Di Piring Resepsi
Cerpen: Zikra Delvira
Lorong di kawasan pertokoan itu makin lengang. Beberapa penjaga toko nampak sudah mulai menyimpan barang dagangan, sebagian lagi menyapu-nyapu. Meski di kejauhan, jalan raya justru ramai suara lalu lalang kendaraan. Begitupun dengan gerobak-gerobak makanan kaki lima yang mulai didatangi pembeli.
Sementara itu, di sebuah toko alat pertanian, seorang laki-laki sedang duduk. Ia tampak menunggu seseorang. Karyawan yang bekerja padanya sudah pulang sepuluh menit yang lalu meski dengan perasaan kurang enak hati karena pulang lebih dahulu darinya.
“Sudah, kau pulang saja. Aku masih menunggu temanku di sini,” begitu kata laki-laki itu hingga kemudian karyawannya beranjak dan menghilang di lorong pertokoan menuju tempat parkir motor. Lelaki itu menggeliat, merenggangkan pinggangnya, lalu melirik jam di layar ponsel. Seharusnya temannya sudah sampai. Atau bahkan seharusnya mereka tak melakukan janji pertemuan di toko kecilnya, melainkan di kedai kopi.
“Hei Zal, hehehe. Tadi ada yang perlu diselesaikan dulu di kantor,” bagitu tiba-tiba sapaan seorang laki-laki berseragam yang berumur sepantaran dengannya. Di dadanya ada papan nama bertuliskan ‘ADRI’. Seorang pegawai di salah satu dinas pemerintahan di kota mereka.
“Nah ini, makan,” ujar Adri sambil meletakkan satu kantong kue bika.
Zal alias Rizal, lelaki pemilik toko tadi, menoleh ke kantong kue bika dan mengambilnya satu.
“Mana Iwan?” tanya Adri lagi. Ia juga mencomot satu kue bika, dan menggigitnya.
“Iwan sudah pulang. Duduklah kalau kau makan. Tak baik makan sambil berdiri,” kata Rizal lalu menarik kursi ke arah kawannya.
“Ah, ya ya. Sunnah nabi, aku lupa.”
“Hmm, jadi bagaimana Ad?” tanya Rizal.
“Apanya yang bagaimana? Bikanya? Enak,” jawab Adri masih dengan tenang mengunyah.
“Argh, aku menunggu kau pulang kantor bukan untuk mengetahui bahwa bika Etek Mar ini enak!” sergah Rizal. Adri terkekeh-kekeh, untung saja ia tak tersedak.
“Hahaha, sebentar sebentar, kuhabiskan dulu satu ini. Lagipulau kau aneh sekali, menanyakan tentang itu bisa di WhatsApp. Mengapa perlu pula bertemu seperti ini,” ujar Adri lalu kembali nikmat mengunyah potongan terakhir bika di tangannya.
“Nah begini, jadi aku sudah tanya pada Teta. Perempuan yang bersamanya kemarin dan tak sengaja bertemu denganmu itu, kawan SMA Teta. Namanya Arini Mawardi. Kini bekerja di kantor CV. Abdi Setia Dharma. Ia belum menikah,” kata Adri lalu kembali mengambil kue bika yang kedua. Sebenarnya ia memang tak membelikan itu untuk Rizal, melainkan karena ia sendiri yang tergiur saat melihat bika yang tersusun di balik kaca gerobak Etek Mar.
Saat Rizal yang mendengar perkataan Adri, ia justru tersenyum simpul. Hatinya senang mendengar kalimat terakhir Adri. Kemarin, ia bertemu dengan Teta, istri Adri. Saat itu, Teta sedang bersama dengan seorang gadis manis dan santun. Setidaknya begitu penilaian dan kesan pertama bagi Rizal.
Berkat kesan yang didapatnya itu, membuat Rizal tertarik. Lagipula ia kini juga sedang dalam ikhtiar mendapatkan jodoh. Yah, paling tidak bisa saling mengenal dulu. Adri dan Teta tentu dapat membantu.
“Jadi kapan kami bisa bertemu?” tanya Rizal, dengan sumringah senyum di wajahnya.
