Rabu, 19/11/25 | 14:13 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Belajar Budaya dan Pendidikan Karakter dari Seorang Nenek yang ‘Merusak’ Internet

Minggu, 16/11/25 | 13:27 WIB

Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)

 

Di ruang keluarga. Seorang nenek sedang mengotak-atik sebuah komputer di ruang tamu. Klik klak, klik klak. Suara tetikus berbunyi. Tiba-tiba jaringan padam dan mengacaukan seluruh isi rumah.

BACAJUGA

Aspek Pemahaman Antarbudaya pada Sastra Anak

Kecerdikan Kancil dalam Fabel Indonesia dan Melayu: Analisis Sastra Bandingan

Minggu, 21/9/25 | 14:12 WIB
Aspek Pemahaman Antarbudaya pada Sastra Anak

Ekokritik pada Fabel Ginting und Ganteng (2020) Karya Regina Frey dan Petra Rappo

Minggu, 22/6/25 | 13:12 WIB

Kutipan di atas merupakan garis besar plot novel anak Jerman berjudul Der Tag, an dem die Oma das Internett kaputt gemacht hat (Hari Ketika Nenek ‘Merusak’ Internet) karya Marc-Uwe Kling tahun 2018. Ceritanya tidak hanya lucu dan menghibur – tentang tokoh nenek yang tidak sengaja merusak internet dan membuat seluruh anggota keluarga ‘mati gaya’ – tetapi juga sarat nilai pendidikan moral dan karakter, menyoroti sikap para tokoh dalam menghadapi kesenjangan digital dan kecanduan teknologi.

Selain mengandung humor, serta nilai pendidikan moral dan karakter, novel ini juga menggabarkan perilaku manusia modern yang semakin bergantung dengan teknologi sehingga mengabaikan interaksi langsung. Kritik sosial diperlihatkan pada narasi ketika kakek dan nenek mengungjungi cucu mereka untuk dititipkan oleh orang tuanya. Dalam hal ini Kling secara cerdas membalikkan makna bahwa kakek nenek lah yang justru diasuh oleh cucu-cucu mereka, terutama kepada Tiffany, si bungsu berusia 4 tahun, di saat cucu-cucu yang lain Luisa (14) dan Max (10), sibuk dengan gawai masing-masing. Pembalikan makna ini merupakan bentuk satir Kling mengenai gambarkan kehidupan mausia ketika kemajuan teknologi menghambat interaksi serta komunikasi antarindividu, dan memperlebar kesenjangan antargenerasi.

Dalam konteks dunia digital, terdapat istilah digital native dan digital immigrant untuk membedakan perilaku antarindividu menyikapi transformasi dunia digital (Persky, 2001). Tapscott (1998) menyatakan bahwa digital native merupakan generasi yang lahir setelah tahun 1980-an. Hidup mereka tidak terlepas dari penggunaan teknologi seperti komputer, video gim, pemutar musik digital, kamera video, telepon selular dan mainan digital lainnya. Adapun digital immigrant adalah generasi yang lahir sebelum tahun 1980-an dan tidak tumbuh di era budaya digital. Dapat dikatakan bahwa generasi ini membutuhkan kemampuan beradaptasi dengan teknologi dalam kehidupan sehari-hari (Hill, 2010).

Novel Der Tag an dem die Oma das Internett kaputt gemacht hat menggambarkan perbedaan sikap tokoh dalam menjalani hidup di era digital. Tokoh Luisa, Max, Tiffany, Pizzajunge (pemuda pengantar pizza), ayah, dan ibu merepresentasikan digital native yang memiliki ketergantungan terhadap gawai. Luisa jadi tidak bisa mendengar musik secara daring, sehingga membuatnya risau. Max juga tidak bisa bermain gim dan terhubung dengan teman-temannya. Hambatan juga dialami tokoh pengantar pizza yang tersesat dan terdampar di rumah Luisa ketika sedang mengantar pesanan karena selama ini selalu mengandalkan aplikasi penunjuk jalan. Putusnya koneksi internet mengakibatkan ayah dan ibu Luisa pulang ke rumah lebih awal karena pekerjaan mereka sangat bergantung pada sinyal internet.

