Oleh:
Ilham Aldelano Azre
Dosen Administrasi Publik FISIP Unand, Mahasiswa S3 Ilmu Administrasi FIA UI, Penerima Beasiswa BPI-LPDP
Hari ini publik Sumatera Barat disuguhi oleh pemberitaan tentang pengadaan barang di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Salah satu di antaranya adalah pengadaan sapi untuk kelompok tani. Pemberian sapi diwarnai oleh penolakan kelompok tani karena kondisi sapi yang dinilai tidak sesuai dan dianggap jauh dari kata ideal.
Harian Padang Ekspres menjadikan itu sebagai headline halaman utama dengan judul “Sapi Bantuan Provinsi Tuai Masalah”. Dalam berita tersebut juga dimuat pernyataan salah seorang ketua kelompok tani di Solok yang geleng-geleng kepala atas bantuan sapi yang diterima.
Bahkan Bupati Solok Epyardi Asda meminta aparat penegak hukum dan DPRD Provinsi Sumatera Barat melakukan pemeriksaan ke lapangan. Epyardi Asda selaku Bupati Solok sangat geram dan tidak mau jika masyarakat Kabupaten Solok dan kelompok penerima bantuan dijadikan korban kepentingan sekelompok orang demi meraup keuntungan.
Menurut penulis, kepala daerah lain di Sumatera Barat dapat meniru langkah bupati Solok ini dalam mengawal bantuan sapi kepada kelompok tani di daerahnya. Jangan sampai masyarakat daerahnya menjadi korban “ketidakberesan” pengadaan sapi ini. Dan tujuan pemberian bantuan dalam rangka pencapaian kedaulatan pangan (Harian Singgalang, 3-1-2021) tidak tercapai.
Sekelumit pemberitaan di atas menunjukan bagaimana “karut-marut” serta tidak transparannya proses pengadaan sapi yang bersumber dari APBD Provinsi tahun 2021.
Belum lagi kita lihat persoalan lainnya yang sempat dikeluhkan oleh anggota DPRD Sumbar berkaitan dengan pengadaan barang yang putus kontrak dan barang yang tidak sesuai spesifikasi.
Nofrizon, Anggota DPRD Sumbar dari Fraksi Partai Demokrat dalam Sidang Paripurna DPRD mengeluhkan keterlibatan “Ring 1 Gubernur” dalam pengadaan barang di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumbar (Kompas.com). Hal itu sudah dibantah secara lugas dan tegas oleh Kadiskominfotik Provinsi Sumatera Barat dalam rilisnya yang menyatakan pengadaan sudah sesuai aturan.
Menurut penulis, salah satu akar permasalahan adalah minimnya keterbukaan informasi, transparansi serta partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan.
Keterbukaan informasi dapat menjadi pilar membangun sistem integritas pemerintahan. Selain itu keterbukaan informasi dan transparansi dapat menjadi faktor dominan dalam pencegahan korupsi.
Walaupun pemerintah melakukan secara terbuka melalui sistem pengadaan barang dan jasa termasuk sistem informasi yang dibangun (e-procurement), namun tetap saja ada celah yang dapat dimanfaatkan. Biasanya berkaitan dengan budaya korup yang terkadang masih sistemik dan integritas yang lemah.
Faktor lain menjadi masalah dalam aspek tata kelola pemerintahan menurut Kara (2006) adalah: Tidak profesional dalam penyusunan anggaran belanja, di mana proses penyusunan lebih bersifat copy paste tahun sebelumnya. Perilaku ini tidak memiliki standar analisis yang reasonable dan terukur. Program lebih banyak disusun berdasarkan pola money follow function bukan money follow program.
Pola perilaku tersebut acapkali dengan tidak melakukan tender suatu barang sesuai dengan ketentuan aturan hukum.
Konspirasi aktor-aktor dalam pengambilan kebijakan yang melibatkan seluruh lapisan penyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu yang menjadi permasalahan adalah lemahnya mekanisme pengaduan sebagai sebuah sistem dalam membangun tranparansi. Hal ini diakibatkan oleh dua faktor, pertama, faktor internal yang banyak diakibatkan oleh kinerja aparatur pemerintahan berkaitan dengan kultur tidak transparan serta progresif. Kedua, faktor eksternal berkaitan dengan kesadaran masyarakat dalam membuat pengaduan yang masih rendah.
