Cerpen: Ria Febrina
Napas dokter itu terasa sesak. Sudah tidak beraturan. Naik turun.
“Apakah ini sakratulmaut?,” batinnya. Namun, ia tepis.
Pertolongan pertama untuk pernapasan yang ia ketahui sudah ia lakukan. Berulang kali. Sekuat tenaga. Sebisa mungkin. Tiada henti.
Semakin kuat ia bernapas. Ia semakin sesak. Tetap saja tak berpengaruh. Napasnya semakin pendek. Dada juga terasa panas. Tercekik. Tak bisa merasakan apa-apa. Mata sudah membesar. Hidung terasa mengecil. Hingga ia tercekat. Ia tetap mencari celah untuk bernapas. Tersendat-sendat.
“Ya, Allah. Ya, Allah. Ya, Allah.” dengungnya dalam masa sakratul bernapas itu.
Ia tidak menyerah. Ia lanjutkan juga. Dada menaik. Dada turun. Hanya untuk bernapas. Terus bernapas.
Seorang dokter berada di ruang isolasi. Ia kesulitan bernapas. Dadanya sesak. Ia pun meraih handphone. Ia hubungi anak perempuan tercinta yang juga seorang dokter.
“Napas ayah sesak.”, ujarnya.
Si anak perempuan tersenyum sedih. Ia sedih ayahnya diisolasi. Ia tersenyum untuk memberi kekuatan kepada ayah tercinta. Padahal, napasnya juga tercekat. Ia ingin menangis, tapi tak bisa. Ia tidak boleh ke sana. Sang ayah diisolasi karena virus. Tak boleh ada yang mengunjungi.
Ia tatap dengan penuh cinta sang ayah melalui video call whatsApp.
“Ayah, semangat ya. Teruslah bernapas. Teruslah hidup, demi kami.”, ujar si anak perempuan dengan setetes air bergulir di sudut mata sebelah kanan.
“Ayah sesak. Ayah sesak.”, ulangnya lagi.
Anak perempuan menyaksikan dengan saksama. Begitu payah ayahnya bernapas. Wajah tak berupa. Ia ingin melengah, tapi tak bisa.
“Ayah, aku sayang ayah.” ujarnya antara bersuara dan tidak.
Ayahnya menutup telepon. Si anak perempuan menangis. Air matanya tumpah. Ayahnya memang tiada gentar. Sejak awal sudah bertekad maju untuk virus ini. Virus korona. Covid-19.
Naluri ayahnya sebagai seorang dokter tak pernah berubah sejak muda. Ayahnya bisa saja mundur, tapi ia memilih untuk berjuang maju. Ada teman-teman yang sudah mundur dan memilih kesehatan mereka. Ayahnya memilih tidak.
Bagi anak perempuan ini, apa pun pilihan dokter saat ini tidak salah. Ini bencana global, juga gawat darurat di Indonesia. Di negara yang begitu ia cintai, di tanah ini, ia memilih menjadi dokter. Merupa ayah. Laki-laki hebat dan luar biasa yang terus ia jiplak karakter dan ketegasannya.
Covid-19 memang gila. Tak ada ampun untuk siapa pun. Ia saksikan pasien dengan napas sesak, lalu meninggal. Tak bisa ia bayangkan ayahnya juga tengah berjuang di ruang isolasi sana sendirian. Merasakan sesak napas.
Kakinya ingin beranjak ke sana. Ia ingin memegang tangan ayahnya. Ia ingin memeluk laki-laki yang menjadi labuhan cinta dari seorang anak kepada orang tua. Ia tak bisa. Ia tak boleh. Meskipun ia bisa saja nekat, membiarkan dirinya juga ikut tertular Covid-19.
“Ayah, ayah, ayah,” berulang kali ia memanggil. Napasnya pun ikut sesak. Dadanya bergemuruh.
Teman sejawatnya menyaksikan dengan pilu. Dalam tatapan itu, ada tangan mereka yang ingin memeluk erat. Ada tangan mereka yang ingin menepuk pundak. Ada tangan mereka yang ingin membelai kepalanya.
Semua hanya tiada. Tak boleh ada sentuhan. Namun, tatapan itu lebih dari segala. Mereka harus berjarak. Mereka baru menemui pasien penderita Covid-19. Nasib mereka juga tak akan beda. Entah sudah ada satu yang mengidap. Entah semua juga. Entahlah, air mata semakin tumpah membayangkan ayah tercinta.
“Aku ingin menjadi dokter.”, kenangnya pada suatu waktu. Ia menemui ayah dan bertekad menjadi dokter.
Ayah tersenyum.
Dokter itu mulia. Begitu perasaannya setelah mendengar setiap kisah ayah dari rumah sakit. Kebahagiaan ayah pula yang terus merasuki dadanya. Hingga ia menjadi seorang dokter. Mengenang percakapan dengan ayah, tekadnya buncah.