“Kenapa begitu tergesa-gesa? Arin bahkan belum dikabari. Hmm, sabar sabar. Nantilah diatur,” tanya Adri, kini ia sedang menghabiskan bika yang ketiga.
“Niat baik perlu disegerakan bukan. Nah, kau lihat orang itu?” tanya Rizal menunjuk pada seorang ibu-ibu yang berdiri di depan toko kasur.
“Dia hendak membeli, namun dia terlambat karena tokonya baru saja dikunci oleh pemiliknya. Begitu juga aku. Mana tahu ternyata ada orang lain yang punya niat baik untuk Arin? Aku tidak boleh terlambat,” ujar Rizal.
Adri melenguh, “Mengapa kau pakai analogi pembeli toko kasur segala?”
“Ya analogi yang tepat kan. Ayolah kau bantu aku,” Rizal mendesak.
“Nanti kuatur dulu dengan Teta, hmmm,” Adri memang tak begitu berminat soal jodoh-menjodohkan orang.
“Kau tahu Diki akan menikah Hari Minggu? Kau dapat undangannya?” tanya Rizal akhirnya, mengungkit satu per satu kawannya yang akan segera menikah. Bulan ini ia dibanjiri undangan pernikahan oleh lima orang.
“Aku melihat undangannya di grup WA kelas SMA. Tak perlu pakai undangan konvensional dalam bentuk kertas seperti dulu, lebih irit,” ujar Adri.
Tanpa perlu bertanya, Rizal sudah tahu Adri akan ke resepsi dengan Teta. Sementara itu, ia bersama teman-temannya sekelas semasa SMA dulu yang juga masih membujang. Ia berjanji untuk berkumpul pada jam tiga sore. Waktu telah menjelang pukul enam sore, mereka akhirnya beranjak. Rizal menutup tokonya dan mereka berjalan melewati lorong pertokoan.
***
Hari Minggu menjelang pukul tiga sore, Rizal mengenakan setelan batik dan celana panjang gelap. Ia nampak lebih gagah dari biasanya. Bunyi talempong terdengar dari gedung resepsi. Rizal sudah melangkah masuk jika tak dihentikan oleh suara seseorang. Ia menoleh, dan didapatinya Gina yang juga teman sekelasnya dulu, berjalan ke arahnya. Gina berjalan beriringan dengan seorang perempuan, yang nampak cantik dengan abaya coklat pastel.
“Arin?” ujar Rizal.
“Ah, kita bertemu lagi. Kau tahu namaku?” Arin tersenyum. Ia ingat pada Rizal meski belum tahu namanya..
“Iya, kita belum berkenalan waktu itu. Aku Rizal.”
“Hei anak muda, kau tak menyapaku?” Gina menegur Rizal, namun ia sendiri geli melihat ekspresi Rizal yang terperanjat saat melihat Arin.
“Ah, hai Gina. Mengapa bisa datang bersama Arin?”
“Mengapa tidak? Kami tetanggaan.”
Mungkin, ia dan Arin memang berjodoh? Atau minimal lebih mengenal Arin. Dengan semua kebetulan ini, ia bahkan bertemu dengan perempuan yang menarik perhatiannya selang hanya dalam waktu empat hari. Meski sedikit gugup, Rizal akhirnya memutuskan untuk mendampingi Arin dan Gina. Lagipula kawan-kawan bujangnya yang lain belum tiba. Musik talempong yang tadinya sayup-sayup kini terdengar nyaring. Mereka mengantri prasmanan bersama dan duduk semeja. Kawan-kawan bujangnya sudah tiba, namun Rizal hanya melambaikan tangan pada mereka.
“Arin kenal Diki di kampus?” tanya Rizal, mencoba mencari topic sambil menghabiskan makanannya.
“Iya, kita sejurusan dulu. Dia pintar,” jawab Arin.
Rizal bersyukur ada Gina di sana, sehingga ia tak terlalu canggung berbincang dengan Arin. Mereka berbicara tentang Diki, tentang masa sekolah, dan tentang apa yang bisa menjadi pembicaraan bagi mereka berempat.