Sebaliknya, representasi digital immigrant diperlihatkan oleh tokoh kakek dan nenek yang tumbuh di era teknologi sebelum internet, seperti televisi dan radio. Perbedaan sikap dan cara pandang terhadap teknologi digital juga diperlihatkan melalui interaksi antara tokoh digital native dan digital immigrant. Pada tokoh nenek misalnya, ketika berupaya memahami cara kerja internet dan menjelaskannya kepaa Tiffany, ia memiliki keterbatasan pengetahuan akan istilah-istilah yang sudah familiar di kalangan digital native. Das internet ist ähnliches wie Videotext. Es it wie Fernsehen, aber zum Lesen – internet itu mirip dengan teleteks. Seperti televisi, tapi untuk membaca (Kling, 2018: 3).

Tokoh nenek mengumpamakan internet dengan pengertian videotext, yaitu media informasi pada layar televisi yang menyajikan data secara ringkas, fokus, melalui tampilan teknologi sederhana yang memungkinkan teks ditransmisikan bersama sinyal siaran. Teknologi ini di Jerman dikembangkan sejak tahun 1971, ketika Institut für Rundfunk Technik – Institut Teknologi Penyiaran (IRT) di Munich berupaya menambahkan informasi tertulis ke layar televisi. Videotext kemudian diluncurkan secara resmi sebagai layanan informasi televisi di seluruh Jerman pada 1980, dan mengalami perkembangan pesat hingga pertengahan 1990-an, sebelum digantikan dengan keberadaan teknologi internet. Dalam konteks novel, perumpamaan ini menunjukkan kesenjangan pengetahuan teknologi yang disebabkan oleh perbedaan generasi, yaitu tokoh nenek yang tumbuh besar di era sebelum internet; dan Tiffany, yang hidup pada masa ketika internet telah menjadi bagian hidup sehari-hari.

Pada awalnya, kekacauan yang tidak sengaja dilakukan tokoh Nenek ketika ‘merusak’ internet membuat kacau seluruh isi rumah. „Das ganze Internet kaputt …“, sagte Max ungläubig. „Was sollen wir denn jetzt bloß machen?“ – ,,seluruh internet rusak …”, ujar Max tidak percaya. Apa yang bisa kita lakukan sekarang? (Kling, 2018: 42). Semuanya terdiam lama sambil bertanya-tanya, apa yang telah diperbuat sang Nenek? Selanjutnya, untuk pertama kalinya para tokoh yang terdiri dari Luisa, Max, Tiffany, Kakek, Nenek, Ayah, dan Ibu, duduk membentuk lingkaran di ruang keluarga dan saling berandai-andai. Ibu berpikir bahwa mungkin saja sang Nenek adalah seorang penyihir dan telah mengutuk internet, karena tidak ada lagi orang-orang yang percaya pada sihir dan bergantung sepenuhnya pada teknologi. Menurut Kakek, Nenek menemukan sebuah tombol merah besar yang di atasnya tertulis ‘jangan ditekan’, namun ia malah menekannya.

Pemaparan di atas menunjukkan situasi yang pada awalnya canggung, justru memunculkan kembali rasa kebersamaan keluarga yang selama ini hilang tergantikan oleh gawai. Hal ini membuka ruang kesadaran akan pentingnya sikap bijak dalam penggunaan teknologi, akibat globalisasi yang menuntut individu memiliki literasi digital. Selama ini, literasi digital dipahami sebagai kecakapan individu dalam mengoperasikan teknologi digital. Namun, tidak hanya itu, literasi digital juga menyangkut keterampilan, pengetahuan, dan pemahaman yang memungkinkan seseorang untuk kritis, kreatif, berlaku cerdas dan aman saat terlibat dengan teknologi digital di semua bidang kehidupan (Hague & Payton, dalam Dipa, 2022). Melalui cerita anak, Kling juga hendak menyampaikan kepada pembaca untuk tidak menggunakan teknologi secara berlebihan dan pentingnya pendampingan penggunaan gawai oleh orang tua terhadap anak.

