Oleh: ALFITRI
(Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)
Masalah sampah, khususnya sampah plastik, telah menjadi perhatian dan keprihatinan global. Tak luput di antaranya Indonesia. Bahkan saat ini Indonesia masih dikenal sebagai penghasil sampah plastik di laut terbesar kedua di dunia. Penelitian Jambeck (2015) dari Universitas Georgia AS menyebutkan lima negara pemasok sampah plastik terbesar ke lautan, yakni Tiongkok, Indonesia, Filipina, Vietnam, dan Srilanka.
Seperti diketahui, dari seluruh sampah yang tidak terkelola dengan baik di daratan, sebagiannya dibuang ke sungai hingga berakhir di lautan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) tahun 2020 menunjukkan bahwa tiap per meter persegi lautan Indonesia sudah tercemar oleh sekitar 1.772 gram sampah. Jadi, Indonesia dengan lautannya seluas lebih kurang 3,25 juta km2, diestimasi jumlah sampahnya secara keseluruhan mencapai 5,75 juta ton. Sebanyak 35,4 persen di antaranya berupa sampah plastik.
Karena sifatnya yang mengapung di lautan sampah plastik itu dapat hanyut ke berbagai penjuru dunia. Analisis pengamatan terhadap label botol dan kemasan dari sampah plastik yang terdampar dan menumpuk di pantai-pantai Seycheles, Afrika menunjukkan bahwa sebagian besar di antaranya berasal dari Indonesia (nationalgeographic.grid.id, 21/01/23).
Sampah lainnya yang ditemukan adalah barang tak terpakai yang dapat terapung seperti sandal dan aneka barang rumah tangga berukuran kecil lainnya. Sebelum terdampar di negara lain yang ribuan kilometer jaraknya itu, peneliti memperkirakan sampah plastik Indonesia itu terombang-ambing di lautan selama enam bulan sampai dengan dua tahun lebih (Kompas.com, 28/01/23).
Konferensi Laut PBB di New York tahun 2017 memperkirakan sampah plastik di lautan telah membunuh jutaan burung laut, ratusan ribu mamalia laut, kura-kura dan ikan dalam jumlah besar setiap tahun. Dalam jangka panjang, sampah plastik yang telah berubah menjadi partikel sangat kecil yang bersifat racun (mikro plastik) juga akan berbahaya bagi manusia. Mikro plastik itu akan termakan oleh ikan-ikan yang sebagiannya nanti tentu juga akan dikonsumsi oleh manusia.
Guna mengatasi dan mencegah bahaya sampah plastik itu, di tingkat global, badan PBB untuk Lingkungan (UNEP) telah mengeluarkan peta jalan yang dapat diikuti oleh seluruh negara di dunia. Dalam dokumen yang berjudul Single-Use Plastics: A Roadmap for Sustainanbility ini menawarkan empat program aksi: Pertama, perbaikan sistem pengelolaan sampah. Kedua, promosi produk yang ramah lingkungan. Ketiga, pembangkitan kesadaran masyarakat. Keempat, strategi pengurangan secara sukarela.
Secara nasional, Indonesia sendiri pun sudah memiliki beberapa kebijakan dalam upaya pengurangan sampah (plastik) ini. Pertama, misalnya, kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga seperti yang dimuat dalam Peraturan Presiden RI No. 97 Tahun 2017. Strateginya di sini, antara lain adalah penguatan keterlibatan masyarakat melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), penerapan dan pengembangan sistem insentif dan disinsentif, serta penguatan komitmen dunia usaha melalui penerapan kewajiban produsen dalam pengurangan sampah.
Terkait komitmen dunia usaha, misalnya, Kementerian LHK pada tahun 2019 telah pula menerbitkan peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Pengurangan sampah itu dilakukan melalui pembatasan timbulan, pendauran ulang, dan pemanfaatan kembali sampah (3R). Pembatasan timbulan sampah dilakukan dengan menggunakan produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang mudah diurai oleh proses alam dan menimbulkan sampah sesedikit mungkin.
Secara khusus, Kementerian LHK pada tahun 2020 juga telah mengeluarkan rencana aksi strategis pengurangan sampah plastik. Salah satu yang ditekankan pada rencana aksi strategis ini adalah pelibatan dan kolaborasi di antara stakeholder dengan target pengurangan sampah plastik sebesar 70 persen pada tahun 2025.
Melalui peraturan turunannya di tingkat lokal, sejumlah usaha ritel dan toko seperti Matahari Department Store dan Toko Buku Gramedia, misalnya, telah mulai mengganti kantong belanjanya dari berbasis plastik ke kantong kertas. Selain itu, ada pula ritel yang menggantinya dengan kantong plastik yang mudah terurai (biodegradable). Untuk layanan delivery atau gofood, sebagian restoran dan kafe juga telah mengganti kemasan plastik atau styrofoam dengan kemasan berbasis kertas.
Anggota masyarakat atau konsumen pun dapat berpartisipasi pada pengurangan sampah plastik ini. Antara lain dengan membiasakan membawa kantong belanja sendiri atau diet kantong plastik dengan mengurangi konsumsi kantong plastik. Selain itu, dapat pula dengan membiasakan membawa tumbler atau botol air sendiri dalam aktivitas ke sekolah, kantor dan sebagainya.
Pemerintah Kota Padang, misalnya, sejak tahun lalu telah pula mengeluarkan surat edaran yang meminta agar hidangan makanan dan minuman dalam rapat-rapat/pertemuan tidak lagi menggunakan pembungkus/kemasan plastik. Dengan semakin meluasnya partisipasi dari berbagai pihak seperti itu, semoga target pengurangan sampah plastik dapat dicapai.***