“Makanannya tak dihabiskan?” tanya Rizal. Dilihatnya piring Arin masih ada setengah nasi dan potongan lauk dan sayur yang tak dihabiskan. Sementara ia dan Gina sudah menandaskan isi piringnya
“Ah, tidak. Sudah kenyang. Aku terlalu banyak mengambil nasi, nanti malah jadi gendut,” ujar Arin.
Mereka masih melanjutkan mengobrol. Kegugupan Rizal sudah hilang sama sekali. Seorang karyawan catering meletakan piring berisi kue dan puding sebagai hidangan penutup di meja mereka. Sambil memakan kue, mereka mengobrol membahas hal-hal ringan.
Sementara itu, tiba-tiba, bahu Rizal ditepuk seseorang dari belakang. Ia menoleh. Nampak olehnya Adri dan Teta yang sedang senyum-senyum.
“Wah, kumpul di sini ya,” ujar Adri. Ia dan istrinya tak bisa bergabung di meja itu karena kursi tak cukup.
Saat menghabiskan makanannya, Adri dan Teta didatangi oleh Arin dan Gina. Mereka saling menyapa kembali sebelum akhirnya pamit pulang. Sementara itu, Rizal sudah duduk bergabung bersama kawan-kawan bujang yang sedang asyik menyantap es buah. Selesai menyalami pengantin, dan sebelum pamit pulang, Adri menyempatkan untuk bertanya pada Rizal.
“Kau sudah meminta nomornya secara langsung? Bahkan aku dan Teta tak perlu mengatur waktu untuk kalian bertemu,” bisik Adri sambil tersenyum simpul. Rizal menggeleng.
“Tak perlu. Kami sepertinya tak cocok,” ujar Rizal enteng.
“Bagaimana maksudmu?” Adri terkejut mendengar jawaban Rizal. Dua hari lalu kawannya itu begitu mendesak-desak.
“Kau bisa langsung berubah pikiran meski hanya bertemu sebentar dengan Arin? Kukira kau bertemu untuk lebih,” ujar Adri.
Rizal menggeleng. Tentu saja, ia bertemu agar mereka lebih saling mengenal dan mengetahui apakah mereka memang cocok satu sama lain. Hanya saja Rizal menyadari bahwa Arin bukan orang yang tepat untuknya. Ia terbayang masa-masa kecilnya, saat di sawah. Orang tuanya bekerja begitu keras. Mencangkul di bawah terik matahari. Rizal kecil meraba tangan ayahnya, dan dirasakan tangan itu begitu tebal karena sering memegang cangkul di sawah mereka.
“Orangtuaku petani, Ad,” ujar Rizal. Kening Adri berkerut, tak mengerti.
“Apa hubungannya?”
“Dia menyisakan setengah makanannya di piring dengan alasan takut gendut. Namun setelahnya masih bisa menyuap puding,” ujar Rizal mengangkat bahu.
“Hah?”
“Jadi, aku tak tertarik lagi dengannya. Kau tahu aku lulusan pertanian, aku membuka toko alat-alat pertanian. Terbayang olehku orangtuaku yang berpanas-panas di sawah saat melihat nasi bersisa di piringnya. Dia perlu tahu nasinya akan menjadi bagian dari 1/3 makanan di dunia ini yang terbuang percuma.”
Bunyi talempong berdengung-dengung. Sementara itu, di bagian belakang gedung, karyawan catering membuang nasi dan lauk pauk sisa yang tak dihabiskan tamu undangan ke dalam tong besar. (*)
Biodata Penulis:
Zikra Delvira lahir pada 21 Januari 1994 di Bukittinggi. Penulis dan blogger ini bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Barat sejak 2013 (NRA 014/D/003/001). Sejak kuliah, Zikra bergabung dengan pers mahasiswa Universitas Andalas. Pada 2016, ia berkesempatan untuk mengikuti pertemuan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia. Buku pertamanya terbit di tahun 2019 dengan tajuk ‘Pada Kisah dan Perjalanan’. Pernah magang sebagai jurnalis di koran lokal Posmetro Padang. Tulisan-tulisan Zikra dapat ditemui di www.zikradelvi.com.
