaum yang semudah itu mendapatkan uang.”
Aku mengangguk mengiyakan. Bapak memang benar. Kemiskinan sudah lama meringkus hidup kami. Bapak yang setiap hari harus menjajakan camilan di lampu merah jalanan demi menghidupi rumah tua di sudut jalan yang dinding-dindingnya sudah merapuh. Rumah tua di sudut jalan yang setiap akhir bulan lampunya hanya benderang di ruang tengah dan di teras, sebab bapak tidak sanggup melunasi jika semua ruangan diberi penerangan.
Terngiang ucapan Mang Egi siang tadi. “tapi mereka tidak sepenuhnya benar, Hiko. Pun, jika mereka meneriakkan kebenaraan dan keadilan, namun di saat yang sama mereka berbuat tidak adil kepada mereka yang terganggu oleh keributan, kepada mereka yang terpaksa terlambat karena jalan tutup, kepada mereka yang sumber penghasilannya dari jalanan, …”
Ya Allah … Bukankah itu kak Rijal ? Bukankah itu Kak Hotap ? Bukankah itu bapak ? Contoh nyata yang bisa kulihat sendiri. Aku menahan sesak yang tiba-tiba menghampiri. Kutatap bapak dengan perasaan mendalam. Sebutir air mata tiba-tiba jatuh dari pelupuk mata. Aku memeluk bapak, erat sekali. Menangis sejadi-jadinya di bahunya yang ringkih.
***
Senja mulai merona. Lelaki itu berjalan pulang sembari menenteng tas kayu tempat meletakkan jualannya yang kini sudah kosong. Bersyukur sekali jualannya cepat laku sehingga ia bisa pulang lebih awal hari ini, meski ia harus berjualan di tempat lain lagi setelah jalan-jalan semakin banyak dikuasai oleh para demonstran.
Lelaki itu mungkin belum tahu. Di rumah tua di sudut jalan sana, ada doa dari sang bapak yang berhasil menembus bumantara, dari sang kawan yang merasa terdzolimi dan gagal meraih cita-cita, dan dari sang adik yang hari ini telah mengetahui seluruh cerita.
Dialog Fakta dan Fiksi dalam Cerpen “Kebenaran yang Temaram”
Oleh: M. Adioska, S.S., S.Pd., M.Pd.
(Anggota FLP Sumtara Barat)
Keterlibatan mahasiswa dalam pergolakan politik ataupun gonjang-ganjing pemerintahan Indonesia bukanlah hal yang baru. Dikutip secara bebas dari historia.id, secara ringkas dapat dilihat “keterlibatan” tersebut. Bermula pada tahun 1908 mahasiswa Indonesia mendirikan Boedi Utomo sebagai wadah pemikiran kritis dengan misi utama untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan menuntut terselenggaranya pendidikan di kalangan rakyat anak negeri. Berlanjut di tahun 1966, mahasiswa kembali menunjukkan aksinya akibat dari centang prenangnya pemerintahan disebabkan oleh ketidakpastian pemerintahan setelah peristiwa G30S. Masa itu, mahasiswa mendatangi gedung Sekretariat Negara untuk menuntut pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora dan penurunan harga sembako. Demo besar selanjutnya berlangsung pada 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan istilah Malari. Dalam aksi kali ini mahasiswa memprotes besarnya investasi Jepang di Indonesia. Hingga akhirnya unjuk rasa ini berujung kerusuhan. Selanjutnya, pada tahun 1998, mahasiswa kembali menujukkan aksinya dengan menuntut reformasi. Tuntutan ini sedikit mereda ketika Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Itulah kira-kira secara ringkas gambaran demonstrasi besar yang pernah dilakukan mahasiswa di negara ini. Kisah demonstrasi baik mahasiswa maupun buruh di Indonesia tidak selesai sampai di sini. Demonstrasi terus bermunculan hingga saat ini sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil pemerintah.
Kreatika edisi kali ini menyajikan sebuah cerpen dengan judul “Kebenaran yang Temaram”. Sesuai dengan pembahasan di atas, cerpen ini mengambil latar cerita berupa unjuk rasa atau demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Dengan latar tersebut, penulis mengembangkan ceritanya hingga menjadi sebuah cerita yang utuh sehingga menjelmalah sebuah fiksi, bukan lagi sebuah fakta.
