Budi Saputra
(Alumnus Universitas PGRI Sumatera Barat)
Jauh sebelum Festival Pamalayu digelar pertama kali pada tahun 2019, nama Dharmasraya begitu harum dengan sejarah penamaan dari Prasasti Padang Roco, potensi alamnya, serta masyarakatnya yang multikultural. Berstatus sebagai kabupaten hasil pemekaran pada tahun 2004 maka daerah yang didominasi tanah jenis Podzolik Merah Kuning (PMK) ini, telah banyak mengukir tinta emas dengan meraih berbagai penghargaan seperti penghargaan Transmigration Award “Makarti Nayomata”, penghargaan daerah pemekaran terbaik, hingga menjadi pionir menciptakan desa pertama yang bebas asap rokok di Indonesia atas nama Desa Sitiung.
Komposisi alam, budaya, dan masyarakat di bumi Ranah Cati Nan Tigo ini bisa dibilang menyimpan daya magis yang luar biasa. Berada di jalur lintas Sumatera serta dipapah lilitan Sungai Batanghari, daerah yang kini dipimpin oleh Sutan Riska Tuanku Kerajaan ini bagai menunjukkan tarian peradabannya tanpa cela kepada jutaan pasang mata yang menatap dan mereguk dingin embun sari pati usianya. Bagi yang menyelami kancah sejarah PDRI, akan bersualah dengan kisah Dharmasraya sebagai daerah lintasan rombongan Syafruddin Prawiranegara, sekaligus tercatat sebagai jejak republik yang sempat menjadi ibu kota negara selama empat hari.
Berkaca pada catatan di atas maka bicara tentang Festival Pamalayu serta tentu saja bicara tentang kekayaan nilai budaya dan sejarah panjang bumi Dharmasraya. Jejak sejarahnya begitu masyhur dengan harum petilasan rentetan peristiwa manusia yang berjalin kelindan dalam segala pilar hidup yang memapahnya.
Setelah sukses pada gelaran tahun 2019, pada gelaran Festival Pamalayu 2022 ini, semakin mengukuhkan bahwa Dharmasraya merupakan daerah yang mashyur dan terbuka, serta merentangkan sayap lebarnya melalui panduan sejarahnya yang mengundang decak kagum orang-orang yang membaca tentang dirinya atau menyambanginya dengan berdiri penuh bangga di tepian Sungai Batanghari yang sarat nilai sejarah serta merupakan pusat peradaban masa silam.
Bertajuk Festival Pamalayu Kenduri Swarnabhumi 2022, kegiatan yang ditaja oleh Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek bersama Pemerintah Kabupaten Dharmasraya ini, menetapkan “Keselaran Alam Raya” sebagai tema dari segala rangkaian kegiatan yang menarik animo berbagai kalangan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Setidaknya ada tiga hal penting yang disampaikan sang inisiator, Bupati Sutan Riska Tuanku Kerajaan pada gelaran jilid dua ini, yaitu belajar peradaban, menjaga lingkungan, serta memperkuat sosial budaya.
Wilayah Transmigrasi dan Tujuan Ekspedisi Pamalayu
Dianugerahi bentangan alam yang kaya akan benda tambang, tanah-tanah perkebunan, serta hutan hujan tropis, menjadikan Dharmasraya sebagai salah satu wilayah transmigrasi yang sukses menyatukan berbagai latar belakang penduduknya yang multikultural. Beberapa wilayah seperti Nagari Koto Tinggi, Sitiung dan Timpeh, telah menjadi rumah yang nyaman bagi masyarakat transmigran yang sempat hidup kesusahan dan butuh penyesuaian di wilayah yang dulunya masih banyak hutan belantara. Namun seiring berjalannya waktu, dengan kerja keras menggarap lahan seperti dengan berkebun kelapa sawit dan karet, taraf kehidupan masyarakat pun meningkat. Walau penduduknya terdiri dari beragam etnis, mereka tetap berpegang teguh pada kebudayaan dan adat suku masing-masing tanpa meninggalkan kebudayaan dan adat istiadat yang berlaku di Dharmasraya sebagai bagian dari daerah Minangkabau. Persaudaraan pun terjalin. Para penduduk memahami betul pepatah, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Seorang teman saya semasa kuliah, adalah petani kelapa sawit yang sukses, dan keluarga besarnya berasal dari Wonogiri, serta kini menetap di wilayah SP 3 Dharmasraya. Keluarga besarnya mula datang ke Dharmasraya pada tahun 70-an melalui program transmigrasi pada era-Presiden Soeharto. Meskipun terdampak dari pembangunan Waduk Gagah Mungkur Wonogiri, hal itu membawa berkah bagi keluarganya. Mereka begitu nyaman tinggal di Dharmasraya sebagai rumah kedua setelah kampung halaman. Sebab dari tahun ke tahun, Dharmasraya tak penah kehabisan cara untuk mendandani peradabannya, dan terus menunjukkan kemilau cahayanya sebagai salah satu wilayah transmigrasi di Sumatera. Beberapa momentum nostalgia antara warga transmigran, dengan warga asal kampung halaman pun tergores abadi dalam jejak digital berbagai pemberitaan. Salah satunya adalah studi banding yang dilakukan wakil rakyat dan pejabat Dharmasraya ke Wonogiri, yang merupakan kampung halaman, dan kembali menjemput bertandan-tandan ingatan tentang bedol desa Waduk Gajah Mungkur yang terjadi beberapa dekade silam.