Kesenjangan digital antartokoh, serta terhambatnya aktivitas akibat rusaknya internet oleh sang nenek tidak membuat mereka saling menghakimi, tetapi justru memunculkan sikap berempati dan inklusif terhadap perbedaan. Oleh sebab itu, cerita ini juga sarat akan nilai pemahaman antarbudaya yang menurut Deardorff (2019), mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk berkomunikasi secara tepat ketika berinteraksi melintasi perbedaan. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan karakter dalam sastra anak, yaitu membangun sikap saling menghargai, empati, dan keterbukaan dalam konteks keberagaman.

Tags: #Andina Meutia Hawa
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Perkembangan Kosakata di Era Komunikasi Digital

Berita Sesudah

Budaya Overthinking dan Krisis Makna di Kalangan Gen Z

Berita Terkait

Sengketa Dokdo: Jejak Sejarah dan Pelajaran untuk Masa Kini

Sengketa Dokdo: Jejak Sejarah dan Pelajaran untuk Masa Kini

Minggu, 16/11/25 | 13:49 WIB

Oleh: Imro’atul Mufidah (Mahasiswa S2 Korean Studies Busan University of Foreign Studies, Korea Selatan)   Kebanyakan mahasiswa asing yang sedang...

Puisi-puisi M. Subarkah

Budaya Overthinking dan Krisis Makna di Kalangan Gen Z

Minggu, 16/11/25 | 13:35 WIB

Oleh: M. Subarkah (Mahasiswa Prodi S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)   Di tengah gemerlap dunia digital dan derasnya...

Identitas Lokal dalam Buku Puisi “Hantu Padang” Karya Esha Tegar

Konflik Sosial dan Politik pada Naskah “Penjual Bendera” Karya Wisran Hadi

Minggu, 02/11/25 | 17:12 WIB

  Pada pukul 10:00 pagi, 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. Berkat desakan dari golongan muda,...

Aia Bangih Bukan Air Bangis

Apa Pentingnya Makna?

Minggu, 02/11/25 | 16:43 WIB

Oleh: Ahmad Hamidi (Dosen Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)    Apa pentingnya makna? Sejauh mana ia menggambarkan...

Lari Pagi atau Sore, Mana yang Lebih Efektif ?

Lari Pagi atau Sore, Mana yang Lebih Efektif ?

Minggu, 26/10/25 | 11:27 WIB

Oleh: Muhammad Afif  (Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia dan Mahasiswa Departemen Teknik Sipil Universitas Andalas)   Beberapa tahun terakhir, olahraga lari...

Puisi-puisi M. Subarkah

Ketika Bahasa Daerah Mulai Sunyi, Siapa yang Menjaga?

Minggu, 26/10/25 | 10:29 WIB

Oleh: M.Subarkah (Mahasiswa Prodi S2 Linguistik Universitas Andalas)   Bahasa daerah adalah warisan yang tidak hanya layak dikenang, tetapi harus...

Berita Sesudah
Puisi-puisi M. Subarkah

Budaya Overthinking dan Krisis Makna di Kalangan Gen Z

POPULER

  • Wali Kota Padang Fadly Amran hadiri, Festival Marandang yang berlangsung di depan Perumahan DMJ RT 01 RW 01, Kelurahan Tanjung Saba Pitameh Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung, Minggu (16/11).(Foto:Ist)

    Walikota Padang Apresiasi Festival Merandang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Walikota Resmikan Pembangunan Jalan Taratak Saiyo

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mobil Carry Terbakar di Bendungan Batu Bakawuik, Damkar Dharmasraya Gerak Cepat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Cerpen “Umak Saddam dan Tuah Batang Gadis” Karya Muttaqin Kholis Ali dan Ulasannya Oleh Azwar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Cerpen “Ekspedisi Maut di Gunung Sorik Marapi” Karya Muttaqin Kholis Ali dan Ulasannya oleh Azwar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024