Jamal D. Rahman (2011) mengungkapkan bahwa karya sastra seringkali -jika bukan selalu- merupakan dialog antara fakta dan fiksi, antara kenyataan dan rekaan, antara kejadian dan imajinasi. Dalam pernyataan tersebut, Jamal D. Rahman menggunakan istilah “dialog” untuk menghubungkan antara karya sastra dengan dunia nyata. Artinya, dalam sebuah dialog dapat dipastikan terjadinya komunikasi yang intens, terdapat keterhubungan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Keduanya tak perlu dipilah secara tegas. Keduanya telah berpilin dan berkelindan. Ia menjadi satu cerita tersendiri yang utuh, yang “terpisah” dari kisah nyata sebagai sumber inspirasinya. Sebagai karya sastra, ia telah menjadi fiksi. Hingga pada ujungnya terbangunlah sebuah cerita -jika tidak dapat dikatakan karya sastra- yang apik, dan menarik serta memiliki ikatan erat dengan konteks yang terjadi dalam masyarakat.
Tokoh yang terlibat dalam cerpen ini antara lain Bapak, Mang Egi, Kak Hotap dan Kak Rijal, serta Hiko si tokoh Aku yang berperan sebagai tokoh utama. Melalui percakapan antar tokohnya, penulis menjabarkan tentang dampak negatif aksi unjuk rasa bagi masyarakat kalangan bawah.
“Tapi mereka tidak sepenuhnya benar, Hiko. Pun, jika mereka meneriakkan kebenaran atau keadilan, dan di saat yang sama mereka berbuat tidak adil kepada mereka yang terganggu oleh keributan, kepada mereka yang terpaksa terlambat karena jalan tutup, kepada mereka yang sumber penghasilannya dari jalanan, kepada mereka yang sakit akibat asap-asap yang diciptakan, kepada mereka yang fasilitas rumahnya ikut dirusaki? Apakah hanya karena mereka memperjuangkan kebenaran, mereka bisa lantas disebut sebagai yang paling benar? Kau harus melihat hal dari berbagai sisi, Hiko. Lihatlah, kau bahkan terlambat pulang karena kita mengambil jalan yang lebih jauh. Hal ini mungkin tidak terlalu meresahkan kau, Nak. Tapi pernahkah kau berpikir, di luar sana bisa saja ada ambulance atau taksi bandara, atau kendaraan yang memang harus segera sampai tujuan. Terlambat satu detik saja, risikonya akan besar sekali”
Tidak hanya mengakibatkan hal yang buruk bagi masyarakat awam, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dalam cerita ini juga diceritkan berdampak negatif terhadap cita-cita luhur anak bangsa yang terwakili oleh tokoh Kak Rijal. Kak Rijal diceritakan sebagai anak yang hebat dan berprestasi yang akan menjelajahi Eropa guna mencapai mimpinya. Sayang, cita-citanya harus kandas hanya karena jalan ditutup oleh para demonstran.
Deskripsi tentang dampak negatif sebuah unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa tersebut berhasil diceritakan dengan baik dan mengalir oleh penulis. Selain itu, dengan cerdiknya penulis tidak memberikan gambaran mendetail tentang demonstrasi yang ia ceritakan. Penulis tidak mencantumkan di mana demonstrasi itu berlangsung, apa tuntutannya, atau kejadian pendukung lainnya. Artinya, tanpa embel-embel tersebut secara tersirat penulis ingin menyampaikan bahwa demonstrasi seperti dalam cerita ini dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Dengan cara ini sekaligus penulis berhasil menitikberatkan fokus penceritaan terhadap dampak negatif sebuah demontrasi itu sendiri.
Maka jelaslah, demonstrasi yang marak terjadi di negeri ini menjadi sumber fakta dalam cerpen ini. Lantas, melalui proses kreatif sang penulis, fakta tersebut dipadukan dengan khayalan, rekaan, imajinasi, atau istilah apapun namanya sehingga menjelmalah sebuah karya yang seutuhnya terlepas dari sumber kenyataan. Di sisi lain, bagi karya itu sendiri, terlahirlah sebuah cerita yang “berisi” dan mengandung nilai-nilai yang mudah dicerna oleh pembaca awam sekalipun.
Selain berhasil menstranformasikan fakta menjadi fiksi dalam proses kreatifnya, hal menarik lain dari cerpen ini terlihat dari pembukaannya yang langsung menuju ke masalah inti yang ingin diceritakan. Tanpa berbelit-belit dengan mukadimah pembuka, penulis langsung menggambarkan suasana tentang demonstrasi yang akan menjadi masalah utama dalam cerita ini nantinya.
