Pada Hari Benci dan Cinta
Cerpen: Oli Novedi Santi
Jika cinta tidak bisa berbicara
Biarkan hati yang mengatakannya
Jangan biarkan mulut memaksa
Ijinkan saja Sang Pemilik berkata
***
Matahari siang sedang garang menyerang di atas kepala Ezy tapi tidak membuatnya menyerah. Tekad bulat membara dihati. Hari ini juga harus bertemu abangnya. Sudah dua hari semua tempat yang sering dikunjungi abang didatanginya. Tetapi hasilnya nihil. Baru tadi pagi dia mendapat informasi kalau ada yang melihat abang Ezy disekitar kos-kosan temannya.
Perjalanan dua kali angkot ditambah jalan kaki lima belas menit pun dijalani Ezy sampai dia bisa bertemu Alpin, abangnya.
“Kenapa kamu ke sini?” suara tegas Alpin tak membuat gentar tekad Ezy.
“Abang harus pulang hari ini!” Ezy menarik tangan Alpin kuat. Segera tangan itu dihempaskan Alpin. Wajahnya tampak tidak suka. Dia kembali duduk.
“Abang!”
“Kamu itu kenapa sih? cerewet sekali,” Alpin tak beranjak dari tempatnya. “Pergi sana!” suara Alpin tidak menunjukkan belas.
“Siapa sih Al?” Tanya Dario teman Alpin.
“Udah, enggak usah dipeduliin,” kembali Alpin sibuk dengan handphonenya.
“Aku adiknya!” seru Ezy lantang. “Aku sudah susah payah mencari abang. Dua hari aku harus melihat ibu muram menunggu abang pulang. Sekarang ibu sedang demam.”
“Ibu?” senyum Alpin mengejek. “Ibu siapa yang kamu maksud, hah?” kini wajah Alpin benar-benar merah.
“Apa maksud abang? Ibu siapa? Ya ibu kita, ibu siapa lagi?”
“Ibu kita? Ibu kamu kali. Sampai kapan pun aku enggak akan pernah ngakuin dia ibu. Perempuan itu sudah membuat aku dan ayah bertengkar. Dulu kami berdua sangat dekat tapi karena perempuan tak tau diri itu, sekarang ayah tidak sayang padaku.”
“Abang jangan menghina ibu seenaknya, ibu sangat sayang padamu. Jika ayah marah padamu, ibu selalu membela. Ibu juga lebih mendahulukan keperluanmu dibandingkan aku.”
“Alah … itu kan cuma untuk mencari perhatian ayahku. Perempuan itu pandai sekali merayu orang. Dasar orang kampung!”
“Kau …!” telunjuk Ezy mengarah kepada Alpin. “Sedari tadi aku sudah sangat bersabar, kalau tidak karena permintaan ibu untuk mencarimu aku tidak akan pernah sudi melelahkan badanku sendiri mencarimu.”
“Kalau kau lelah pulang sana atau sekalian kau bawa ibumu ke tempat dimana kau seharusnya ada.”
“Kau kira aku senang dengan kehidupanku yang sekarang. Kita sama. Aku pun sebenarnya tidak sudi punya ayah baru. Tapi demi kebahagiaan ibu, aku lebih memilih menerima daripada berontak sepertimu.”
“Alah, kau dengan ibumu itu sama, menyebalkan dan enggak tau diri!”
“Terserahlah! Kau mau pulang atau tidak aku tidak peduli. Kau mau mati atau hidup terserah. Aku tidak akan mencarimu lagi.”
“Itu lebih baik. Aku juga muak melihat wajahmu. Wajah pendusta.”
Ezy berlalu dari hadapan Alpin. Sementara Dario terlihat geleng-geleng melihat Alpin menggerutu tidak karuan. Tak lama Nono, teman Alpin dan Dario datang.
“Eh kenapa nih, wajah kamu kayak yang baru ketemu sama musuh aja,” tangan Nono menunjuk wajah Alpin kemudian mencomot kerupuk di tangan Dario.
“Dia baru berantem sama adiknya.” Jawab Dario
“Sejak kapan dia punya adik?” Tanya Nono.
“Sejak tadi, aku juga enggak tahu.” Jawab Dario lagi.
