Oleh: Rafnel Azhari
(Dosen Universitas Andalas)
Seminggu pasca-Lebaran, suasana mudik masih terasa dalam ramainya arus balik. Jumlah masyarakat Indonesia yang melakukan mudik pada Idulfitri 1444 H tahun 2023 ini diprediksi pemerintah mencapai 123 juta warga. Jika angka prediksi pemerintah benar adanya, ini adalah peristiwa mudik terbesar sepanjang sejarah bangsa kita.
Dari Peristiwa Kultural Sampai ke Alienasi
Mudik bukan sekadar peristiwa biasa bagi warga bangsa, tetapi telah menjadi suatu momen penting dan sakral. Para perantau cendrung akan melakukan usaha terbaik agar bisa melakukan perjalanan mudik. Saya sering mendengar kawan yang merantau mengatakan bahwa dia akan mengusahakan apa pun demi bisa mudik. Begitu pentingnya mudik bagi mereka.
Mudik berasal dari bahasa melayu, udik yang berarti “hulu” atau “ujung”. Karena memang mudik pada awalnya adalah tradisi masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sungai, di mana mereka sering secara beramai-ramai pergi ke hilir sungai dengan perahu. Setelah urusan di hilir selesai, mereka akan bersama-sama kembali menuju hulu pada sore harinya. Peristiwa menuju hulu inilah yang mereka sebut dengan mudik.
Sebagaimana masa lampau dalam tradisi orang Melayu, pada saat sekarang hilir juga adalah jalan juang untuk mencari peruntungan, hilir adalah tempat merantau untuk mencari nafkah guna kelangsungan kehidupan, sedangkan hulu adalah asal muasal kita semua. Secara psikologis orang-orang butuh untuk menengok ke asalnya. Di sana bertabur kerinduan dan kenangan. Sehebat apa pun kehidupan di hilir, ke mudik adalah tempat kembali. Di sanalah akar kita semua.
Meskipun demikian, dalam konteks kekinian, peristiwa mudik tidak lagi bisa disamakan secara substansi dengan tradisi orang Melayu masa lampau. Peristiwa mudik sekarang sebenarnya menunjukkan dua hal. Pertama, mudik adalah gejala struktural yang mempertontonkan kegagalan negara dalam menciptakan pekerjaan dan nilai tambah di hulu (desa) tempat kebanyakan kita berasal sehinga sebagian kita harus “terusir” dari akar untuk mencari peruntungan nasib di hilir (kota) yang kadang tidak selalu ramah. Kedua, peristiwa mudik menunjukkan modal sosial warga bangsa yang masih tinggi. Meskipun desa bukan lagi tempat mereka berharap karena sumber daya alam yang semakin habis, akses terhadap tanah yang semakin hilang karena perkebunan-perkebunan monokultur, dan berbagai bentuk investasi orang kota yang begitu masif terjadi di desa-desa, mereka tetap ingin datang ke kampung halaman yang mungkin sudah kehilangan sebagian halamannya.
Kehilangan akses terhadap lahan sebagai sumber daya penting, jelas telah membuat warga desa teralienasi dan harus menyingkir ke kota, baik karena keinginan ataupun karena keterpaksaan. Faktanya hampir 5,1 juta rumah tangga petani dari sektor pertanian telah tersingkir karena ketiadaan akses yang cukup terhadap lahan pertanian semenjak 2003-2013 (BPS, 2013). Jumlah ini saya duga akan jauh lebih besar lagi kita temukan pada saat sekarang jika sensus pertanian terbaru telah selesai. Kenapa mereka kita sebut tersingkir? Tidak lain karena proses hilangnya sejumlah besar mata pencarian petani tersebut karena design besar transformasi ekonomi yang seharusnya membuat mereka berpindah ke lapangan kerja produktif yang menjanjikan masa depan. Akhirnya, mereka berpindah ke sektor lain, seperti menjadi buruh di kota atau ke sektor informal lain yang tak kalah pelik.
Sensus pertanian 2013 yang dilakukan BPS juga mencatat bahwa kepemilikan lahan pertanian pada golongan rumah tangga gurem hanya sebesar 0,2 ha. Dengan luasan lahan tersebut, hampir tidak ada harapan masa depan di desa bagi pemuda tani. Mereka menjadi tersingkir karena faktor struktural. Gejala inilah yang disebut secara teoritis sebagai alienasi.
Mudik Transformatif
Jika lahan dan sumber daya sudah tidak tersisa untuk mereka di desa, warga bangsa atau para pemudik tersebut masih memiliki satu modal kuat, yakni modal sosial. Ikatan yang kuat dengan desa harus digunakan untuk menjadi energi bersama membangun desa. Mudik tidak hanya menjadi ajang silaturahmi biasa, tetapi juga sebagai bentuk pencarian jalan perlawanan dan sekaligus reformasi struktural bagi perbaikan tata kehidupan warga desa. Masih terdapat sebagian pemudik yang memperoleh keberuntungan lebih baik di kota. Mereka punya modal ekonomi yang lebih besar.
Melalui kebersamaan kita harus menggunakan kekuatan ini untuk mewujudkan pembangunan desa yang inklusif. Saya mengusulkan beberapa agenda aksi di desa yang bisa menjadi pijakan awal untuk membuat mudik menjadi lebih transformatif bagi desa dan ekonomi warganya berdasarkan pada problem struktural yang sedang kita hadapi di desa.
Pertama, para pemudik di masing-masing desa mesti bersatu untuk mengusahakan penguatan kapasitas desa agar dapat mendayagunakan basis-basis kekuatan produktif di pedesaan. Para pemudik perlu melakukan konsolidasi warga dan perangkat desa guna membentuk kelembagaan di desa yang bisa mengkonsolidasikan lahan pertanian atas nama desa yang bisa dikelola untuk kepentingan bersama ataupun dapat dipergilirkan kepada warga desa yang tuna lahan. Upaya ini sekaligus menyadarkan warga agar tidak menjual lahan pertanian kepada pihak luar. Banyak skema yang bisa dijalankan, termasuk penggunaan dana desa dan juga bisa dalam bentuk wakaf lahan. Jika pada konteks ini dibentuk tempat wisata di desa, pemudik secara bersama-sama bisa memastikan bahwa nilai tambah wisata hanya didapatkan oleh warga desa untuk sebesar-besarnya kepentingan desa.
Kedua, para pemudik sebagai bagian dari warga desa yang kosmopolit dan cendrung memiliki jaringan sosial ekonomi yang terbuka dan luas perlu melakukan pembinaan kepada petani dan warga desa lainnya agar dapat meningkatkan nilai tambah usaha pertanian maupun nonpertanian. Proses peningkatan nilai tambah ini bisa dilakukan melalui konsolidasi lahan bersama petani sehingga menjadi lebih luas dengan skala ekonomi yang lebih baik, termasuk juga melakukan kemitraan yang adil dan terbuka dengan pihak luar melalui jaringan para pemudik.
Ketiga, para pemudik perlu terus menjadi pressure group untuk menekan dan mengawasi perangkat desa sampai kepada kepala daerah agar bekerja dengan baik, jujur, dan adil demi kemajuan dan kesejahteraan warga desa. Segala bentuk pengingkaran dan kebijakan yang menyingkirkan warga desa harus dilawan. Para pemudik bisa menjadi kekuatan sosial yang efektif untuk melakukan hal ini. Semoga mudiknya para perantau menjadi mudik yang transformatif.