“Aku sayang ayah. Aku bangga menjadi dokter, Ayah.” Ia membatin tak menyesal sekali pun. Meskipun ia tengah bersiap, bisa saja ayah akan pergi menemui pemilik-Nya. Sebentar lagi. Besok pagi. Kapan pun.
Ia pun berjuang menguatkan batin bahwa ia akan kehilangan sosok pemimpin mulia di rumah tangga. Ia akan kehilangan ayahnya. Semakin ia mengingat, semakin tumpah air mata.
“Ya Allah, jika dia masih memiliki waktu bersama kami, tunjukkanlah. Berilah kesembuhan segera. Jika tidak, aku ikhlas ya, Allah. Jangan biarkan ayah tersiksa di sana. Sendiri merasakan sesak napas dalam waktu yang lama.”
Ia hapus air mata. Ia lalu mengingat kalimat ayah yang begitu luar biasa tentang kemuliaan seorang dokter.
“Ayah mulia. Ayah hebat.”
***
Dokter muda itu tengah berada di depan pagar rumah. Ia buka pagar kecil. Ia melihat satu orang gadis kecil terpana. Satu lagi seorang laki-laki kecil menahan tangis. Mereka melambai sambil memanggil, “Ayah, ayah, ayah.”
Dokter muda itu tersenyum.
“Sekarang pahlawan itu datang. Ia menemui dua orang malaikat kecil. Pahlawan pasti akan pulang. Membawa sebuah piala. Membawa kemenangan untuk dua perempuan cantik dan satu lelaki gagah. Juga membawa kemenangan untuk laki-laki di dalam perut ibu,” ujar dokter muda berkacamata itu dari jauh.
Si gadis kecil melihat ibunya ke belakang. Ada senyum, tapi juga ada air mata. Ia melihat ibu terisak sambil memegang perut. Ada bayi di dalamnya. Harapannya ia memiliki seorang adik laki-laki. Lalu, ia berpaling dan melihat abangnya menangis.
“Ayah, ayo masuk. Aku ingin memeluk ayah.”, ujarnya.
“Iya, nanti ayah masuk. Ayah harus ke rumah sakit. Ada kuman yang harus kita basmi. Sekarang kuman itu menempel di baju ayah. Ayah bersihkan dulu ya.”, ujar dokter muda itu sambil tersenyum.
Hati dokter muda itu sebenarnya kecut. Setetes air mata sudah mengalir di sudut mata. Ia tak tahu apakah akan bisa kembali ke rumah penuh cinta ini. Ia positif. Positif terkena paparan Covid-19. Sejak beberapa hari ini, ia berjibaku dengan pasien yang positif. Ia pasrah, tapi si gadis yang imut, laki-laki kecil segagah dirinya, serta perempuan cantik yang begitu ia cintai terus membayanginya agar bisa bertahan hidup.
“Jangan nakal ya, Nak. Dengarkan Bunda. Ayah harus bekerja.”, ujarnya akan beranjak.
“Ayah memang pahlawan. Nanti kami menunggu ayah dengan brownies buatan ibu. Brownies paling enak. Ayah cepat pulang ya.”, ujar istrinya.
Rindunya semakin membuncah. Ia ingin berlari memeluk mereka. Ia ingin mengecup mesra bibir istrinya. Ia ingin menggendong gadis cantik dan laki-laki yang tiba-tiba terbayangkan akan menjadi kepala rumah tangga jika ia tiada.
“Aku cinta mereka. Aku harus pulang.”, batinnya bersemangat mengabaikan bayangan buruk.
“Sayang, ayah kembali ke rumah sakit ya. Ayah sayang kalian.”
Ia pun beranjak pelan sambil melihat lambaian tangan mereka.
Betapa rindu. Betapa sedih hatinya. Semakin rindu, semakin tumpah air mata.
***
Seorang perawat berlari ke arahnya. Ia tatap begitu dalam. Bibir perawat itu melipat. Ada air mata yang juga turun. Ia diam. Tak berkutik beberapa detik. Ia berlari ke ruangan isolasi ayah. Tak satu orang pun yang mencegah. Mereka biarkan seorang anak menemui ayahnya. Mereka pun menangis bersama.
Hari ini, dokter itu mungkin meninggal dunia. Setelah ini, bisa saja salah seorang dari mereka. Mereka bertatapan. Air mata turun. Mereka mengenang anak-anak mereka. Mereka tertunduk. Raga begitu lelah. Napas begitu sesak. Di badan mereka, pakaian begitu panas. Semakin panas dengan berita ini. Dokter Siswoyo meninggal dunia. Dokter senior lulusan universitas ternama Indonesia itu akhirnya menghembuskan napas terakhir. Setelah sendirian di kamar isolasi, setelah berkali-kali mengeluh sesak napas, ia menemui Sang Khalik. Ia pun menutup mata. Innalilahiwainnailaihirajiun.