Cerpen “Di Sepiring Resepsi” dan Kajian Ekologi Sastra
Oleh: Azwar Sutan Malaka
(Dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta)
Sejak beberapa tahun belakangan ini, Forum Lingkar Pena (FLP) mengusung sastra hijau atau sastra lingkungan sebagai genre kepenulisan mereka. Setidaknya hal tersebut sudah terlihat sejak tahun 2008 ketika FLP mengangkat tema “Sastra Hijau” sebagai tema dalam memperingati ulang tahun FLP waktu itu. Hal ini sesuatu yang menarik, karena barangkali sebagian orang melihat ada pergeseran tema karya sastra FLP dari sastra dakwah menjadi sastra lingkungan.
Saya justru melihatnya bukan pergeseran, tetapi hanya pendalaman interpretasi FLP terhadap dakwah itu sendiri. Ketika mengangkat tema-tema sastra hijau atau sastra lingkungan, artinya FLP semakin menyadari bahwa dakwah bukan hanya terkait dengan menyampaikan ayat-ayat kebenaran saja, akan tetapi dakwah juga tentang kepedulian pada semesta.
Jika dilihat dari kajian sastra, apa yang dilakukan FLP tersebut dapat dilihat dalam paradigma ekologi sastra. Asyifa dan Putri (2018) dalam tulisan mereka berjudul “Kajian Ekologi Sastra (Ekokritik) Dalam Antologi Puisi Merupa Tanah Di Ujung Timur Jawa,” menuliskan paradigma ekologi terhadap kajian sastra merupakan bentuk penerapan pendekatan ekologi dalam memandang sebuah karya sastra. Dalam pandangan ekologi, eksistensi organisme dipengaruhi oleh lingkungannya atau ada hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya. Perjumpaan konsep ekologi dan karya sastra tersebut melahirkan suatu bentuk konsep ekokritik. Ekokritik merupakan kajian hubungan antara sastra dan lingkungan fisik.
Sementara itu, Ande Wina Widianti (2017) dalam tulisannya berjudul “Kajian Ekologi Sastra Dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2014 di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon,” dituliskan bahwa sudah sejak lama alam menjadi bagian representasi dari banyak karya sastra. Alam seringkali tidak sekadar menjadi latar sebuah cerita-cerita fiksional dalam karya sastra, tetapi juga dapat menjadi tema utama dalam sebuah karya sastra.
Pemilihan diksi seperti air, pepohonan, sungai, ombak, awan, dan kata-kata lain memperlihatkan bahwa alam dimanfaatkan oleh sastrawan untuk menggambarkan latar ataupun isi yang ada dalam karya sastra itu sendiri. Begitu pula dengan pengarang novel ataupun cerpen. Alam menjadi jembatan para pengarang dan penulis karya sastra untuk menyampaikan suasana, citraan, latar, ataupun tema besar yang ada dalam karya sastra.
Adanya keterkaitan alam dengan karya sastra memunculkan sebuah konsep tentang permasalahan ekologi dalam sastra diantara para kritikus sastra. Istilah ekokritik (ecocriticism) digunakan sebagai istilah mengenai konsep kritik sastra yang berhubungan dengan alam serta lingkungan. Mengutip Harsono (2016) menyebut istilah ekokritik berasal dari bahasa Inggris ecocriticism yang merupakan bentukan dari kata ecology dan kata critic. Ekologi dapat diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubunganhubungan, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungannya. Kritik dapat diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu.
Kolom Kreatika minggu ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Di Sepiring Resepsi” karya Zikra Delvira. Zikra adalah pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat, selain mendalami karya sastra juga aktif menulis sebagai blogger. Dalam cerpen yang ia beri judul “Di Sepiring Resepsi”, Zikra menceritakan kisah Rizal, seorang lelaki dewasa yang sudah matang, siap untuk menikah. Rizal yang merupakan seorang pedagang dijodohkan oleh temannya Adri dengan seorang perempuan bernama Arin seorang karyawan swasta di kota mereka.
