Kapal Cepat Mentawai
Hatiku tertawan di lebat rambutmu
Belantara purba aroma damar,
ubi, sagu, dan gendut babi
Aku setengah mengigau
memanggil lautmu
yang meninabobokanku
melambungkan ke puncak khayali
Mengaburkan arah pulang
Dermaga tua penuh ikan mati
Topi yang jatuh ke air kumuh
Sobekan peta kota tercinta
Tai ka baga koat*
Kautoreh tato ganjil di dada kiriku
Ujung panah tajam menghunjam
Gulung curam lidah gelombang
Catatan:
* bahasa Mentawai: orang-orang di dalam laut
Daun-Daun Koyak di Imam Bonjol
Kau tidak perlu tahu namaku, seperti juga
kau tidak perlu tahu nama pohon
yang daun-daunnya gugur
dengan warna merah menyala itu.
Cukup senyum kecil seperti leleh embun
di tepi daun. Cukup kehangatan tulus
dari mata berkabut penuh rasian itu.
Aku telah lama koyak di sini.
Bersama daun-daun mersik
yang diinjak-injak, anjungan gonjong
bau kencing, dan gegap derap kaki berlari.
Aku telah busuk, telah busuk, dan mati!
Entah mengapa taman ini dinamai
imam Perang Padri. Tak ada selawat
di sini. Hanya erangan liar
yang berdentam-dentam kala malam.
Hanya kesedihan runcing yang menyengat
borok di jangatku.
Tapi bagimu taman ini adalah firdaus.
Aku mendengar puisi riang di gelak
tertahanmu. Seolah rumput-rumput di sini
hamparan sajadah. Seolah udara di sini
wangi kasturi dari tubuh kekasihmu.
Kau tidak perlu tahu namaku,
juga nasib buruk yang merajam
jalan rahim beliaku.
Sore Tanjakan Indarung
Aroma bakso bakar pecah dalam irama tartil
Albayyinah; engkau gundah diombang rasa bersalah
pulang ke rumah tanpa susu dan ayam goreng
yang ditunggu anak-anakmu. Pelajaran bersabar
masih belum tuntas.
Di timur, bukit kapur yang terkelupas itu
telah mati ditinggalkan. Hanya kera-kera
yang berebut sisa pentol di tangkai lidi. Kera-kera
yang diamati dan dipotret seolah selebriti.
Hujan mungkin tidak turun sore ini,
debu pabrik semen tetap mengapung kelabu
seperti harimu. Perjalanan pulang harus dilanjutkan
karena engkau tak mungkin mengubah arah tujuanmu:
rumah.
Langit Gagak
Aku mengikutimu
yang kian buram
oleh langit hitam
Bukan mendung
atau malam
Tapi taburan wabah
dari bulu-bulu maut
yang lapar
Aku masih mengikuti
kelam punggungmu
yang terlihat semakin gelap
Seperti lubang
yang mengisap.
Ragdi F. Daye menulis puisi dan cerita pendek. Bukunya yang telah terbit Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (2010), Rumah yang Menggigil (2016), dan Esok yang Selalu Kemarin (2019). Pernah diundang mengikuti Ubud Writers and Readers Festival 2011. Sekarang tinggal di Padang, Sumatra Barat. Alamat surel: ragdifdaye@gmail.com