Oleh: Alfitri
(Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)
Antaranews.com (6 Mei 2023) menurunkan berita berjudul “Bukittinggi viral disebut kota sampah, ini respon Pemkot setempat”. Dalam beritanya, antara lain, ditulis bahwa Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bukittinggi menyayangkan adanya komentar di dalam postingan yang menyatakan Kota Bukittinggi sebagai Kota Sampah. Ia mengatakan petugas DLH setiap hari ditugaskan di setiap titik Kota Bukittinggi dan dipastikan sampah selalu diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Lalu, Kompas.com (10 Mei 2023) juga merilis berita dengan judul “Sudah Melebihi Kapasitas, Area Tampung TPA Sarimukti di Bandung Barat Diperluas”. Dalam berita, antara lain, ditulis bahwa Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengatakan kapasitas tampung Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti sudah melebihi kapasitas tampung.
Sebelumnya, Tempo.co (23 April 2023) juga menurunkan berita berjudul “Sampah Malam Takbiran di Depok Capai 100 Ton, Dibawa ke TPA Cipayung. Dalam berita dituliskan bahwa Kepala Unit Pelaksana Teknis Tempat Pembuangan Akhir (UPT TPA) Cipayung Ardan Kurniawan mengatakan sekitar 100 ton sampah masuk ke TPA di Kota Depok saat malam takbiran Idul Fitri 1444 Hijriah.
Sebelumnya lagi, media yang banyak menyorot masalah lingkungan, National Geographic.grid.id (19 Februari 2023) pun menurunkan berita berjudul “Tumpukan Sampah Semakin Mengancam Bumi, Bagaimana Cara Menerapkan Gaya Hidup Zero Waste?”. Penggalan beritanya antara lain, menyatakan bahwa dari riset KLHK hanya 7 persen sampah di Indonesia yang dapat dikompos dan didaur ulang. Sementara itu, 69 persen sisanya di timbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Dalam tulisan ini saya tak hendak membahas aneka masalah terkait pengelolaan sampah itu. Tapi terutama ingin menunjukkan kesalahan mengartikan TPA sebagai Tempat Pembuangan Akhir yang tampaknya kecil atau sepele tapi sebenarnya menunjukkan kekeliruan dalam pengetahuan dan paradigma para stakeholder dalam pengelolaan sampah.
Merujuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan berbagai peraturan turunannya yang relevan, TPA tidak diartikan sebagai Tempat Pembuangan Akhir tapi Tempat Pemrosesan Akhir, yakni tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
Contoh kesalahan mengartikan TPA sebagai Tempat Pembuangan Akhir dalam cuplikan-cuplikan berita di atas, lazim juga ditemukan dalam pemberitaan media-media lain terkait masalah pengelolaan sampah. Kesalahan itu boleh jadi berasal dari narasumber atau si wartawan sendiri.
Kesalahan mengartikan TPA itu juga kerap saya temukan dalam proposal skripsi mahasiswa terkait masalah pengelolaan sampah maupun dalam dokumen-dokumen kajian lingkungan yang disiapkan oleh konsultan. Pun demikian pada diskusi tentang sampah pada WAG kalangan cerdik pandai yang saya ikuti. Bahkan dalam artikel-artikel jurnal ilmiah yang membahas masalah pengelolaan sampah di Indonesia, TPA ini juga sering diartikan sebagai Tempat Pembuangan Akhir.
Menurut saya kekeliruan itu setidaknya mengindikasikan dua hal. Pertama, belum tersosialisasinya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah beserta peraturan turunannya kepada para stakeholder terkait dan masyarakat umumnya. Kedua, berhubungan dengan hal pertama, belum berubahnya paradigma terkait pengelolaan sampah dalam masyarakat dari “dibuang” menjadi dikelola dan “diproses” dengan metode 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Menurut Raharjo et. al (2016) pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan adalah paradigma lama dalam pengelolaan sampah. Paradigma baru yang mengacu pada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 menjadikan pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri atas pengurangan dan penanganan sampah.
Pengurangan sampah dapat dilakukan dengan metode 3R yang dapat dilakukan di sumber atau di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST). Sedangkan penanganan sampah dapat dilakukan melalui pemilahan sampah berdasarkan jenisnya, pengumpulan, pemindahan, dan pengangkutan sampah dari sumber ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) atau dari TPS menuju Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).
Di lokasi TPA, sampah organik, bisa diproses menjadi kompos yang antara lain dimanfaatkan untuk taman-taman kota, sedangkan sampah anorganik-nya dapat pula dikumpulkan pemulung untuk dijual ke pengepul terdekat. Paling baru adalah sampah yang kemudian diproses menjadi energi alternatif terbarukan pengganti batu bara, refused derived fuel (RDF). Ini pertama kali di Indonesia dilakukan di TPA Jeruklegi, Cilacap, Jawa Tengah sejak Juli 2020. Banyak daerah saat ini akan mencontoh teknologi RDF ini, termasuk Kota Padang.
Target pengelolaan sampah yang ingin dicapai dalam kebijakan strategis nasional adalah 100 persen sampah terkelola dengan baik dan benar pada tahun 2025 (Indonesia Bersih Sampah). Ini diukur melalui pengurangan sampah sebesar 30 persen dan penanganan sampah sebesar 70 persen pada tahun 2025.
Tampaknya target tersebut sulit dicapai mengingat belum tersosialisasinya secara luas dan baik paradigma baru pengelolaan sampah. Oleh karena itu, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) terkait paradigma baru dan pembiasaan perilaku 3R dalam pengelolaan sampah perlu lebih digencarkan. Untuk itu, perlu peningkatan kolaborasi antarstakeholder dan partisipasi masyarakat luas. Dengan demikian, jumlah sampah yang diangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dari hari ke hari semakin sedikit. *