Kelana Klungkung dan Putri Sritanjung
Dialah yang berjalan-jalan sendirian ke luar istana
Gelung puteri raja klungkung
Surati! Surati!
Panggil seorang laki-laki compang-camping
Lekatlah wajah lelaki itu di depannya
Kakak kandungnya, rupaksa
Mengajak mengobar api di dada,
Pada banterang, pembunuh ayahanda
Surati terlanjur diperistri
Hutang budi
Surati hirau,
Rupaksa menggeraham, kacau
Ia menitip ikat kepala
Ikat kepala ini harus kau simpan
Di bawah tempat tidurmu
Persuaan itu, kala banterang berburu di hutan
Pikir abu-abu yang menyelimut, kalut
Janin itu terlepas persetubuhan, kabut
Putri sritanjung tamat jua dihunus banterang
Lisan jua menjadi raja air, persis
Apabila darah yang mengalir di sungai amis,
Benih ini tiada anakmu,
Sebalik itu, bila wangi, itu anakmu
Darah itu kini mewangi, panjang
Sesal banterang, hilang
Kisah ragam jagad kini, terkenang
Buah bibir penutur pelipur buah hati, riang
Padang Pariaman, 2022
Lelaki Tengah Hutan dan Ikat Kepala
Dialah lelaki tengah hutan berkain compang-camping
Tatkala banterang di tengah hutan, selaksa pandangnya
Dikejut kedatangan lelaki, tuangku, keselamatan tuan
Terancam, gemulai tangan istri tuan
Tuan lihat, ikat kepala di bawah peraduannya.
Milik lelaki yang dimintai tolong, meregang tuan
Selepas petuah itu, hilang. Banterang tersentak dada bidang,
Menggeraham, istana pelepasan kaki-kaki kelana,
Peraduan sebelah rusuknya, ikat kepala di hadapan mata
Begitukah balasan teduh? Asal tuduh
Adinda tiada sekelebat memayung peluh
Jua rebah sandaran kesendirian. Lidah itu terpaku api keluh.
Ranting itu kelak mengobar bara, melumat kayu-kayu istana
Sebelum lepas asap-asap hitam, banterang mematah tulang rusuk pitam
Membuang sisa-sisa pembakaran di dadanya
Ini sungai penghabisan, lisankan persuaan padanya
Benar, seorang lelaki compang-camping kala berburu di hutan.
Kakak kandung adinda. Digenggamlah sebuah ikat kepala
Adinda merapal banterang, mendamba hatinya.
Sayang, tak kunjung sampai hasrat menggulung bibirnya
Dan kepulan itu kian berkemelut, menembus kabut-kabut.
Kakanda, bukalah mata dan dadamu,
Biarkan aku tenggelam, asal kau tenang bertemaram.
Lagi, pertemuan adinda jua kakak kandung, rupaksa
Ialah pengobar api itu. Adinda memadam selaksa pilu
Sudah, api itu kian menggarang, menyulut kepala banterang
Bercairan, lelehan hitam yang terpampang, menyelimut kelam.
Kakanda! Bila masanya air sungai ini bening lagi harum, adinda pengikat napas!
Sebalik masa, keruh lagi jenuh, adinda pelepas napas!
Seruan itu melintas di kepala, tak singgah hati pula
Banterang menghunus keris, terselip di pinggang
Melompatlah ke tengah sungai, hilang
Demikian takjub air itu merona angin, menembus semerbak sungai.
Raden banterang berseru, gemetar.
Adinda, kau pengikat napasku!
Sungguh
Betapa kepulan itu tak kuasa menjadi air sembilu.
Titah-titah dahulu menjadi angin pelepas derai bening, bebas.
Kisah tak sudah kelembutan angin musim ini,
Pada sungai yang menjadikannya wangi
Semerbak tanah air merah putih saban hari.
Padang Pariaman, 2022
Biodata Penulis:
Dodi Saputra, S.Pd. lahir di Mahakarya pada tanggal 25 September 1990. Ia merupakan anggota senior FLP Sumbar dan juga guru MAN Insan Cendekia Padang Pariaman. Buku-bukunya yang telah terbit, di antaranya berjudul Biologi Peminatan dan Ilmu-ilmu Alam untuk Kelas 11 SMA/MA sederajat, Menjadi Guru Hebat Bermartabat, Surau dan Manusia Akhir Zaman, Mantagi Pertama: Solusi untuk Indonesia, dan 100 Strategi Mahasiswa dan Sarjana Sejati untuk Indonesia.
Tuduh Teduh Keruh
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Biarkan aku tenggelam,
asal kau tenang bertemaram.
Ada berbagai bentuk karya sastra, salah satunya puisi yang dapat dikaji dari beberapa aspek, baik aspek fisik maupun batin. Aspek fisik puisi meliputi diksi, imaji, kata konkret, bahasa figuratif, verifikasi, dan tata wajah, sedangkan aspek batin meliputi tema, nada, rasa, dan amanat. Puisi merupakan salah satu bentuk kesusastraan. Ia berdiri berdampingan dengan bentuk-bentuk kesusastraan yang lain, di antaranya cerpen, novel, dan drama. Puisi diciptakan penyair melalui proses imajinasi. Tanpa imajinasi puisi tidak akan pernah ada. Menurut Paz (2002:31), puisi merupakan suara asli kemanusiaan. Artinya proses imajinasi tersebut mewakili suara asli penyair dalam menyampaikan pesan kepada pembaca.
