
Oleh: Imro’atul Mufidah
(Mahasiswa S2 Korean Studies Busan University of Foreign Studies, Korea Selatan)
Kebanyakan mahasiswa asing yang sedang menjalani masa studinya di Korea Selatan jika ditanya pulau apakah yang paling ingin dikunjungi di Korea Selatan, mereka mungkin akan menjawab Pulau Jeju. Pulau Jeju memang dikenal sebagai Hawainya Korea Selatan. Gunung, pantai, hutan, hingga air terjun, semuanya hadir di sana. Berbeda dengan ibu kota Seoul yang penuh dengan hiruk-pikuk, Jeju menawarkan suasana yang tenang dan damai bagi wisatawan yang mengunjunginya. Saya pun mengamini hal tersebut. Namun, bagi saya, yang juga sedang menjalani studi Pascasarjana di Korea Selatan, saya memiliki opini saya sendiri mengenai pulau yang paling ingin saya kunjungi selama berada di Korea. Bukan Jeju, menurut saya Dokdolah pulau yang paling menarik di Korea Selatan.
Dokdo adalah sebuah pulau kecil yang terletak di paling ujung laut timur Semenanjung Korea. Pulau ini sedang diperebutkan oleh Korea Selatan dan Jepang. Disebut ‘Dokdo’ di Korea, di Jepang pulau ini disebut ‘Takeshima’. Beruntungnya, di tahun kedua saya menjalani studi di Korea, saya berkesempatan untuk mengikuti Program ‘2025 Global Dokdo Reporter’ pada 7-9 November 2025. Program ini memberi kesempatan terhadap mahasiswa asing dari berbagai negara untuk mengunjungi Pulau Ulleungdo dan Dokdo. Sebelum melaksanakan kegiatan inti program ini, saya mengikuti workshop tentang Dokdo. Melalui workshop ini, saya bersama peserta lainnya belajar banyak mengenai Dokdo, terutama terkait sejarah mengapa pulau ini menjadi persengketaan antara Korea Selatan-Jepang dan bukti dokumen apa yang dimiliki Korea Selatan terkait dengan klaimnya.
Salah satu dokumen yang membuktikan bahwa Dokdo merupakan bagian dari Korea Selatan adalah dokumen yang berbentuk lembaran kertas yang bertuliskan dalam bahasa Jepang. Tulisan ini berisikan larangan terhadap pelaut Jepang untuk mencari ikan di Pulau Ulleungdo dan pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya, yang salah satunya adalah termasuk Pulau Dokdo. Katanya, perintah larangan ini dikeluarkan oleh Tokugawa Tsunayoshi, jenderal besar pemerintah Jepang yang menangani sengketa wilayah antara Korea dan Jepang terkait Pulau Ulleungdo dan Dokdo pada abad ke-17.
Larangan ini awalnya dikeluarkan karena terjadinya kasus penculikan pelaut bernama An Yong-bok di tahun 1693. An Yong-bok yang sedang melaut di perairan Ulleungdo-Dokdo, memergoki nelayan asal Jepang yang juga tengah mencari ikan. Ia meneriaki nelayan Jepang, mengatakan bahwa mereka tidak boleh mencari ikan di wilayah Joseon (sebutan Korea di masa kerajaan). Dalam aksi beraninya itu, dia diculik oleh nelayan Jepang yang menganggap bahwa wilayah perairan itu milik mereka. Di bawa ke Pulau Oki, An Yong-bok menerima interogasi dari pejabat setempat dan akhirnya dikembalikan ke Joseon setelah pejabat setempat melakukan penyelidikan.
Setelah kasus penculikan An Yong-bok tersebut, pemerintah Joseon mulai secara aktif mengawasi wilayah Ulleungdo dan sekitarnya agar tidak dimasuki oleh nelayan Jepang. Tahun 1694, pemerintah Joseon mengirim pejabat militer untuk menyelidiki Ulleungdo dan pulau-pulau di sekitarnya. Berdasarkan laporan dari pejabat militer yang dikirim, pemerintah Joseon membuat kebijakan baru bernama “수토 제도 (suto jedo)”, yaitu sistem patroli laut secara berkala setiap dua tahun sekali ke Ulleungdo dan sekitarnya. Sistem ini berlangsung dari tahun 1699 sampai 1894 dan membantu memperkuat pengetahuan serta klaim Joseon atas Ulleungdo dan Dokdo.
Namun, masalah besar terkait persengketaan ini terjadi kembali setelah Jepang berhasil menjajah penuh Korea pada tahun 1910-1945. Tidak hanya Ulleungdo saja, pulau lain seperti Jeju dan Geomundo juga berhasil dikuasai oleh Jepang. Pulau-pulau ini berhasil kembali menjadi milik Korea Selatan setelah dilaksanakannya Perjanjian Damai Sans Franscisco di tahun 1951. Menurut pasal 2 dalam perjanjian ini, Jepang mengakui kemerdekaan Korea, melepaskan semua hak, kepemilikan, dan klaim atas Korea, termasuk Jeju, Geomundo, dan Ulleungdo. Akan tetapi, dengan dalih bahwa Dokdo tidak disebutkan dalam perjanjian damai tersebut, Jepang hingga saat ini tetap mengklaim bahwa Dokdo adalah Takeshima, yang merupakan bagian wilayah Prefektur Shimane.
Kini, Pulau Dokdo dilindungi oleh kepolisian Korea Selatan secara ketat. Terlepas dari klaim Jepang, Korea Selatan memandang Dokdo sebagai bagian integral dari wilayahnya dan telah menempatkan personel polisi untuk menegaskan kedaulatannya serta menjaga pulau tersebut. Meskipun dijaga ketat, baik orang Korea maupun orang asing yang sedang melancong di Korea diperbolehkan untuk mengunjungi Pulau Dokdo. Untuk mengunjungi pulau ini, wisatawan perlu menyeberang terlebih dahulu ke Pulau Ulleungdo dari pelabuhan yang ada di daratan. Namun, satu hal yang perlu diketahui adalah tidak semua orang beruntung untuk bisa menyeberang ke Dokdo meskipun telah mencapai Pulau Ulleungdo. Hal itu disebabkan karena secara geografis, Dokdo berada di laut terbuka, sehingga iklimnya sulit untuk ditebak. Saat ombak tinggi dan angin kencang, kapal di Ulleungdo tidak akan diizinkan untuk berlayar menuju Dokdo. Namun umumnya, kapal wisata beroperasi dari bulan Maret hingga November.
Sebagai peserta dalam program ‘2025 Global Dokdo Reporter’ ini, saya merasa senang dan bersyukur mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi pulau sengketa ini. Dari program ini, saya juga belajar bahwa tidak semua persengketaan harus diselesaikan dengan cara yang kasar. Persengketaan Pulau Dokdo ini tidak salah jika disebut sebagai sengketa yang “damai”. Sebab, Jepang dan Korea Selatan berupaya menyelesaikan persengketaan ini melalui jalur diplomatik dan perundingan. Meskipun belum mencapai kesepakatan final, upaya penyelesaian yang dilakukan tanpa kekerasan, dengan fokus pada negosiasi dan mediasi, menarik perhatian saya. Hal ini hendaknya juga dicontoh oleh negara-negara lain yang juga memiliki masalah persengketaan. Apa pun masalahnya, persengketaan tidak seharusnya menjadi alasan diperbolehkannya merusak cagar alam, apalagi melanggar hak asasi manusia seperti tindakan pembunuhan, penyiksaan, perbudakan, diskriminasi, pemerkosaan, penculikan, penghilangan paksa, dan sebagainya.