Dari ilustrasi di atas, tentu inilah yang sebetulnya hendak diceritakan oleh Festival Pamalayu bagai menawarkan kitab-kitab tebal penuh makna yang tak akan membuat orang bosan membacanya. Berangkat dari sejarah Ekspedisi Pamalayu yang dilakukan Kerajaan Singasari pada tahun 1286, Dharmasraya dulunya adalah wilayah yang dijadikan tujuan dari sebuah ekspedisi yang lebih dikenal sebagai diplomasi kultural antara Kerajaan Singasari di Jawa dengan Kerajaan Melayu di Sumatera.
Ekspedisi yang dipimpin Kebo Anabrang ini bukanlah penaklukan, bukan adu kekuatan militer, serta bukan pertumpahan darah untuk menguasai wilayah lalu tunduk terhadap Kerajaan Singasari. Ekspedisi Pamalayu tak ubahnya adalah semacam diplomasi kultural yang memiliki nilai-nilai kedamaian, terbuka, dan adanya kesepahaman antara Kerajaan Singasari dan Kerajaan Melayu. Ekspedisi ini juga berarti muhibah budaya antara Jawa (Yavadwipa) dan Sumatera (Swarnadwipa).
Adanya prasasti Arca Amoghapasa yang dihadiahkan Kertanagara kepada Tribhuwanaraja, sungguh adalah wujud kasih sayang yang terpahat abadi di dinding sejarah abad berlari, sungguh adalah tanda persahabatan, pertukaran, dan akulturasi budaya. Di mana sebagai balasan atas hadiah itu, Tribhuwanaraja menghadiahkan dua putrinya kepada Singasari yang lantas melahirkan keturunan campuran Melayu Jawa.
Apabila pada masa silam telah terjadi akulturasi budaya yang menjadi tinta emas sejarah, begitu juga dengan wajah Dharmasraya masa kini. Akulturasi budayanya bagai menawarkan sebuah paviliun megah yang ada di beranda Sumatera. Di bidang kesenian misalnya, akulturasi terlihat di mana masing-masing etnis mencampurkan kesenian mereka dalam acara-acara tertentu. Kesenian seperti reog, silat, randai, wayang kulit, terawat dengan baik dari wujud keikutsertaan masyarakat untuk saling menjaga kebudayaan yang ada. Misalnya masyarakat suku Minangkabau ikut serta dalam kesenian masyarakat suku Jawa, dan begitu juga sebaliknya.
Di samping itu, beberapa tradisi kearifan lokal pun dipupuk, dan tumbuh ranum bagai kebun-kebun yang mengeluarkan segala khazanahnya penuh warna. Tradisi bakawu adat, tradisi sarasean masyarakat transmigran, tradisi panen ikan larangan, dan tradisi lokal lainnya, membuat siapa pun yang datang akan terkesima. Seorang teman saya yang sekarang menjabat sebagai Wali Nagari Sipangkur, turut memberikan citra yang positif tentang Dharmasraya dengan tradisi layang-layang malam yang begitu unik, sekaligus mendongkrak indeks kebahagiaan masyarakat, dan sebagai percepatan pertumbuhan UMKM di sektor rill.
Belajar Bersama dan Menjaga Alam
Festival Pamalayu Kenduri Swarnabumi 2022 tak ubahnya medan magnet peradaban dunia yang menawarkan ide-ide segar dan penuh perhitungan. Saya kira ini sebuah langkah awal kedigdayaan Dharmasraya melalui seorang pemimpin muda dan meyakini betul bahwa dari labirin festival ini akan terciptalah keselarasan yang menjadi identitas imajiner atau identitas pola pikir bagi masyarakat Dharmasraya. Timbul kesadaran timbul kebanggaan bahwa Dharmasraya adalah negerinya raja-raja yang memiliki nilai kebudayaan dan sejarah panjang yang sublim.