Perkembangan perpuisian di Indonesia memang tidak lepas dari pesan penyair sebagai pencipta sebuah karya sastra. Puisi modern Indonesia mengalami perubahan tema dalam setiap periode. Pada periode awal kemunculannya, tema-tema yang ditulis penyair di antaranya perjuangan untuk persatuan dan mencapai kemerdekaan, keagamaan, sosial, kritik sosial, personal, nasihat, alam, dan lingkungannya (Hartati, 2019). Tema-tema puisi terus berkembang sesuai dengan zaman yang berubah, menyangkut masyarakat urban, perjalanan ke negeri asing jauh, kisruh politik, romantisme global, dan gaya hidup modern kaum perkotaan. Meskipun begitu, sumber inspirasi bisa berasal dari khasanah budaya yang telah klasik dan cerita rakyat misalnya.
Kreatika kali ini menghadirkan dua buah puisi karya Dodi Saputra yang berjudul “Kelana Klungkung dan Putri Sritanjung” dan “Lelaki Tengah Hutan dan Ikat Kepala”. Kedua puisi mengangkat cerita rakyat sebagai basis penciptaan, yakni cerita Putri Sritanjung.
Sepasang puisi ini mengangkat masalah kesetiaan seorang istri. Dikisahkan ada seorang perempuan yang dicurigai berhubungan dengan laki-laki lain dengan bukti kain ikat kepala laki-laki yang ditemukan di tempat tidurnya sehingga dia disumpah untuk menguji kehormatannya. Puisi Dodi sangat naratif: ‘Dialah yang berjalan-jalan sendirian ke luar istana/ Gelung puteri raja klungkung/Surati! Surati! / Panggil seorang laki-laki compang-camping/ Lekatlah wajah lelaki itu di depannya / Kakak kandungnya, rupaksa// Mengajak mengobar api di dada,/ Pada banterang, pembunuh ayahanda/ Surati terlanjur diperistri / Hutang budi’. Laki-laki yang memberi perempuan itu kain ikat kepala tak lain adalah kakak kandungnya yang sudah lama ingin bertemu dengannya.
Suami yang cemburu terbakar amarah, ‘Persuaan itu, kala banterang berburu di hutan/ Pikir abu-abu yang menyelimut, kalut/ Janin itu terlepas persetubuhan, kabut/ Putri sritanjung tamat jua dihunus banterang// Lisan jua menjadi raja air, persis/ Apabila darah yang mengalir di sungai amis, / Benih ini tiada anakmu, / Sebalik itu, bila wangi, itu anakmu. Setelah si istri dibunuh, ternyata dia tak bersalah. Air (alam) yang memberikan kesaksian, ‘Darah itu kini mewangi, panjang/ Sesal banterang, hilang’. Apa boleh buat, nyawa sudah lepas dari badan. Begitulah kisah Surati, sang putri yang menjadi fokus puisi pertama Dodi Saputra. Baris-baris naratif yang enak dibaca sebagai puisi.
Pada puisi kedua, fokus narasi berpindah pada kakak laki-laki sang putri. Sosok yang memicu si suami pencemburu yang pergi berburu menjadi gelap mata karena menemukan ikat kepala laki-laki di kasur istrinya. Dodi menuliskannya dengan rapi: ‘Dialah lelaki tengah hutan berkain compang-camping/ Tatkala banterang di tengah hutan, selaksa pandangnya / Dikejut kedatangan lelaki, tuangku, keselamatan tuan / Terancam, gemulai tangan istri tuan// Tuan lihat, ikat kepala di bawah peraduannya. / Milik lelaki yang dimintai tolong, meregang tuan// Selepas petuah itu, hilang. Banterang tersentak dada bidang, / Menggeraham, istana pelepasan kaki-kaki kelana, / Peraduan sebelah rusuknya, ikat kepala di hadapan mata’.
Prasangka buruk yang tidak disertai upaya konfirmasi memang dapat mendatangkan keputusan yang tidak tepat. Apalagi ketika ada suara-suara sumbang yang ikut memperkeruh suasana dengan menyampaikan praduga-praduga negatif seperti minyak yang disiramkan ke atas bara. Segala penjelasan tak ada gunanya. Meskipun sang istri telah memekik meyakinkan sang suami: ‘Kakanda! Bila masanya air sungai ini bening lagi harum, adinda pengikat napas! Sebalik masa, keruh lagi jenuh, adinda pelepas napas!’ Namun keris juga yang berbicara.
Seperti pada puisi pertama, Dodi menggambarkan jawaban atas perkara istri yang dituduh berselingkuh dengan larik-larik yang bagus: ‘Demikian takjub air itu merona angin, menembus semerbak sungai. / Raden banterang berseru, gemetar. // Adinda, kau pengikat napasku! / Sungguh’. Air sungai yang semerbak wangi adalah tanda bahwa sang istri menjaga kesuciannya.
Menggunakan karya klasik sebagai basis penciptaan karya baru adalah hal yang lumrah dalam kesenian. Pertunjukan tari dapat mengambil satu fragmen karya sastra, sebuah lukisan dapat menafsirkan adegan dalam naskah drama, dan sebuah puisi dapat menginterpretasi lukisan atau karya pertunjukan. Bentuk-bentuk baru dapat menawarkan tafsir baru dan nuansa berbeda yang segar. Selamat berakhir pekan!
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post