Apa yang Kamu Kejar?
Seonggok jiwa yang selalu berhasra
Nafsu duniawi terus menggerogoti
Tak pernah ada ujungnya
Puas satu tumbuh ribuan
Melihat kanan kiri, muncullah nafsu
Hawa nafsu yang tak berkesudahan
Bahkan segala cara dihalalkan
Tak pernahkah kau pikir bahwa kau fana?
Semua di dunia ini adalah ilusi
Termasuk kau
Dan akhirat adalah ujungnya
Tak perlu kau susah sungguh
Menghambakan alat yang kau sebut uang
Menjilat bak binatang peliharaan untuk mendapatkan kekuasaan
Kamu adalah fana, lenyap seketika jika Tuhan menginginkannya
Ikuti saja perintah-Nya
Tunggu janji-janjinya di akhirat
Tak akan lama
Dunia hanya sementara
Kemaren, esok, dan hari ini
Berdamailah dengan waktu
Manfaatkan kesebentaranmu ini
Nikmatilah sebagaimana minum secangkir kopi panas
Pelan-pelanlah
Tak perlu buru-buru
Belum tentu besok kau masih ada
Apa yang kamu kejar?
Cinta pada Allah
Pernah tidak merasakan cinta?
Para pujangga mengartikan berbagai makna cinta
Namun sampai sekarang makna cinta masih belum ditemukan
Kedua insan yang baru merasakan cinta, semua dibutakan
Tidak lagi menggunakan logika
Menyeringai, terlena, dan semua tertuju pada cinta
Cinta buta adalah cinta yang mengharapkan berbalik untuk dicintai
Sebagaimana cinta orang tua kepada anak
Bisakah begitu pula mencintai Allah
Dengan tidak mengharapkan surga dan hidup nikmat di akhirat
Hanya ingin dicintai balik oleh-Nya
Allah memang menjanjikan hidup kemahsyuran di Sana
Dengan segala nikmat-Nya dan kekekalan
Perlukah itu?
Tidak bisakah kita hanya mencintai Allah?
Tak ada kata pamrih
Hanya kepada-Nya, satu mencintai-Nya
Padang, penghujung tahun 2020
Biodata:
Ami Hasibuan lahir di Sumatera Utara. Alumni Sastra Jepang Universitas Bung Hatta ini pernah menjadi guru bahasa Jepang dan sedang merampungkan studi pada Prodi S2 Ilmu Sastra, Universitas Andalas. Selama tahun 2020, ia telah menghasilkan beberapa antologi tulisan nonfiksi, di antaranya kisah perjuangan menulis skripsi dan sejarah pendidikan karakter di Jepang yang terbit tahun 2021.
Mengetuk Pintu Jiwa
Oleh: Ragdi F. Daye
(Ketua FLP Sumbar & Penulis buku
kumpulan puisi Esok yang Selalu Kemarin)
Dunia hanya sementara
Kemarin, esok, dan hari ini.
Puisi sebagai karya seni dapat digunakan penulis untuk menyampaikan pesan. Pesan tersebut dapat berupa penanaman nilai-nilai moral, etika, budaya, atau kebaikan universal. Sebagian penyair muslim menggunakan puisi sebagai sarana dakwah melalui tulisan. Dalam arti terbatas, dakwah yaitu penyampaian Islam kepada manusia, baik secara lisan, tulisan maupun tindakan, sedangkan dalam arti luas, dakwah adalah penjabaran, penerjemahan, dan pelaksanaan Islam dalam perikehidupan dan penghidupan manusia, termasuk di dalamnya bidang pendidikan, politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, kesenian, kekeluargaan dan sebagainya.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan dua buah puisi dari Ami Hasibuan, guru bahasa Jepang asal Sumatera Utara yang tinggal di Padang, yakni “Apa yang Kamu Kejar?” dan “Cinta pada Allah”. Kedua puisi ini mengandung perenungan
Puisi-puisi Ami mengajak pembaca untuk berkontemplasi. Ini misalnya: “Semua di dunia ini adalah ilusi/ Termasuk kau/ Dan akhirat adalah ujungnya/ Tak perlu kau susah sungguh/ Menghambakan alat yang kau sebut uang/ Menjilat bak binatang peliharaan untuk mendapatkan kekuasaan/ Kamu adalah fana, lenyap seketika jika Tuhan menginginkannya.”
Dunia adalah sesuatu yang fana dan sementara. Dalam visi seorang muslim, yang sejati adalah negeri akhirat. Kehiupan di dunia hanya untuk mengumpulkan bekal. Analogi kesingkatan kehidupan dunia hanya sesebentar rentang waktu antara azan dan iqamat (Bawazir, 2020). Oleh karena itu, seorang insan yang hidup di dunia tak semestinya terjebak di dalam ilusi.
Puisi berikutnya juga tak kalah memancing perenungan: “Cinta buta adalah cinta yang mengharapkan berbalik untuk dicintai/ Sebagaimana cinta orang tua kepada anak/ Bisakah begitu pula mencintai Allah/ Dengan tidak mengharapkan surga dan hidup nikmat di akhirat/ Hanya ingin dicintai balik oleh-Nya.”
Dunia penuh dengan hukum transaksional. Memberi-menerima. Ada yang dijual, ada yang dibeli. Segala sesuatu ada imbalannya. “Tak ada makan siang yang gratis”, demikian pepatahnya. Hukum itu seperti menyingkirkan ketulusan. Namun, cinta orang tua kepada anak adalah contoh wujud ketulusan yang tak menuntut balasan atas segala pemberian dan atas segala pengorbanan. Di atas semua ketulusan manusiawi, ada Allah yang Maha Rahman dan Rahim, Maha Pengasih dan Penyayang tanpa bergantung pada sikap hamba-Nya.
Penyair menulis puisi sering kali melalui proses pencarian yang panjang. Mendekat ke subyek yang ditulis. Kadang melalui proses katarsis jiwa. Puisi-puisi yang lahir menjadi tak lekang oleh waktu. Puisi sebagai media kontemplasi (Ballah, 2012). Kita dapat membaca puisi “Sajadah Panjang” karya Taufiq Ismail ini:
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.