Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Bahasa asing memiliki kedudukan yang sama dengan bahasa Indonesia. Hal ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 1, yaitu bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Pada ayat 2 tersebut dijelaskan peranan bahasa asing sebagai pendukung bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan nasional. Bahasa asing adalah bahasa yang tidak biasa digunakan oleh masyarakat yang mendiami wilayah tertentu (Hanipaharif, dkk., 2020).
Di Indonesia, bahasa asing memiliki fungsi sebagai alat perhubungan antarbangsa, alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia, serta alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk kepentingan pembangunan nasional. Era globalisasi meningkatkan hubungan antar bangsa sehingga kemampuan bahasa asing makin dibutuhkan. Mempelajari bahasa asing memiliki banyak manfaat, di antaranya meningkatkan peluang karier, memudahkan komunikasi antarbudaya, hingga memperluas akses terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan hiburan. Banyak media yang dapat digunakan untuk memperlajari bahasa asing, misalnya melalui sastra anak.
Sastra anak menawarkan dunia yang berbeda dengan kenyataan. Cerita dalam sastra anak mengajak pembaca untuk berfantasi dan berkelana ke alam imajinasi menuju suatu alur kehidupan yang penuh daya tarik, serta menimbulkan rasa ingin tahu, dan perasaan terikat. Penguasaan bahasa asing menjadi syarat utama bagi siswa yang ingin membaca sastra asing. Oleh sebab itu, sastra anak dapat menjadi media yang efektif dan menyenangkan untuk mempelajari bahasa asing karena karena dapat meningkatkan minat baca dan kosakata.
Salah satu bahasa Inggris yang berkembang di Indonesia adalah bahasa Inggris. Bahasa Inggris diperkenalkan sejak usia dini pada ranah pendidikan di Indonesia, serta menjadi bahasa internasional yang digunakan secara luas untuk berkomunikasi. Pada pendidikan tingkat dasar, pembelajaran bahasa Inggris ditujukan untuk mengenal bahasa dalam bentuk paling sederhana agar menjadi dasar anak bagi usia dini mempelajarinya bahasa di masa mendatang (Setianingsih, 2024). Pada pendidikan tingkat menengah, pembelajaran bahasa Inggris mencakup berbagai aspek seperti menulis (writing), membaca (reading), berbicara (speaking), hingga mendengar (listening). Adapun pada tingkat pendidikan lanjut, bahasa Inggris menjadi mata kuliah wajib dan umum. Berbagai universitas di Indonesia menawarkan program studi pendidikan bahasa dan sastra, mempelajari bahasa Inggris dari segi teori dan aplikasinya pada karya sastra, hingga metode-metode pengajarannya.
Selain bahasa Inggris, bahasa asing lain yang dipelajari di Indonesia adalah bahasa Jerman. Bahasa Jerman sudah mulai diperkenalkan di sekolah-sekolah sebagai mata pelajaran muatan lokal maupun sebagai program studi di tingkat perkuliahan. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia sudah mulai banyak penutur bahasa Jerman, baik secara aktif maupun pasif. Dapat dikatakan bahwa pembelajaran bahasa Jerman di Indonesia menjadi sesuatu yang dapat diperhitungkan karena banyaknya ketersediaan lapangan kerja dan kesempatan belajar di Jerman.
Pada pembelajaran bahasa Jerman sebagai bahasa asing, pengetahuan tentang budaya Jerman berperan penting sebagai pengetahuan dasar karena bahasa mencerminkan budaya (Nastiti, dkk., 2022). Aspek kebahasaan dalam pembelajaran bahasa Jerman dapat diperoleh melalui pembelajaran sastra, baik tulisan maupun lisan. Melalui karya sastra, seperti novel, dongeng, hingga nyanyian atau nursery rhymes, siswa memperoleh wawasan sekaligus pemahaman antarbudaya (cross cultural understanding) terkait dengan adat-istiadat, kebiasaan, norma, dan tradisi kelompok-kelompok sosial dari berbagai negara di dunia (Nurgiyantoro, 2005).
Sebuah novel anak Jerman berjudul Apfelkuchen und Baklava (2016) karya Kathrin Rohmann menceritakan dua sudut pandang dan dua tokoh utama, yaitu Max yang merupakan anak laki-laki Jerman berusia sepuluh tahun; serta Leila, anak perempuan asal Siria yang menjadi siswa baru di sekolah Max. Leila terpaksa terpaksa mengungsi ke Jerman bersama ibu dan kedua kakaknya karena negara asalnya sedang berperang. Ia sangat merindukan ayah dan neneknya yang masih berada di Siria. Satu-satunya penghubung antara Leila dengan kampung halamannya ialah sebuah biji kenari yang selalu ia bawa kemanapun pergi. Suatu hari ia kehilangan biji tersebut. Max tidak sengaja menemukan biji kenari Leila, namun ia tidak mau memberikannya kepada gadis itu.
Di kemudian hari, Max tidak sengaja mendengar neneknya menceritakan masa lalunya pada Leila. Berdasarkan cerita tersebut, Max baru mengetahui bahwa dulunya neneknya adalah seorang pengungsi perang. Di masa kecilnya, sang nenek juga terpaksa meninggalkan kampung halamannya, Polandia, bersama ibunya, juga karena perang. Cerita nenek Max menghadirkan perspektif baru pada Max dan Leila akan makna kampung halaman. Bahwa pengertian kampung halaman tidak hanya sebatas pada tempat asal seseorang dilahirkan dan dibesarkan. Seseorang dapat menjadikan tempat baru sebagai kampung halamannya tanpa melupakan tempat asalnya.
Membaca Apfelkuchen und Baklava membutuhkan pemahaman akan latar sosialnya, terlebih karena tema perang dan kampung halaman merupakan tema-tema yang jarang hadir pada cerita sastra anak Indonesia. Aspek cross-cultural understanding dapat diperoleh melalui sikap tokoh dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Dalam hal Apfelkuchen und Baklava diperlihatkan penerimaan tokoh Max akan masa lalu neneknya, serta sikap terbuka Max dan Leila terhadap perbedaan budaya masing-masing. Novel Apfelkuchen und Baklava dituturkan menggunakan bahasa yang cukup mudah dipahami, sehingga siswa tidak hanya mendapat pengetahuan tentang kosa kata tetapi juga dapat menjadi media pembelajaran wawasan multikultural karena memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi dan mengapresiasi kemiripan dan perbedaan lintas budaya (Norton & Norton, dalam Nurgiyantoro, 2013).