Oleh: Roma Kyo Kae Saniro
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi di lingkungan sekitar. Konsep gender menunjukkan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam konstruksi sosial yang tercermin melalui kehidupan sosial yang berawal dari lingkungan, salah satunya adalah lingkungan keluarga. Melalui konsep gender, perempuan kadang menjadi objek seperti yang diungkapkan oleh Beauvoir (2011), bahwa perempuan adalah seks kedua karena dianggap lemah dibandingkan laki-laki. Melalui pemberian posisi ini seakan menjadikan perempuan adalah objek yang tidak mendapatkan posisi untuk setara dalam masyarakat. Adanya pembagian sikap perempuan yang harus lembut, tidak agresif, halus, tergantung, pasif, dan bukan pengambil keputusan. Namun, berbeda dengan laki-laki yang diasosiasikan agresif, aktif, mandiri, pengambil keputusan, dan dominan.
Kontrol sosial kepada perempuan lebih ketat daripada laki-laki. Terlebih, dalam lingkungan masyarakat patriarkal yang menjunjung tinggi bahwa posisi laki-laki berada di atas perempuan. Salah satunya melalu instansi perkawinan yang melegistimasikan dan memberikan wacana bahwa perempuan seakan harus mengikuti pria sebagai imam dalam keluarganya. Namun, permasalahan terjadi ketika tidak semua apa yang diperintahkan atau hal yang dilakukan oleh laki-laki sebagai imam dalam keluarga adalah sebuah kebenaran absolut. Hal ini dapat dilihat melalui sebuah karya sastra yang dianggap sebagai cerminan masyarakat yang menggambarkan realitas dari masyarakat.
Kekerasan dapat didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (KBBI daring, 2016). Selanjutnya, seseorang disebut mengalami kekerasan jika orang tersebut menderita kerugian, baik secara fisik maupun psikologis, terutama emosional, tidak hanya dipandang dari aspek legal, tetapi juga sosial dan kultural. Kekerasan ini dalam bentuk representasi. Representasi dapat dimaknai sebagai esensi dari sebuah proses yang bermakna sebagai hasil produksi dan yang dipertukarkan dalam anggota masyarakat, intinya, dapat dipahami bahwa representasi adalah cara untuk memproduksi makna (Hall, 2003).
Kekerasan ini ditampilkan melalui sastra, salah satunya adalah dalam film Darlings (2022). Film ini merupakan film komedi gelap, artinya film yang berusaha menyajikan gaya komedi yang menyorot subjek yang dianggap tabu. Darlings merupakan film India yang dirilis pada tanggal 5 Agustus 2022 di Netflix. Film ini disutradarai oleh Jasmeet K Reen dan dibintangi oleh Alia Bhatt sebagai pemeran utama serta tokoh lainnya Vijay Varma, Roshan Mathew, dan Shefali Shah.
Darlings menampilkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh seorang istri yang merupakan seorang perempuan. Film ini mengisahkan tokoh utama perempuan yang bernama Badru yang menikah dengan pacarnya yang bernama Hamzah. Namun, kecanduan Hamzah dengan minuman beralkohol menjadikan dirinya untuk selalu berbuat kekerasan kepada istrinya, Badru. Kekerasan yang dilakukan oleh Hamzah kepada Badru adalah melalui beberapa hal. Hal ini didukung oleh pendapat Harkristuti Harkrisnowo dalam Martha (2003) mengungkapkan bahwa adanya beberapa kekerasan yang dialami oleh perempuan, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, dan kekerasan seksual.
Representasi kekerasan melalui serangan fisik dan pemukulan yang sering dilakukan setelah tokoh Hamzah meminum minuman beralkohol. Hal ini ditampilkan pada menit -2.08.33, tokoh Hamzah yang mencekik Badru karena masalah masakan yang keras sehingga membuat Hamzah tidak nyaman. Mencekik merupakan kekerasan fisik sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit atau luka berat (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).
Selain itu, pada menit ke -1.48.23 sampai dengan menit ke -1.45.40, ketika tokoh Hamzah yang meminum alkohol, ia melihat adanya sepatu merah Badru. Hamzah menganggap Badru berhubungan dengan Paman Raman untuk menyepakati pembangunan kembali apartemen yang mereka tempati karena sebelumnya, hanya Hamzah yang tidak menyepakati pembangunan kembali apartemen tersebut.
