Oleh: ALFITRI
(Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)
Akhir 1980-an saya dan sejumlah teman baru tamat sarjana dan menjadi dosen muda di almamater. Selain menikmati status baru itu, kami pun bersiap untuk melanjutkan studi, baik di luar maupun dalam negeri. Demikianlah. Awal 1990-an satu per satu kami pun mulai melanjutkan studi ke tingkat magister. Ada yang ke Australia dan ke Inggris. Pun ada yang ke Unpad di Bandung dan UI di Jakarta. Saya sendiri melanjutkan studi di UGM Yogyakarta.
Waktu itu, Pak Abdul Aziz Saleh dosen kami yang menamatkan doktornya di Ohio State University, AS, mewanti-wanti bahwa kalau pergi lanjut kuliah di manapun untuk tidak hanya mencari ilmu dan mendapatkan ijazah, tapi yang juga penting adalah “get the culture”. Mengenal budaya masyarakat tempat berkuliah itu, menyesuaikan diri dengannya dan mengambil bagian yang baik dari budaya mereka.
Menurut Utami (2015), proses adaptasi antar budaya merupakan proses interaktif yang berkembang melalui kegiatan komunikasi individu pada lingkungan sosial tertentu. Itu pula yang saya lakukan sejak Agustus 1990 dan selama dua tahun berikutnya. Sebagai mahasiswa UGM dan warga baru Yogya, melalui interaksi sehari-hari saya pun mulai mengenal budaya Jawa. Tidak hanya sebagai pengetahuan, tapi juga sebagai praktik dalam pergaulan keseharian di kampus dan lingkungan masyarakat.
Ini terutama yang terkait dengan tata krama dan sopan santun. Mana yang patut dan tidak patut dan sebagainya. Paling sederhana, misalnya, dengan sering menyapa dengan sebutan “mas” ke yang pria dan “mbak” ke yang perempuan. Tentu kecuali ke dosen. Kalau ke dosen tentu memanggilnya pak, bu, atau prof.
Selain itu, misalnya, dengan membiasakan memakai jempol untuk menunjuk sesuatu. Baik dalam menunjuk ke suatu arah maupun menunjuk orang atau benda tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan di Padang, daerah asal saya, yang menggunakan telunjuk, atau bahkan sebagian ada yang dengan muncung atau puncak hidungnya.
Selain itu, saya pun belajar mengerti kosakata -kosakata tertentu bahasa Jawa sesuai dengan maknanya dalam budaya orang Jawa. Tentang kata “besok” misalnya, yang biasa diucapkan “sesok” atau “sesuk” dalam bahasa Jawa.
Dari pengalaman dan maupun penjelasan ibu kos saya agak cepat mengerti bahwa kata “sesok” itu tidak selalu berarti “besok” seperti dalam pengertian bahasa Indonesia. Dalam pengertian orang Jawa “sesok” itu dapat berarti kapan saja di hari-hari yang akan datang. Jadi, kalau diucapkan di hari Senin “sesok” atau besok itu belum tentu diartikan sebagai Selasa, tapi bisa saja Rabu, Kamis, Jumat, dan seterusnya.
Karena cepat paham dengan makna kata “sesok” atau besok dalam bahasa Jawa itu saya tidak pernah kena marah oleh Dr. Loekman Soetrisno, pembimbing tesis saya. Jadi kalau di suatu hari Senin saya nongol ke kantornya untuk konsultasi dan beliau teriak “sesok ya…” maka saya tidak akan datang lagi pada besoknya di hari Selasa, tapi pada beberapa hari kemudian. Random saja. Kalau beliau tidak sedang sibuk biasanya langsung dilayani untuk konsultasi.
Tapi beberapa teman saya yang tidak paham dengan makna kata besok atau “sesok” dalam bahasa Jawa tentu menjadi korban dari ketidaktahuannya itu. Seorang teman datang untuk bimbingan tesis di hari Rabu. Pas baru nongol di pintu, Pak Loekman sudah teriak “sesok ya…”. Eh, besoknya, hari Kamis dia sudah nongol lagi di kantor Pak Loekman, ya kena teriakan “sesok…” lagi. Demikianlah, berulang kali, sampai seseorang memberitahunya bahwa besok atau “sesok” itu belum tentu berarti besok, tapi dapat saja hari-hari lain sesudahnya.*