“Eh iya Al, di depan gang tadi aku ketemu sama cewek yang kamu incer. Tambah cantik aja dia ya.” Nono menyikut lengan Alpin yang ada disebelahnya
“Wah, kalian punya gebetan enggak ngomong-ngomong ya.” Komentar Dario.
“Ye… itu gebetannya Alpin. Jadi ceritanya cinta diam-diam. Cewek itu dari…”
“Bisa diem enggak sih! Kepalaku sakit nih.” Belum selesai Nono dengan ceritanya, Alpin langsung memotong.
“Eh, ngomong-ngomong Al, sampai kapan kamu tinggal di sini?” Tanya Nono.
“Sampai aku bosan!” Alpin asal menjawab.
“Aku pikir kamu sebaiknya pulang Al, kasihan juga adik kamu tadi. Sepertinya dia sedih sekali.”
“Ah, memang aku pikirin!”
***
Tergambar penyesalan di wajah Alpin. Pemuda tampan itu tidak menyangka bahwa kemarahannya membawa petaka pada ibu. Kecelakaan di hari dia memaki-maki ibu tak pernah terbayang olehnya. Di Rumah sakit ini dia memilih duduk menjauh dari kamar ibu. Sesekali dia tertunduk kemudian berdiri, mondar-mandir gelisah. Sudah dua hari ibu belum juga bangun.
Terbayang kembali ingatan tentang bagaimana ibu datang kepadanya. Dengan permohonan supaya dia pulang. Tapi ditentangnya habis-habisan dengan sumpah serapah. Ibu tidak marah, malah masih bisa berkata lembut. Itu membuatnya jijik karena merasa itu hanya untuk membuatnya luluh. Dia sangat membenci ibu yang telah merebut ayahnya.
Kemudian terngiang kembali kata-kata ayah. Ayah tidak marah tapi ada penekanan kata-kata di sana.
“Kadang kita harus paham, kepada siapa benci kita tujukan dan kepada siapa amarah kita luapkan. Pikirkan dulu, baru emosi berbicara. Jangan sampai salah. Ibu adalah ibu kandungmu. Sebenarnya yang telah merebut ayah adalah perempuan yang selama ini kau anggap mama. Ayah telah pergi dari ibumu bertahun-tahun yang lalu karena tergoda oleh mama. Ayah dan ibu akhirnya berpisah. Ibu membawa ezy dan ayah membawamu. Waktu itu kau masih sangat kecil untuk bisa mengerti. Baru beberapa bulan lalu ayah bertemu ibu kembali. Kebaikannya tidak berubah. Ayah jatuh cinta lagi pada ibumu dan perasaan itu diterima. Makanya kami memutuskan untuk menikah dan sungguh, ibumu menikah lagi bukan karena cinta dengan ayah tapi ingin dekat denganmu. Ibu merasa bersalah. Ibu ingin memberikan kasih sayang penuh untukmu.”
“Kenapa ini tidak diceritakan sebelumnya?”
“Ibu tahu bagaimana sayangnya kamu pada mama, lagi pula berat baginya untuk menceritakan bagaimana kegagalan pernikahan kami dulu. Jadi, dia meminta ayah untuk tidak menceritakan tentang itu dulu. Dia ingin secara perlahan-lahan seiring waktu berjalan, tetapi ternyata kamu keras kepala.”
Alpin masih mondar mandir gelisah. Hatinya sakit. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa dia harus membenci ibu? padahal ibu sudah berusaha baik padanya. Kenapa juga ibu mau menikah lagi dengan ayah? Padahal, ayah sudah mengkhianatinya. Kalau hanya untuk bertemu dengannya ibu bisa bilang pada ayah untuk bertemu dengannya. Dan kenapa juga dia harus menyukai Ezy yang ternyata adik kandungnya sendiri. Andai saja dia tidak menyukai Ezy dia tidak akan begitu sakitnya ketika tahu ibu menikah dengan ayah.
“Ah …!” Alpin mengacak rambutnya sendiri.
“Abang … kenapa gelisah disini.” Tiba-tiba Ezy sudah duduk di sebalah Alpin.
“Kamu … sejak kapan tau kalau aku abang kandungmu?”
Ezy tak menjawab tanya Alpin segera. Ia sedang berpikir. Kata terbaik untuk menjawabnya.