Badru menuangkan semangkuk kacang yang disajikan oleh Badru dan diakhiri dengan permainan tebak-tebakan dengan adanya ketukan heels sepatu yang melukai jari tokoh Badru. Tindakan ini merupakan kekerasan fisik yang merupakan pukulan dengan menggunakan benda berupa ujung heels tajam yang pada akhirnya membuat jari tokoh Badru terluka dan berdarah. Walaupun adanya pelabelan permainan yang diakui oleh Hamzah, tindakan yang dilakukan oleh Hamzah adalah sebuah representasi kekerasan fisik. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan tidak berdaya dan harus patuh kepada suaminya. Hal ini menunjukkan instansi pernikahan yang bersifat patriarkal dan memosisikan perempuan lemah yang dapat dijadikan objek kekerasan atas kemarahan akibat pengaruh alkohol.
Lalu, pada menit -1.12.30 sampai -1.09.-00, ketika Hamzah mengetahui orang yang melaporkannya atas kasus kekerasan yang dilakukan oleh Hamzah hingga Hamzah harus diperiksa polisi adalah Zulfi. Hamzah tidak menerima begitu saja dan ia berasumsi bahwa Badru memiliki hubungan dengan Zulfi. Oleh karena itu, Zufli menghubungi Badru dan pada akhirnya Badru memiliki ketakutan dengan menunggu kedatangan Hamzah di rumah. Hal ini pun dapat dikategorikan sebagai representasi tindak kekerasan psikologis atau jiwa. Melalui tindakan Hamzah yang datang ke rumah sambil berteriak dan memaksa membuka pintu, hal tersebut membuat tokoh Badru tertekan dan ketakutan akan kedatangan tokoh ini. Badru yang ketakutan akhirnya harus bersembunyi di toilet dan ditemukan oleh Hamzah. Hal ini sesuai dengan penjelasan kekerasan psikologis berupa ungkapan verbal atau tindakan yang dapat dikategorikan tidak menyenangkan dan membuat korban tertekan, ketakutan, bersalah, depresi, trauma, dan bahkan ingin bunuh diri (Harkristuti Harkrisnowo dalam Martha, 2003). Sikap Badru yang bersembunyi ketakutan di toilet merupakan representasi kekerasan jiwa yang dialami oleh tokoh Badru.
Hamzah tidak merasa bersalah terkait dengan tindakan yang dilakukannya. Selanjutnya, setelah menemukan tokoh Badru, tokoh Hamzah menjambak dan mendorong tokoh Badru yang sedang hamil hingga jatuh dari tangga sehingga ia harus keguguran. Penghilangan nyawa walaupun dalam bentuk janin jelas merupakan sebuah tindakan kekerasan fisik yang diterima oleh ibu yang mengandung janin tersebut. Hal ini pun dilakukan oleh tokoh Hamzah karena meminum alkohol. Tokoh Hamzah seakan tidak berubah dan terus meminum alkohol sehingga berdampak kepada kekerasan yang ia lakukan kepada istrinya. Selain itu, posisinya sebagai seorang suami seakan memberikan kebebasan untuk menyakiti istrinya alih-alih dengan alasan pengaruh alkohol. Perempuan tidak hanya mendapatkan kekerasan untuk tubuhnya sendiri, tetapi juga janin yang dikandungnya harus mendapat kekerasan tersebut.
Representasi kekerasan psikologis lainnya yang didapatkan oleh tokoh Badru adalah ancaman yang diberikan oleh Hamzah untuk membunuh tokoh Badru jika berani melawan dirinya sebagai seorang suami. Kembali lagi, walaupun alasan dengan alih-alih pengaruh konsumsi alkohol tersebut, Hamzah sebagai subjek dengan mudah untuk mengulang perilaku kekerasan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki seakan memiliki kekuasaan yang terbatas atas diri dari perempuan melalui instansi pernikahan. Namun, perlu dipahami bahwa adanya kekerasan kepada perempuan dapat mencakup hal luas yang tidak boleh hanya dipahami dalam batas kekerasan fisik, seksual, psikologis yang terjadi di dalam keluarga dan masyarakat, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin atau pemerkosaan dalam perkawinan, pelacuran, dan kekerasan perempuan yang dibenarkan oleh negara, dan di mana pun terjadi (Deklarasi PBB pasal 2).
Kekerasan yang terjadi pada perempuan terjadi dapat dikategorikan dalam tiga area, yaitu di dalam ranah rumah tangga (yang biasanya dilakukan oleh suami, anak, bapak, ibu, saudara), kekerasan yang terjadi di masyarakat, dan kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun di lingkungan keluarga. Jika dikaitkan dengan film Darlings, kekerasan yang diterima perempuan berada pada area di dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami. Tentunya, kekerasan terhadap perempuan di dalam lingkungan domestik harus ditangani segera karena merupakan hal yang sangat berat dan membahayakan diri perempuan, baik dalam fisik maupun psikis.
Discussion about this post