Berpusat di Area Candi Pulau Sawah, Siguntur, Festival Pamalayu menyajikan pesan-pesan kehidupan yang membuat ribuan pasang mata terpana, terkesima, betapa negeri ini memiliki banyak elemen dengan nilai jual tinggi dalam membangun peradaban baru. Di bidang sejarah budaya, jangan tanyakan lagi. Inilah pintu masuk yang selaksa memasuki gerbang musim penuh warna menuju negeri multikultural yang menyimpan banyak situs purbakala di sepanjang aliran Sungai Batanghari. Begitu juga revitalisasi puluhan rumah gadang yang telah dimulai sejak tahun 2019, menunjukkan betapa negeri ini memiliki perhatian tinggi terhadap pelestarian budaya. Di bidang perkebunan, Dharmasraya adalah gurunya peremajaan kelapa sawit dan contoh bagi daerah lain di Sumatera Barat. Begitu pula potensi SDA yang begitu kaya seperti emas, pasir kuarsa, bijih besi, batu kapur, batubara, dan benda tambang lainnya, yang sangat berpotensi melambungkan Dharmasraya sebagai negeri tambang yang mashyur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Dharmasraya hari ini adalah Dharmasraya yang menjadi pionir dalam membangun peradaban di suatu negeri atau kota. Saya jadi teringat Batavia. Negeri yang dulunya subur dengan kanal-kanal yang sejernih porselin, serta kapal-kapal dagang yang merasakan musim yang bermerkaran bagai mekar putih jambu di Teluk Batavia. Sekonyong-konyong mendapat julukan ‘Ratu dari Timur’ dari orang-orang Eropa. Kecantikan Batavia kala itu sungguh sangat mempesona.
Sebagaimana yang saya sampaikan pada awal tulisan, Dharmasraya sedang mempertunjukkan tarian peradabannya tanpa cela. Ruh dari festival ini tentu saja alam takambang jadi guru. Keselarasan alam yang ada di bumi ini benar-benar menjadi perhatian untuk dijaga khazanahnya yang adiluhung. Festival Pamalayu seakan memiliki napas panjang, dan memiliki perhatian penuh terhadap revitalisasi kebudayaan, terhadap keindahan, kerasian alam, dan lingkungan. Orang-orang datang, orang-orang berbondong-bondong untuk belajar bersama dalam kegiatan ekskavasi, menapaktilasi sejarah panjang dengan pintu masuknya melalui Ekspedisi Pamalayu dan Sungai Batanghari.
Sungai Batanghari adalah sumber peradaban manusia. Hikmar Farid selaku Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek mengatakan bahwa di sepanjang sungai ini tersimpan peninggalan nenek moyang yang luar biasa. Selain candi dan situs purbakala lainnya, juga ada sumber pengetahuan tradisional mengenai alam dan lingkungan, serta kearifan lokal yang diwariskan turun temurun,
Terkait Sungai Batanghari, Dharmasraya dengan Festival Pamalayu, memiliki modal besar untuk membangkit batang tarandam. Pada tahun 2019, sungai yang dulunya menjadi pusat perdagangan jalur rempah, pernah disinggung akan didaftarkan ke UNESCO sebagai warisan dunia. Bupati Sutan Riska Tuanku Kerajaan, kala itu menabuh genderang perjuangan untuk membawa Festival Pamalayu, dan Sungai Batanghari sebagai salah satu warisan dunia yang harus dilindungi, dan diberdayakan oleh masyarakat dunia.
Untuk mewujudkan semua itu, tentu butuh sinergi dari pemerintah daerah dan pusat, serta dari semua stake holder yang kelak membuat Dharmasraya berada di puncak imperium kebudayaan yang membuka jendela dunia. Festival Pamalayu hari ini adalah wujud nyata untuk menciptakan keselarasan alam raya. Sungai Batanghari sebagai urat nadi festival ini, diharapkan bebas dari pencemaran dan menciptakan kesadaran kepada masyarakat untuk cinta lingkungan, untuk cinta nilai sejarah budaya yang begitu mahal harganya. Adanya para pelajar sekolah dilibatkan untuk belajar di lapangan, adalah upaya menyiapkan generasi emas yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur sejarah dan budaya, yang akan menjaga marwah Ranah Cati Nan Tigo di tempat terhormat, serta memberikan makna yang kekal dari masa ke masa.
Festival Pamalayu adalah pintu masuk peradaban baru yang ranum oleh nilai-nilai kehidupan. Dengan berbagai situs purbakalanya, serta rencana pembangunan museum di area Candi Pulau Sawah pada tahun 2023, diharapkan akan menjadi tumpuan wisata sejarah budaya yang kelak begitu masyhur, serta dikunjungi oleh masyarakat dunia.
September, 2022
Biodata Penulis:
Budi Saputra lahir di Padang, 20 April 1990. Ia memenangkan berbagai perlombaan menulis di tingkat daerah dan nasional. Menulis di berbagai media massa seperti Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Haluan Riau, Majalah Sabili, Jurnal Bogor, Lampung Post, Suara Pembaruan, Tabloid Kampus Medika, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Jurnal Nasional, Indo Pos, Batam Pos, Lombok Post, Tanjung Pinang Pos, Magrib.id, Marewai.com, Kompas, Kompas.id (digital), Koran Tempo. Diundang pada Ubud Writers and Readers Festival 2012, Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) 5 Palembang (2011), dan PPN 6 di Jambi (2012).