“Yah, jawab gitu aja lama sekali.”
“Ehm …, itu sebenarnya … bukan abang saja yang kesal tentang pernikahan ibu dengan ayah. Aku juga mulanya enggak setuju karena …” kata-kata Ezy menggantung.
“Karena apa?”
“Ehm …, sebenarnya aku dulu suka sama abang,” pipi Ezy memerah. Dia malu sekali. “Tapi sekarang udah enggak kayak dulu kok!” Ezy berusaha menjelaskan perasaannya dengan menggerak-gerakkan tangan menidakkan. “Beneran, sekarang aku menganggap abang ya abangku. Jadi, enggak ada perasaan lagi.”
Alpin senyum melihat tingkah adiknya.
“Jadi sebenarnya dulu aku dan teman-teman gangku taruhan. Siapa yang dapetin abang bisa dapet makan siang gratis selama seminggu.”
“Oh gitu, jadi abang dijadiin taruhan ya, wah … kebangetan kamu,”
Ezy garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia malu sekali.
“Nah, berarti kamu sekarang dapet makan siang gratis dong …”
“Apaan yang ada aku malah jadi kurir. Teman-teman pada titip salam buat abang”
“Wah … senang dong kamu punya abang ganteng.” Alpin mengacak-ngacak rambut Ezy. Mereka tertawa bersama. Tiba-tiba Alpin teringat ibu.
“Eh, kita tertawa sementara ibu masih sakit,”
“Tenang … ibu udah siuman kok, sekarang ibu ditemani ayah. Makanya Ezy keluar. Ezy melirik jam di tangannya. Sekarang, rasanya kita sudah bisa masuk.” Ezy menggandeng tangan abangnya. Mulanya, Alpin merasa canggung, tapi akhirnya dia pasrah. Toh, adik kandungku sendiri, pikirnya. Ada senyum tersimpan di bibir Alpin.
Biodata Penulis:
Oli Novedi Santi, lahir di Tebing Tinggi 12 November 1982. Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Serdang Bedagai Sumatera Utara. Karyanya telah terbit di beberapa media cetak dan elektronik. Untuk bersilaturahmi silakan berkunjung ke IG @olinovedi atau @olive_ismail82.
Resepsi Sastra dan Karya-Karya yang Menginspirasi dan Terinspirasi
Oleh: Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat
dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta.)
Imran T. Abdullah dalam artikelnya berjudul “Resepsi Sastra Teori dan Penerapannya” yang dimuat dalam Jurnal Humaniora, Nomor 2 tahun 1991 menyampaikan bahwa resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik-tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan terhadap teks. Abdullah juga menyampaikan bahwa pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu, dan golongan sosial budaya. Hal itu berarti bahwa karya sastra tidak sama pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya sepanjang masa atau dalam seluruh golongan masyarakat tertentu.
Lebih jauh, Abdullah menyampaikan bahwa secara teoretis dalam memberikan tanggapan terhadap karya sastra, pembaca diarahkan oleh horizon harapan (horizon of expectation). Horison harapan ini merupakan interaksi antara karya sastra dan pembaca secara aktif, sistem atau horison harapan karya sastra di satu pihak dan sistem interpretasi dalam masyarakat penikmat di pihak lain. Menurut Jauss (1975) seperti yang dikutip Abdullah (1991), horison harapan karya sastra yang memungkinkan pembaca memberi makna terhadap karya tersebut, sebenarnya telah diarahkan oleh penulis lewat sistem konvensi sastra yang dimanfaatkan dalam karyanya.
Konsep kedua dalam resepsi sastra selain horison harapan adalah tempat terbuka. Tempat terbuka merupakan konsep dasar untuk memahami resepsi sastra. Konsep ini merujuk pada Wolfgang Iser tentang konsep efek (wirkung), yaitu cara sebuah teks mengarahkan reaksi pembaca terhadapnya. Menurut Iser (1975) seperti yang dikutip Abdullah (1991) sebuah teks sastra dicirikan oleh kesenjangan atau bagian-bagian yang tidak ditentukan.