Baca Juga: Semen Padang Sato Sakaki dan Membahu Menyentuh Masyarakat
Apabila setiap kebijakan dan usulan program dibuka sejak awal perencanaan niscaya pengawasan publik akan lebih berjalan maksimal dan secara langsung juga meminimalisir praktik kecurangan. Namun hal ini kadang juga menjadi problem ketika pembukaan akses tersebut hanya bersifat normatif, sekadar memenuhi standar keterbukaan informasi saja. Bukan dalam perspektif membangun kolaborasi dan partisipasi masyarakat mengawal kebijakan.
Keterbukaan informasi tidak akan menjadi hal yang ideal, apabila tidak didorong oleh partisipasi aktif dari masyarakat. Keterlibatan aktif masyarakat tersebut sangat diperlukan bukan saja untuk mendorong responsivitas birokrasi terhadap kebutuhan masyarakat. Namun juga menciptakan akuntabilitas dari institusi publik kepada masyarakat.
Hilir dari hal tersebut adalah masyarakat mendorong, mewujudkan dan mengawasi sebuah kebijakan publik yang berkualitas. Hak atas informasi menjadi penting karena relevan dengan partisipasi publik dalam mengawasi setiap penyelenggaraan pemerintahan.
Semakin banyak masyarakat mendapatkan informasi, maka semakin besar peranan masyarakat dalam berpartisipasi untuk merumuskan public policy bersama pemerintah.
Akses terhadap informasi publik ini secara efektif akan memberikan kontribusi tinggi terhadap perubahan kultur dan paradigma birokrasi yang selama ini cenderung tertutup sehingga menjadi lebih terbuka dan transparan.
Harus disadari bahwa birokrasi/ penyelenggara negara hanyalah alat yang diberikan mandat untuk menjalankan kekuasaan rakyat untuk mengatur penyelenggaraan pemerintah. Mereka wajib memberikan jawaban atau akses informasi yang seluasnya kepada pemberi mandat tersebut dalam hal ini adalah masyarakat dalam pelaksanaan kekuasaan.
Permasalahan-permasalahan pengadaan barang dan jasa yang mencuat belakangan ini tentu mempunyai korelasi langsung terhadap kepercayaan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam konteks hubungan warga negara dan pemerintah, kepercayaan tersebut bersandar kepada persepsi masyarakat tentang legitimasi tindakan atau kebijakan pemerintah. Misalnya, sejauh mana kemampuan pejabat dalam mengelola anggaran dan sumber daya publik secara efektif dan mengutamakan kepentingan masyarakat.
Dalam konteks pengadaan sapi untuk kelompok tani atau pengadaan barang jasa lainnya yang dianggap bermasalah, kita bisa lihat bahwa terdapat kepentingan publik yang tercederai. Sehingga persepsi warga negara terhadap penyelenggaraan yang bersandarkan pada aspek kompetensi, dapat diandalkan, jujur dan berintergritas menjadi berkurang.
Gubernur Mahyeldi harus proaktif dan turun tangan dalam membereskan masalah seputar pengadaan barang dan jasa ini. Saya secara pribadi melihat adanya keinginan untuk membangun pemerintahan yang bersih dan kompeten. Hal ini tertulis dalam visi misi beliau mewujudkan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang bersih, akuntabel serta berkualitas.
Ke depan, misalnya, Gubernur Mahyeldi bisa membuat inisiatif kebijakan mengumumkan secara terbuka siapa saja rekanan yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa. Baik itu yang melalui penujukan langsung maupun tender.
Selain itu juga harus ada kebijakan mengumumkan secara terbuka siapa saja rekanan/perusahaan yang gagal dalam melaksanakan pekerjaan. Pengumuman ini bisa melalui media massa ataupun website resmi Pemerintah Provinsi Sumbar.
Dengan terobosan seperti itu, publik bisa tahu dan ikut membantu pemerintah mengawasi serta memberikan masukan jika dalam realisasinya ada yang tidak sesuai spesifikasi atau rekam jejak perusahaan yang mengerjakannya tidak baik. (*)