
Sebuah kosakata, frasa, atau istilah muncul karena ada benda atau keadaan yang harus diberi nama. Sebaliknya, sebuah kata atau frasa akan hilang jika sebuah benda sudah tidak ada, tidak perlu dinamai lagi, atau tidak digunakan lagi oleh manusia. Dalam bahasa Indonesia, ada banyak kosakata yang muncul dan ada banyak pula yang hilang akibat aktivitas manusia dan perkembangan peradaban.
Dalam bahasa daerah Minangkabau contohnya, dahulu semasa kecil, saya sering mendengar kata laka (alas periuk) dari potongan kayu atau piring kanso, salayan (tempat meletakkan kayu bakar yang ditinggikan sekitar dua meter persis di atas tungku), langkan (beranda rumah gadang), tampayan (tempat air), tampiyan atau niru (pemisah gabah dari beras dari anyaman bambu), dan lain-lain. Kata-kata tersebut saat ini sudah jarang kita dengar karena benda-benda tersebut juga tidak digunakan lagi saat ini. Orang-orang sekarang memasak dengan rice cooker listrik dan tidak menggunakan kayu. Bukan hanya dalam bahasa Minangkabau, istilah-istilah dari bahasa daerah lain pun sudah banyak yang hilang karena bendanya tidak ada lagi. Bahkan, beberapa istilah yang sudah baku dalam bahasa Indonesia pun perlahan mulai terdengar asing dan jarang digunakan. Contoh kata sandang (artikula) bahasa Indonesia yang jarang digunakan saat, misalnya kata sandang dang, hang, serta bung. Ketiga kata tersebut merupakan kata baku dalam bahasa Indonesia, dang artinya sebutan untuk wanita yang tinggi kedudukannya, hang artinya sebutan untu lelaki dalam budaya Melayu yang dulu ada dalam cerita hikayat, seperti Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir, dan Bung merupakan sebutan untuk teman lelaki sebaya yang sekarang digantikan dengan kata bro (dalam bahasa Inggris).
Akibat perkembangan teknologi, banyak kata-kata baru yang muncul dan juga banyak kata-kata yang menghilang. Kata-kata baru yang muncul tersebut adalah yang berkaitan dengan kehadiran teknologi informasi dan komunikasi digital. di era komunikasi digital, kata-kata baru yang muncul dapat dilihat melalui rekam jejak digital para pengguna media sosial. Rekam jejak digital (digital footprint) adalah segala aktivitas yang terdata atau terdeteksi atau tercatat saat seseorang menggunakan internet. Rekam jejak digital bisa mendeteksi kata-kata yang digunakan melalui aktivitas yang ada di media sosial, seperti di instagram, facebook, X, YouTube, ruang chat whatapps, telegram, ataupun email.
Setelah ada media sosial, banyak muncul kata-kata atau frasa baru. Kata jejak pun juga mengalami perluasan makna yang mana dulu jejak memiliki arti sebagai ‘sisa pijakan atau bekas telapak kaki, sedangkan saat ini kata jejak mengalami penurunan menjadi frasa jejak digital. Jejak digital juga dapat menggambarkan kepribadian seseorang bahkan untuk seleksi dunia kerja, rekam jejak digital bermanfaat untuk penyelidikan portofolio seperti apa karakter diri calon karyawan.
Dari jejak-jejak digital para pengguna media sosial, kita juga dapat menemukan istilah-istilah baru yang muncul karena kehadiran komunikasi digital. Istilah-istilah tersebut pada umumnya berbahasa Inggris yang populer digunakan oleh generasi milenial dan Generasi Z (dibaca genzi) yang hidup di era komunikasi digital. Istilah-istilah tersebut di antaranya slay (keren), cuy (sapaan), FYI/for your information(untuk kamu ketahui/informasi untukmu), FYP/For Your Page (halamanmu), green flag (lelaki/perempuan yang baik, mempunyai komunikasi positif dan bertanggung jawab dalam suatu hubungan), red flag (kebalikan dari green flag/lelaki/perempuan yang membawa aura negatif, CMIIW/correct me if I’m wrong (beri tahu saya kalau saya salah), vibe (suasana/aura), no cap (serius tidak bohong), salty (kesal), sus (mencurigakan), flexing (pamer), Fomo /Fear of Missing Out (kecemasan takut ketinggalan), Jomo/joy of missing out(kesenangan tidak ikut acara sosial), ghosting (menghilang tanpa kabar), POV/ point of view (sudut pandang atau situasi), chill (santai), dan lain-lain.
Kosata, frasa atau istilah tersebut membawa warna tersendiri bagi perkembangan bahasa Indonesia. Ada kosakata yang dapat segera diadopsi utuh ke dalam bahasa Indonesia, ada juga yang perlu penyesuaian dan dicarikan istilah pengganti yang tepat dalam bahasa Indonesia, atau selamanya tetap digunakan dalam bentuk asalnya dari bahasa Inggris. Hal itu tergantung tindakan yang diambil oleh para penentu kebijakan bahasa Indonesia yang selama ini diurus oleh Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Republik Indonesia. Demikian ulasan mengenai perkembangan kosakata yang dapat dilihat melalui berbagai aktivitas manusia dan rekam jejak digital para pengguna media sosial.