***
Dokter perempuan itu menatap dari balik kaca. Ia melihat ayah sudah tidur untuk selamanya. Tak ada lagi napas yang sesak. Tak ada lagi mata yang membesar. Tak ada lagi kepayahan. Meskipun tak begitu dekat, ia merasakan ayah meninggal dengan tenang. Ayah telah berjuang. Ia sudah berjihad. Wajah ayah yang begitu teduh sebagai seorang pemimpin rumah tangga terbayang di matanya. Wajah seorang dokter yang begitu semangat bekerja kembali melintas di wajahnya. Ia teringat langkah ayah yang begitu cepat di koridor, tiba-tiba memintas.
“Kamu sudah makan?”, tanya Ayah.
“Sudah. Ayah bagaimana?”, balas perempuan itu.
“Sudah. Telepon anakmu. Bilang kakek rindu. Nanti kita bermain lagi.”
Ayah pun berlalu. Ia menemui pasien yang terpapar Covid-19 yang sesungguhnya ia tengah menemui maut. Kini, ayahnya telah kembali menghadap Sang Illahi.
***
Tak boleh ada keramaian di pemakaman. Ayahnya harus segera dikuburkan. Hanya beberapa petugas yang menyelamatkan, mengafani, lalu membawa ke pekuburan. Semua dibatasi. Untuk mencium kening sang ayah pun, dokter perempuan itu tak bisa. Ia hanya bisa menangis, lalu berdoa.
Rindu kepada ayah. Entahlah, tak bisa ia berkata. Rindu kepada seorang gadis kecil di rumah pun semakin membayang. Ia rindu anaknya. Ia ingin memeluknya. Ia juga ingin bersandar kepada suami tercinta. Hanya saja semua itu tak bisa. Ia hanya boleh meraih handphone, menghubungi mereka melalui panggilan video, dan melepas rindu yang tak akan terganti tanpa pelukan dan ciuman.
***
Seorang istri yang tengah hamil menangis tak henti. Tubuhnya ingin rubuh, tapi seorang gadis kecil dan seorang laki-laki jagoan miliknya satu-satunya saat ini juga bersandar di bahu. Dunia seakan berhenti, namun ia harus terus bertahan. Ada dua tubuh mungil dan juga seorang janin yang meminta kasih sayang. Pertemuan kemarin di teras rumah merupakan pertemuan terakhir. Ia tak menduga akan secepat itu. Ia hanya berharap waktu menunda peristiwa seperti ini. Namun, ia pasrah karena waktu telah mengakhiri pertemuan di antara mereka.
Seorang dokter muda meninggal dunia karena Covid-19. Dokter itu ialah suaminya. Telinganya mendenging. Dunia kini terasa sepi. Belahan jiwa tiada. Ia kehilangan semangat hidup. Tangis buncah. Apalagi, ia tak diizinkan menatap wajah kekasih hati untuk terakhir kali. Ia kian menangis, lalu tiba-tiba diam. Wajah suami melintas. Ia pun terisak. Kenangan tentang mereka kembali datang. Kenangan tentang cinta yang begitu indah. Ia tertunduk. Remuk.
***
Dokter perempuan itu memegang handphone. Ia membuka Instagram. Ia pilih sebuah foto. Ia klik tanda tulisan. Ia luapkan perasaan.
Diamlah di rumah.
Jangan ke mana-mana.
Saya memang marah.
Anda menganggap remeh virus ini. Akhirnya, saya kehilangan sosok ayah.
Untuk melepaskan rindu kepada anak saya saja, saya tak bisa.
Saya harus tunda. Saya tak ingin menjadi penderita Covid-19
yang menyebarkan kepada orang-orang tercinta.
Jika Anda mendengar imbauan ini sejak awal,
akan banyak nyawa yang selamat.
Di rumah saja.
Anda mungkin bukan pasien penderita Covid-19. Namun, ketika Anda berkeliaran dan tak sengaja bertemu penderita Covid-19. Saat itulah, Anda membawa kematian untuk anak, istri, suami, orang tua, dan keluarga tercinta.
Saya sudah kehilangan ayah saya. Dia berjuang untuk keluarga Anda. Anda tidak akan tahu rasanya berjuang sendiri di ruang isolasi. Sesak napas sendiri. Meregang nyawa sendiri. Bahkan, dikuburkan dalam kesunyian. Tidak ada yang menandu dengan cinta. Tidak ada yang mengiringi kekasih hingga ke pemakaman. Tidak ada yang menyiram tanah merah. Tidak ada bunga kemboja. Hanya doa dari jauh saja. Bukan perpisahan seperti ini yang aku bayangkan untuk seorang pejuang mulia.
Seorang dokter.
Seorang ayah.
Jadi, diamlah di rumah.
Jangan tunggu ada korban lagi.
Ia posting foto itu. Ia sebarkan di Instagram. Ia tutup media sosial yang selalu membuat berita viral itu. Ia berharap postingan-nya membuka mata hati jutaan orang Indonesia untuk berdiam diri di rumah.
*Penulis merupakan Dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas
“Cerita pendek ini didedikasikan untuk para dokter yang syahid sebagai pejuang covid-19.”