Pada awalnya, Rizal senang dikenalkan Adri dengan Arin. Agar Rizal dan Arin itu saling kenal, Adri mempertemukan mereka pada sebuah pesta pernikahan teman mereka. Sebagai sesama undangan, Adri mengatur agar Arin dan Rizal bisa bicara untuk saling mengenal. Sebagaimana rencana Adri, akhirnya Rizal dan Arin memang bisa saling bicara dan setidaknya saling mengenal dalam suasana pesta pernikahan itu.
Namun, hal yang sangat mengejutkan adalah penulis mengakhiri cerita dengan begitu tragis, memberi ending yang tidak diduga oleh pembaca, bahkan sebenarnya menyampaikan cara pikir Rizal yang bahkan tidak diduga oleh banyak orang saat ini. Rizal memutuskan tidak melanjutkan perjodohannya dengan Arin karena Arin menyisakan makanannya dengan alasan takut gendut. Sekilas hal itu seperti sesuatu yang biasa saja, mungkin Rizal terlalu berlebihan menilai seseorang hanya karena menyisakan makannya.
Namun, inilah keberpihakan pengarang pada ekosistem dunia saat ini. Di saat banyak orang yang menganggap membuang makanan itu hal yang biasa saja, pengarang menciptakan tokoh yang menganggap membuang makanan bukan hal biasa. Untuk membuat kehadiran tokoh seperti itu logis, pengarang menghadirkan tokoh fiktif yang berprofesi sebagai pedagang alat-alat pertanian. Selain itu, tokoh diceritakan dengan tegas adalah seorang anak petani.
Hal ini sebagaimana dilihat di akhir cerita dimana pengarang menceritakan Adri, teman Rizal yang menjodohkan Rizal dengan Arin meminta Rizal untuk menyimpan nomor HP Arin, namun Rizal tidak mau karena sudah memutuskan bahwa Arin bukan perempuan yang cocok untuknya.
“Kau bisa langsung berubah pikiran meski hanya bertemu sebentar dengan Arin? Kukira kau bertemu untuk lebih,” ujar Adri.
Rizal menggeleng. Tentu saja ia bertemu agar mereka lebih saling mengenal dan mengetahui apakah mereka memang cocok satu sama lain. Hanya saja Rizal menyadari bahwa Arin bukan orang yang tepat untuknya. Ia terbayang masa-masa kecilnya, saat di sawah. Orangtuanya bekerja begitu keras. Mencangkul di bawah terik matahari. Rizal kecil meraba tangan ayahnya, dan dirasakan tangan itu begitu tebal karena sering memegang cangkul di sawah mereka.
Pada cerita itu, Rizal menyampaikan kepada Adri temannya itu bahwa orang tuanya petani. Dia dihidupi oleh keluarga petani. Dia tidak mau menikah dengan perempuan yang tidak bisa menghargai jerih payah petani.
“Dia menyisakan setengah makanannya di piring dengan alasan takut gendut. Namun setelahnya masih bisa menyuap puding,” ujar Rizal mengangkat bahu.
Lalu, dengan tegas Rizal menyampaikan bahwa ia tidak tertarik dengan perempuan yang menyisakan nasi karena takut gendut, sementara setelah itu masih bisa makan makanan penutup. Bagi Rizal, ia tidak bisa membayangkan orang tuanya yang berpanas-panas dan berhujan di sawah, sementara ada orang yang membuang nasi begitu saja.
Keberpihakan yang tegas terhadap lingkungan walaupun kita menilai cerita tersebut terlalu mengada-ada. Bayangkan saja, ada seorang laki-laki yang menolak seorang perempuan bukan karena perempuan itu tidak cantik, bukan juga karena perempuan itu tidak terdidik, atau bukan juga karena perempuan itu dari keluarga yang tidak berada, namun laki-laki itu menolak perempuan sebagai jodohnya karena perempuan itu tidak menghargai jerih payah petani. Memang terlihat terlalu mengada-ada, tapi bukankah karya fiksi itu sesuatu yang mengada-ada? (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post