Gerimis tak pernah turun bulan ini. Pantas saja suasana kota begitu panas hari itu. Ditambahi lagi dengan adanya demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang terjadi belakangan ini. Mereka membawa toa, spanduk-spanduk, kertas-kertas besar dengan tulisan-tulisan yang juga besar dan banyak tanda serunya, membakar ban-ban. Panas bukan saja berada di atas kepala, namun juga di dalam sanubari para pemuda.
Gaya pembuka cerita seperti memberikan kesan yang menarik sekaligus menantang baik dari posisi pembaca maupun dari sudut penulis. Menarik, karena pembukaan dengan gaya ini akan menimbukan rasa antusias pembaca tentang apa yang akan terjadi pada lanjutan ceritanya, lantaran masalah utama sudah “terlanjur dibocorkan” di awal cerita. Menantang, karena penulis harus mampu mengembangkan cerita semenarik mungkin berdasarkan masalah utama yang disampaikan sejak awal penceritaan. Dan, dalam cerita ini, penulis tampaknya tidak mengecewakan.
Namun disisi lain, menulis sebuah cerpen yang baik tidak hanya melulu tentang memadukan fakta dan fiksi, tidak juga selalu mengenai pembukaan cerita yang menarik, tapi lebih dari itu. Menulis cerpen melibatkan berbagai macam unsur yang terkandung didalamnya, baik itu unsur cerita yang senantiasa dipelajari di sekolah, maupun unsur tersirat lain yang turut mempengaruhi “rasa” dalam cerita tersebut. Salah satu di antara unsur tersebut adalah logika bercerita. Logika bercerita diartikan secara bebas sebagai penalaran secara umum yang berlaku dan menjadi common sense dalam sebuah cerita. Dalam cerpen “Kebenaran yang Temaram” terlihat kejanggalan yang menimbulkan sedikit kebisingan dalam pikiran pembaca jika dihubungkan dengan logika bercerita. Dalam cerita ini dikisahkan tentang tokoh utama Si Hiko yang belum mengerti tentang keadilan dalam menjalani hidup, terutama yang berhubungan dengan adanya kejadian unjuk rasa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Seiring berjalannya waktu, ketika meyaksikan akibat negatif dari demonstarsi dalam keluarganya sendiri, ditambah penilaian-penilaian yang ia dengar dari masyarakat -dalam hal ini diwakilkan oleh tokoh Mang Egi-, ia akhirnya ia berhasil menyimpulkan dan memunculkan kesadaran sendiri tentang tantangan hidup dari berbagai kalangan masyarakat akibat dari demonstrasi mahasiswa yang katanya memperjuangkan kebenaran. Tidak ada yang salah kiranya dengan cerita dan perjalanan kesadaran seperti itu namun satu hal yang terlupa adalah bahwa dikatakan si Hiko adalah seorang bocah yang masih kelas lima SD. Rentang usia kelas lima SD secara umum baru sekitar 10-11 tahun.
Secara teori, Piaget (dalam Wilis, R., 2011), seorang psikolog asal Swiss yang berkontribusi besar terhadap pemahaman perkembangan kognitif anak mengusulkan empat tahapan perkembangan kognitif. Salah satunya adalah tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun). Pada tahapan ini, Piaget menyatakan bahwa seorang anak cukup dewasa untuk menggunakan pemikiran atau pemikiran logis, tapi hanya bisa menerapkan logika pada objek fisik. Artinya, perkembangan kognitif anak pada tahap ini baru bisa menghubungkan dan atau memikirkan hal-hal yang nyata terhadap benda nyata pula. Pada tahap ini, mereka belum bisa berpikir secara abstrak apalagi memunculkan kesadaran-kesadaran yang begitu mendalam tentang sebuah kejadian. Di sisi lain, jika menalar secara bebas pun rasanya juga masih kurang terterima di akal, di mana anak usia sekolah dasar sudah mampu menyimpulkan dan membawa kesadaran-kesadaran mendasar tentang sekerat arti kehidupan yang sedang ia alami.
Terlepas dari pembahasan di atas, cerpen “Kebenaran yang Temaram” berhasil menawarkan dan memberikan sudut pandang lain dibalik terjadinya sebuah demonstrasi. Barangkali, itu pula yang menjadi tujuan penulisnya agar masyarakat memperoleh pemahaman dan keasadarn bahwa tidak semua tindakan demonstrasi itu mendatangkan kebaikan. Justru yang paling dirugikan adalah masyarakat kelas bawah. Selamat kepada penulis, ditunggu karya berikutnya.
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com
Discussion about this post