Penerapan metode resepsi sastra berdasarkan paparan di atas dapat dirumuskan ke dalam tiga pendekatan: pertama, penelitian resepsi sastra secara eksperimental, kedua, penelitian resepsi sastra melalui kritik sastra, ketiga, penelitian resepsi sastra intertekstualitas. Selain itu bentuk-bentuk respon pembaca terhadap karya yang dibaca adalah bagaimana karya sastra menjadi inspirasi bagi pembaca untuk menghasilkan karya yang baru.
Karya yang Menginspirasi dan Terinspirasi
Pada Kreatika edisi minggu ini, redaksi menurunkan sebuah cerpen berjudul “Pada Hari Benci dan Cinta” karya Oli Novedi Santi, salah seorang Pegawai Negeri Sipil di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Membaca karya Oli Novedi Santi ini mengingatkan saya pada Novel Kemarau karya sastrawan senior Sumatera Barat AA. Navis. Walaupun saya tidak yakin Oli pernah membaca Novel Kemarau, tapi sebagai pembaca saya melihat ada keterkaitan (intertekstualitas) pada dua karya tersebut. Keterkaitan antara kedua karya tersebut adalah adanya kesamaan tema yang diusung dalam cerita.
Novel Kemarau mengisahkan cerita Sutan Duano seorang petani yang mencoba melawan kebiasaan masyarakat bermalas-malasan dalam menerima nasib mereka. Ketika musim kemarau panjang datang, para petani semakin merasa berputus asa. Sawah dan ladang mereka sangat kering dan cuaca panas sangat menyengat tubuh. Keadaan itu membuat mereka tidak lagi mau menggarap sawah atau mengairi sawah mereka. Mereka hanya bermalas-malasan dan bermain kartu. Namun, Sutan Duano berusaha keras mengairi sawahnya dengan mengangkat air dari danau ke sawah-sawah yang kering.
Singkat cerita, untuk melihat keterkaitan cerita dengan cerpen “Pada Hari Benci dan Cinta”, kita langsung pada bagian di mana Sutan Duano harus pergi meninggalkan kampung halamannya ke Surabaya karena ada telegram dari anaknya. Dengan berat hati Sutan Duano pergi ke Surabaya untuk mengunjungi anaknya yang sudah menikah di Surabaya. Sesampai di Surabaya, anaknya memperkenalkan Sutan Duano kepada istri dan mertuanya.
Sutan Duano kaget ketika tahu mertua anaknya adalah Iyah, mantan istrinya. Sutan Duano marah kepada Iyah karena telah menikahkan dua orang yang bersaudara. Karena marahnya itu, Sutan Duano mengancam akan memberitahukan kepada Masri dan Arni. Namun, Iyah berusaha menghalanginya dengan memukul kepala mantan suaminya itu dengan sepotong kayu. Kalau saja Arni tidak menghalanginya, kemungkinan besar Sutan Duano tidak akan selamat. Melihat mantan suaminya bersimbah darah, Iyah merasa menyesal kemudian ia memberitahukan kepada Arni bahwa Sutan Duano adalah mantan suaminya. Betapa terkejutnya Arni mendengarnya. Ia kemudian menceritakan hal itu kepada Masri, sehingga mereka sepakat berpisah.
Novel Kemarau hadir pada zamannya dan sesuai dengan situasi zaman ketika itu. Peristiwa dalam cerita Kemarau ini (kawin sedarah antara dua saudara yang terpisah) tidak akan terjadi pada masa sekarang di mana teknologi informasi sudah berkembang. Masri, anak kandung Sutan Duano dan Iyah menikah dengan adiknya sendiri karena pada waktu itu tidak ada media informasi yang memungkinkan komunikasi seperti sekarang ini. Oleh sebab itu, sebagaimana yang saya sampaikan di atas, kisah ini tidak akan pernah terulang dalam latar waktu yang sudah maju ini.
Akan tetapi, apakah tema besar dalam cerita itu bisa ditulis pada zaman modern seperrti sekarang ini? Inilah yang terjadi dalam cerpen “Pada Hari Benci dan Cinta” karya Oli Novedi Santi. Cerpen ini mengangkat tema besar yang hampir sama dengan cerita Kemarau karya AA. Navis. Kisah ini tentang perasaan cinta antara saudara kandung yang terpisah karena kondisi keluarga. Tokoh Ezy merupakan seorang perempuan muda, pada awalnya menyukai Alpin. Namun, akhirnya kedua orang ini menjadi bermusuhan setelah kedua orang tua mereka menikah. Ezy yang hidup bersama ibunya yang janda, sementara Alpin hidup bersama ayahnya yang duda.
Pada cerpen “Pada Hari Benci dan Cinta” ini penulis selanjutnya bercerita bahwa Alpin sebenarnya marah pada pernikahan ayahnya dan ibu Ezy karena sebenarnya dia mencintai Ezy, tapi mereka akhirnya menjadi bersaudara karena pernikahan duda dan janda itu. Seiring perjalanan cerita penulis menceritakan bahwa Ezy sebenarnya juga marah atas penikahan itu, karena sebenarnya dia juga mencintai Alpin secara diam-diam.
Bukan hanya kejutan-kejutan kecil itu namun kejutan terbesar yang dirahasikan ayah Alpin adalah bahwa sebenarnya ibu tiri yang dibencinya itu adalah ibu kandungnya. Ayah bercerita bahwa dulu ia selingkuh dengan perempuan yang kemudian dianggap mama oleh Alpin. Padahal, dari penikahan itu ia sudah memiliki dua anak yaitu Alpin dan Ezy. Karena orang ketiga, keluarga kecil itu akhirnya terpisah. Alpin sebagai anak laki-laki ikut ayahnya, Ezy sebagai anak perempuan ikut ibunya.
Seiring perjalanan waktu, Alpin menjalani hidup dengan mama barunya yang sudah dianggap ibu kandungnya hingga pada suatu waktu takdir mengatakan bahwa ayahnya harus berpisah dengan istri mudanya. Kemudian, menikah kembali dengan istri pertamanya (ibu kandung Alpin dan Ezy). Begitulah cerita yang pendek ini karena keterbatasan ruang cerita ini seolah-olah tidak lengkap dan tidak masuk akal.
Tidak masuk akalnya adalah apakah dalam zaman modern ini, komunikasi begitu tertutupnya dalam keluarga Alpin sampai ia tidak mengetahui siapa ibu kandungnya? Apakah dia tidak punya saudara yang bisa menceritakan masa lalunya? Apakah mama tirinya begitu bisa menyimpan rahasia besar hidup Alpin itu? Dan berbagai pertanyaan lainnya.
Intinya, cerpen ini berakhir bahagia dengan terbukanya tabir gelap dalam hidup Alpin dan Ezy. Mereka harus menerima kenyataan bahwa sebenarnya mereka adalah saudara kandung walau sebelumnya saling mencintai. Alpin dan Ezy juga harus menerima bahwa orang tua tiri yang sebenarnya adalah orang tua kandung mereka.
Terkait dengan resepsi sastra, khususnya intertekstualitas karya sastra, Novel Kemarau sebagai karya yang sudah terbit terlebih dahulu bisa dikatakan merupakan inspirasi bagi lahirnya cerpen “Pada Hari Benci dan Cinta”. Namun, seandainya penulis belum pernah membaca novel Kemarau, bagaimana persoalannya? Inilah yang banyak diperdebatkan dalam karya kreatif seperti karya sastra dan film. Ada tema-tema besar yang bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang dalam berkarya. Tema-tema besarnya pada dasarnya abadi sepanjang masa, namun hadir dalam bentuk yang berbeda.
Tema kasih tak sampai contohnya, hadir dalam Romeo dan Juliet, dalam bentuk lain juga hadir dalam kisah Qais dan Laila atau dalam masyarakat Indonesia hadir dalam bentuk kisah cinta Siti Nurbaya dan Samsul Bahri. Dengan kesamaan tema itu, apakah penulisnya saling menyontek? Atau salah satu dari mereka melakukan plagiat ide cerita? Kita tidak bisa menilai secara sederhana seperti itu. Resepsi sastra, kemudian bagaimana keterkaitan antara teks sastra yang satu dengan yang lainnya (intertekstualitas) barangkali cara yang tepat untuk menjelaskan persoalan-persoalan tersebut. Mengingat keterbatasan ruang dalam rubrik ini, semoga saja lain waktu kita bisa membicarakannya dalam tulisan yang berbeda. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post